by M Rizal Fadillah
(Pemerhati Politik dan Kebangsaan)
PUTUSAN Pengadilan Tinggi Jakarta telah menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam kasus kerumunan massa di Petamburan dalam acara pernikahan puteri HRS. Ketukan palu tetap 8 bulan penjara. Baik Banding HRS maupun JPU keduanya ditolak oleh Hakim Tinggi yang mengadili dan memeriksa kasus tersebut.
Dari sisi angka penjara 8 bulan dapat dinilai “ringan” tetapi dari terpenuhi kualifikasi “kejahatan” tentu merusak rasa keadilan. Permasalahannya adalah pertama hal ini menjadi pengukuhan atas terjadinya diskriminasi hukum untuk kasus atau peristiwa serupa. Kedua, pelanggaran prokes yang bersanksi administratif di tafsirkan luas menjadi pidana. Seharusnya rumusan UU berlaku untuk kebijakan Karantina bukan Pembatasan.
Terlepas dari perdebatan hukum yang dapat menajam dan meluas, maka Putusan terhadap HRS ini tetap merupakan Putusan yang bernuansa politik. Kekuasaan yang menempatkan HRS sebagai lawan politik. Karenanya pelumpuhan dengan memperalat hukum di tingkat pengadilan tinggi adalah dalam rangka memperkuat kezaliman.
Sebagaimana saat proses di Pengadilan Negeri dimana HRS didakwa untuk tiga kasus dengan yang “terberat” adalah kasus RS UMMI Bogor, maka Banding atas vonis 4 tahun PN Jakarta Timur tersebut diprediksi menjadi target sebenarnya. Putusan kasus Petamburan atau Megamendung di samping sebagai “hiburan” juga menjadi batu loncatan saja untuk penghukuman yang lebih berat.
Meski pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim berbeda, namun mengingat ini sebagai kasus politik, maka patut untuk diduga bahwa Putusan untuk kasus RS UMMI juga tidak jauh berbeda. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi akan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur sebagai wujud dari menguatkan kezaliman.
Belum ada tanda-tanda adanya perubahan sikap politik Pemerintahan Jokowi atas diri Habib Rizieq Shihab. Ulama ini tetap dianggap lawan berbahaya yan wajib dilumpuhkan. Kasus “Km 50” sebagai peristiwa pembantaian 6 pengawal HRS dibuat mengambang, terus diotak atik, serta cenderung untuk dikaburkan.
Keberadaan HRS dalam tahanan sepertinya menjadi absolut untuk ketenangan langkah rezim. Sekurangnya melewati tahun 2024. Masih teringat “pesan politik” yang disampaikan Staf Khusus Presiden, Diaz Hendropriyono “Alhamdulillah masih bisa tersenyum. Sehat2x selalu bapak. Semoga baik2X saja. Sampai ketemu tahun 2026 !!!”.
Diaz Hendropriyono adalah putera guru besar intelijen Hendropriyono tokoh politik yang berperan strategis menata arah bangsa khususnya di Pemerintahan saat ini. Diaz bukan tukang ramal seperti Mbak You, Mama Laurent, Roy Kiyoshi, atau lainnya.
Tidak ada yang membahagiakan dari penguatan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam kasus HRS. Itu hanya sinyal atas penguatan penzaliman terhadap HRS. Penguatan penjajahan politik atas hukum.
Bandung, 5 Agustus 2021
Komentar