Oleh Geisz Chalifah
SEBUAH tulisan berjudul: ‘Ancol Ditutup Lalu Kucingpun Menangis’. Beredar di berbagai group WA selain media sosial lainnya seperti twitter, instagram dan facebook.
Tulisan itupun dibaca oleh Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Ibu Nahdiana (Nana), juga banyak orang lainnya yang tiba-tiba tersentak bahwa ada masalah lain selain ditutupnya sebuah kawasan wisata seperti Ancol yaitu ratusan kucing-kucing liar yang mengalami stress karena menghilangnya ribuan orang yang mereka lihat sehari-hari dan ditutupnya semua resto tempat mereka mendapat rezeki berupa makanan juga dari pengunjung yang datang.
Ada banyak yang merespon secara positif dan ingin terlibat secara langsung dengan menghubungi The Cathy and Friends.
Kepala Dinas Pendidikan DKI yang ramah senyum, jiwanya melekat pada mereka yang terpinggirkan. Mereka yang suaranya selalu tak terdengar, terkecuali dimusim kampanye yang suaranya dibutuhkan oleh para begundal politik dan kemudian kembali terlupakan.
Namun ketika anak-anak mereka (kaum miskin) itu mendapat kesetaraan kesempatan untuk mendapat pendidikan di sekolah negeri, maka para kelas menengah ngehe, berteriak memprotes secara membabi buta karena bagi mereka sekolah negeri adalah miliknya anak-anak berprestasi dengan nilai NEM yang tinggi. Anak-anak yang punya waktu untuk belajar, punya akses untuk ikut les tambahan dan persetan dengan mereka (anak-anak tak mampu) yang hidupnya dipenuhi ketidakpastian, yang tak memiliki keistimewaan waktu untuk ikut pendidikan tambahan dsbnya. Bahkan uang jajan yang mereka miliki seringkali hanya cukup untuk pulang pergi kesekolah tanpa kelebihan apapun. Lalu segera membantu orang tua untuk bekerja guna mendapat penghasilan untuk sekedar bisa hidup.
Ibu Nahdiana diprotes keras, didemo, diperkarakan karena tekadnya untuk mengejawantahkan keadilan sosial bagi seluruh warga Jakarta yang telah menjadi misi Gubernur DKI bahkan jauh sebelum beliau dilantik.
Dengan riang gembira Ibu Nana ikut serta memberi makan ratusan kucing-kucing liar di Ancol. Dia berjalan kaki beberapa kilo sampai ke ujung Ancol Timur.
Hatinya gembira, ada kebajikan lain di luar urusan kebajikan pada kemanusiaan, yaitu mahluk hidup lainnya yang juga butuh perhatian.
Setelah selesai semua itu (Street Feeding), saya berbincang dengan ‘Paolo Freire dari Cikoko’ itu dengan menyatakan:
“Bu Nana, di wilayah Ancol sini ada ratusan bahkan ribuan warga miskin, kami memiliki sekolah bernama Sekolah Rakyat Ancol namun hanya tingkat SMP, tapi coba dibayangkan bila Ancol bisa memiliki Sekolah SMK Pariwisata, berapa ratus bahkan berapa ribu dari mereka yang bisa terangkat hidupnya dari kemiskinan”.
Dengan artikulasi yang sangat jelas saya meneruskan: “Ancol bisa mendapatkan tenaga kerja Alih Daya dari hasil pendidikan yang dikelola sendiri, dan yang lain bisa terserap di tempat lainnya dengan Ijazah SMA yang mereka miliki, ada harapan untuk masa depan, ada eskalator kehidupan untuk menarik mereka dari lingkaran kemiskinan.”
Dan Pejuang (bu Nana) yang dididik dengan cara sederhana oleh uminya yang Betawi gate’ untuk selakunya hidup dengan selalu memikirkan dan menolong orang lain itu menjawab: “Pak Geis ide ini harus jadi, kita kolaborasi, Dinas Pendidikan DKI siap bantu.”
Perbincangan itu saya sampaikan pada Rika Lestari (Bidadari Surga) yang menjadi ibu dari anak-anak SRA. Rika tak menjawab dengan banyak kata-kata karena di ujung sana suaranya sudah terbata-bata dan air matanya berderai: Ya Allah mimpi yang sekian tahun akhirnya mulai ada jalan.
Saya menutup telpon lalu berdoa dalam hati semoga jalan menuju surga ini mendapat dukungan oleh para pemangku kebijakan semoga BIROKRASI yang seringkali menjadi SIALAN ITU (Seringkali bukan karena mengikuti regulasi tapi hanya sekadar menghambat sebuah ide krn ego pribadi alias hanya melanggengkan BUDAYA FEODAL Agar orang lain (bawahan) tertatih-tatih untuk sekedar menunjukkan I’m the Bos.) Tak menghambat cita-cita.
Komentar