Akbar Faizal
SAHABAT–sahabatku, terima kasih ucapan duka citanya atas wafatnya Bapak kami, Haji Latiro Bin Jugari pada hari Jumat, 20 Agustus 2021 Pkl.15.10 di RS Primaya, Makassar. Kumaknai ucapan duka itu sebagai pernyataan kedekatan psikologis antara kita dan keinginan para sahabat menghibur kami. Sungguh kebaikan yang harus kuendapkan lama dalam memori terdalam saya.
Saya tak terbiasa tampil galau di ruang publik seberat apapun problem itu. Tapi sungguh kehilangan Bapak ini tak mampu saya atasi dengan baik. Rasa bersalah tak punya waktu banyak mengurusi beliau secara fisik semasa hidupnya berujung pada rasa sesal yang terus-menerus menggigit jantung pada setiap tarikan nafas. Berjalan meninggalkan pemakaman malam itu dan lalu berbalik sejenak untuk menatap gundukan tanah basah berbalur kembang yang ditancapi nisan sementara dari bahan kayu bertuliskan nama Bapak ternyata menjadi momen awal pemicu kenangan terhadap beliau yang sungguh menyakitkan. Kubayangkan beliau terbaring sendiri dalam tanah kedinginan di malam hari dan kepanasan esok hari harinya dan dingin lagi malam berikutnya dan seterusnya menyiksaku secara terus menerus dan terus membesar.
Hubungan kami —anak bapak— berlangsung bagai roller coaster. Pada satu fase, Bapak mendidik kami total seperti atasan bawahan tanpa ruang negosiasi. Perintah pada menit pertama harus dilaksanakan pada menit berikutnya. Hindarkan kesalahan sekecil apapun sebab risikonya bisa panjang. Setidaknya bilur membiru di punggung bekas kopelrim (sabuk besar militer). Beberapa kali ujung sepatu lars-nya menempel di tulang kering menyisakan nyeri panjang bahkan membengkak beberapa hari. Paling terhormat rasanya jika hanya mendapat poporan pantat senapan SP-1 yang terbuat dari kayu jati menyisakan benjolan di kepala.
Pada fase berikutnya, didikan ala tangsi militer itu mulai berkurang berganti dengan intimidasi verbal yang sebenarnya dampaknya sama saja dengan yang pertama. Saya mulai berani protes meski hanya dalam bentuk gerak tubuh. Tentu saja saya protes sebab kenapa hanya saya yang mendapat hukuman berat seperti ini sementara kakak perempuan saya mendapat limpahan kasih sayang berlebih. Jika alasannya adalah karena saya memang nakal, lalu apa masalahnya? Masak anak laki-laki enggak nakal? Masak anak asrama tentara tidak nakal? Apa kata dunia? Protes dalam hati itu saya bawa ke banyak tahun berikutnya hingga memiliki anak laki-laki sendiri yang tampaknya tak ingin kehilangan bakat nakal Papanya. Pertempuran batin mulai menyergapku.
Hingga pada suatu waktu, Bapak mengatakan sesuatu yang tak siap kudengar: “Saya tahu kamu mau memberontak terhadap Bapak. Bapak tunggu itu. Tapi Bapak tak peduli. Kamu bisa membenci Bapak karena terlalu keras padamu. Bapak tak peduli. Tapi Bapak harus menyiapkanmu menghadapi pertarungan hidup yang pasti akan keras kamu hadapi. Bapak harus memastikan kamu tak melakukan kesalahan yang tak perlu yang pernah Bapak lakukan”. Saya tak mampu berkata-kata. Titik balik seketika terjadi.
Tapi atas nama kesibukan ibukota, atas nama pertarungan politik, atas nama pencarian rejeki, dan banyak atas nama lainnya, berkunjung ke kota kecil di Sengkang Sulawesi Selatan, tempat Bapak menikmati hari-hari tuanya menjadi sebuah rencana yang harus diupayakan sekuat mungkin. Dan Covid-19 menutup peluang itu. Tak pernah kami absen pulang Lebaran sebelum Covid bersimaharaja. Dua lebaran terakhir kami isi bercengkerama via videocall teknologi Whatsapp.
Allah memutuskan lain. Segala rencana membayar rasa bersalah tak berlebaran dua Ramadhan dengan Bapak dengan kembali mengunjunginya pada lebaran berikutnya atau pada kunjungan lainnya tak lagi bisa kami tunaikan. Serdadu tua itu akhirnya harus kalah. 84 tahun. Lelaki tangguh dihadapan segala cobaan berikut kemiskinan seorang pasukan berpangkat rendah tak pernah mampu mengalahkan keyakinannya. Sapta Marga dan Sumpah Prajurit begitu kokoh dalam nadinya meski beras dan gula pasir telah tandas di dapur keluarga kami. Sebagai aktifis mahasiswa kala itu yang mengkritisi segala hal, Bapak sering mengingatkan jika negara telah memberi kami kehidupan yang layak meski sangat jauh dari sejahtera. Satu-satunya kesepahaman kami hanya tentang kami adalah Hamba Allah SWT. Selebihnya adalah perbedaan yang semakin ekstrim.
Cara berpikir Bapak selalu sederhana meski rumit dalam hal pendirian hidup. Bagi beliau, memiliki rumah papan dengan tempat tidur beralaskan kasur dari kapuk adalah sebuah kemewahan ketimbang hidupnya bersama Ayahnya —kakek kami— yang miskinnya bahkan malaikatpun enggan memahaminya. Begitu sederhananya Bapak memahami dan memaknai keseimbangan ekonomi hidupnya. Kami, anak-anaknya, yang saat itu belum mampu memahami seperti apa bentuk ‘makmur’ itu menerima apa adanya.
Sambil menyeret rasa sesal dan bersalah ini kemanapun kami berjalan sekarang, kuterus-menerus berterima kasih kepada Bapakku. Terima kasih yang tak terhingga atas segala pelajaran hidup yang pada banyak bagian tak saya pahami awalnya. Takkan mampu kubayarkan semua apa yg telah Bapak lakukan dan berikan kepada kami. Penerjemahan Bapak yang berbeda tentang kasih sayang dan tanggung jawab kepada anak-anaknya menjadi sebuah pelajaran sangat mahal bagiku, bagi kami anak-anaknya.
Istirahatlah Bapakku. Saya tahu Bapak terlalu miskin untuk meninggalkan warisan berbentuk harta benda kepada kami. Tapi kenangan-kenangan dahsyat yang tiba-tiba menyeruak satu demi satu telah menjadi peninggalan yang semakin bernilai bagi kami. Pada banyak bagian, kenangan itu menyiksa sebab sesal dan rasa bersalah lebih mendominasi. Tak mengapa Bapak. Itu harga yang harus kami bayar atas kealfaan kami merawatmu jauh lebih banyak dari yang seharusnya. Maafkan kami Bapak.
Bapak, Saya beruntung memiliki banyak sahabat yang memberi kekuatan dari ucapan-ucapan duka mereka. Mereka adalah sahabat-sahabatku yang kupilih seperti didikan Bapak bahwa “bertemanlah dengan siapapun. Tapi hadirlah didepan mereka sebagai lelaki yang punya sikap dan martabat. Kamu bukan sahabat bagi mereka jika hanya bisa menyenang-nyenangkan mereka disaat kamu harus menyatakan apa adanya. Sahabat yang baik itu adalah yang bisa memahamimu apa adanya, demikian pula sebaliknya”. Ada banyak pesan Bapak yang rumit bagiku saat itu. Tapi pelan namun pasti semua itu melebur dalam darahku. Tak masalah Bapak. Aku bangga dengan wajahku hari ini, wajah yang Bapak pahat pada perjalanan waktuku, penempataan yang sangat keras. Saya akan selalu tegak seperti perintahmu: TEGAKLAH SEPERTI LELAKI SEBENARNYA!
Makassar, 22 Agustus 2021
Komentar