Oleh H Abustan
TULISAN ini tertunda beberapa hari, karena penerbitan buku saya Hak Asasi Manusia (isu-isu kritis dan Kontekstual Nilai-Nilai HAM) lebih mendesak karena bagian percetakan meminta saya untuk melakukan penambahan naskah.
Di samping itu, dan saya telah menyelesaikan jurnal internasional dengan Topik “Human Rights and Restorative Justice” yang sudah dikejar deadline, serta satu artikel yang diminta teman untuk nulis soal “Multibar System’” terkait advokat.
Sejak dari awal, saya tak pernah luput menulis soal keberadaan dan dinamika perjalanan lembaga KPK ini dari berbagai sudut perspektif. Dan, jika dikumpul ada sekitar delapan tulisan dan satu makalah. Jadi, tulisan ini yang ke sepuluh dan mungkin saja yang terakhir, jika melihat atmosfir KPK yang sudah tidak “menarik” lagi untuk ditulis. Ataukah KPK memang sudah mengalami ketidakberdayaan sehingga sudah kehilangan “karakteristik” sebagai lembaga luar biasa yang disematkan selama ini kepada KPK.
Perihal itulah yang membuat saya “memaksakan” diri harus membuat tulisan meski sudah kehilangan momentum. Sesungguhnya, jika mencermati gelagat kekuasaan saat ini dalam memperlakukan lembaga yang sangat ditakuti pasca gerakan reformasi, sebenarnya sudah nampak akhir-akhur ini bahwa tidak lagi menunjukkan “keluarbiasasn” bahkan sudah cenderung kompromistis. Hal itu bisa di lihat dari proses penyelidikan Tindak Pidana Korupsi Bansos yang sangat jelas siapa paling dirugikan yaitu rakyat kecil dan pelakunya pejabat negara selevel Menteri.
Jadi seharusnya penerapan hukuman mati bukan delik penyuapan tindak pidana korupsi biasa yang hukumannya ringan sehingga kurang memberi efek jera kepada pelakunya.
Terhadap kenyataan seperti itu, ada seorang mahasiswa saya mempertanyakan apakah lembaga ini masih mampu menangkap seorang buron yang secara hukum sudah dinyatakan sebagai status tersangka oleh KPK lalu melarikan diri. Lalu, jika tidak apakah lembaga ini masih relevan dikatakan sebagai lembaga “Superbody”?
Seharusnya, kenyataan di atas itulah yang mestinya memicu-memacu KPK untuk lebih “bernyali” dalam upaya merubuhkan tembok-tembok kekuasaan. Apalagi lembaga-lembaga negara yang memiliki kekuasaan menjadi lahan potensial bagi praktik korupsi.
Bahkan, kini diperparah lagi secara kelembagaan setelah terjadinya penonaktifan pegawai KPK karena dianggap tidak lulus dalam seleksi tes wawasan kebangsaan (TWK).
Patut disayangkan, sebab di antara pegawai yang tidak memenuhi syarat menjadi ASN adalah mereka yang sedang menangani perkara besar. Mulai dari kasus korupsi KTP elektronik, bantuan sosial, surat izin ekspor benih lobster. (Kompas, 10 Mei 2021).
Lebih dari itu, kejadian ini juga direspont oleh para guru besar dengan menyoal secara kritis tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dianggapnya bermasalah secara yuridis karena tes tersebut hanya diatur dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Senada dengan itu, Azzumardy juga menyoroti sikap pemerintah yang dinilai membiarkan hadirnya kekacauan di dalam sistem birokrasi kepegawaian. “Saya tak tahu, mungkin KPK ini sudah diniatkan oleh berbagai kalangan eksekutif dan legislatif yang saya sebut oligarki dinasti untuk melumpuhkan KPK,” (Kompas, 15 Juni 2021).
Memang, sangat ironis jika menelisik upaya yang dilakukan untuk menyeleksi pegawai dan pejabat di KPK dengan menguji wawasan nasional yang dimilikinya. Salah satu di antaranya adalah bentuk pertanyaan yang harus dijawab pegawai yang diuji, yaitu memilih Pancasila atau Al Qur’an. Maka, mau tak mau pertanyaan ini mengarah kegagasan politik.
Bagaimanapun, tak ada orang penghuni dunia ini apalagi di Indonesia yang tidak tahu bahwa Al Qur’an adalah kitab suci orang Islam. Sementara Pancasila adalah falsafah dan dasar negara Indonesia. Bukankah ini pertanyaan mengada-ada dan berdampak politisasi kepada ASN?
Lagi pula, kita tahu semua bahwa sebelum dites wawasan nusantara orang- orang tersebut, publik sudah mengetahui “sepak terjangnya” kompetensi dan keahliannya di bidang pengawasan dan pemberantasan korupsi. Bahkan ada di antaranya cacat permanen karena perjuangan mereka yang gigih dalam pemberantasan korupsi (Novel Bawesdan).
Oleh karena itu, kondisi carut-marut yang terjadi sangat mungkin masyarakat kehilangan kepercayaan pada lembaga tersebut. Lalu muncul semacam paradoks. Sistem hukum dan pemerintahan yang dibangun atas kepercayaan publik, guna melindungi hak-hak rakyat dan menciptakan kesejahteraan umum, makin jauh dari kenyataan. Sebab, korupsi mengikis legitimasi tersebut.
Padahal, seyogyanya nafas dan semangat yang harus dijaga adalah mengoptimalkan peningkatan sistem pengawasan dan profesionalitas penegakan hukum, karena dalam nafas yang seiring dan sejalan itu, kehidupan masyarakat yang adil dan makmur dapat terwujud.
Akan tetapi, dari perjalanan KPK dari waktu ke waktu justru harapan itu mengisyaratkan sebuah utopia. Akhirnya, tak dapat disangkal jika banyak menganggap bahwa lembaga ini (KPK) bukan saja mengalami kemunduran, tapi bisa jadi sedang menuju ke titik nol.
Utan kayu, Jakarta 22 Juni 2021
#stayathome
Komentar