Polemik TWK, Fahri Bachmid: Proses Alih Status Tidak Boleh Merugikan Pegawai KPK

TILIK.ID — Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan 75 pegawai KPK tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang merupakan bagian dari seleksi ujian Aparatur Sipil Negara (ASN).

TWK dilakukan KPK sebagai proses alih status para pegawai menjadi ASN yang rencananya dilantik pertengahan tahun ini. Hasil tersbeut menjadi sorotan publik terkait nasib dari 75 pegawai KPK yang tak lolos seleksi TWK.

Hasil TWK itu telah diunumkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Jakarta. Sebanyak 1.274 orang pegawai KPK yang memenuhi syarat dan 75 orang tidak memenuhi syarat.

Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H mengatakan, bahwa alih status pegawai KPK menjadi ASN sebagai konsekwensi berlakunya UU 19/2019 tentang KPK.

“Dalam pada itu, tidak boleh serampangan dan wajib berpedoman pada kaidah-kaidah konstitusional sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi RI dalam Perkara Nomor: 70/PUU-XVII/2019.,” kata Fahri Bachmid dalam keterangan tertulisnya yang diterima TILIK.ID, Selasa (11/5/2021).

Menurut Fahri, proses alih status pegawai KPK merupakan sebuah produk regulasi yang baru yang mana ada pihak-pihak yang terdampak langsung secara sistemik dari keberlakuan suatu norma baru, dan salah satunya adalah pegawai KPK.

BACA JUGA :  Penjabat Kepala Daerah dari ASN Tahun 2022 dan 2023 Inskonstitusional

Sehingga secara doktrinal maupun prinsip-prinsip hukum pada hakikatnya eksistensi sebuah norma hukum itu tidak boleh merugikan pihak terkait yang berkepentingan langsung dengan objek serta organ yang diatur.

“Ini adalah sesuatu yang sangat elementer, karena terkait dengan dimensi hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi,” katanya lagi.

Hal itu, kata Bachmid, dapat dicermati dan dilihat dalam UU No. 19/2019, bahwa ditentukan waktu untuk dilakukannya penyesuaian peralihan status kepegawaian KPK adalah paling lama 2 (dua) tahun sejak UU KPK berlaku.

Berkaitan dengan mekanisme penyesuaian tersebut telah diterbitkan instrumen hukum yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN (PP 41/2020), yang secara substansial desain dan konstruksi pengalihannya telah ditentukan skema pengalihan yaitu mulai dari pemetaan ruang lingkup pegawai KPK (apakah berstatus pegawai tetap atau pegawai tidak tetap) sampai dengan tahapan pengalihannya dengan melakukan penyesuaian jabatan pada KPK.

Juga mengenai identifikasi jenis dan jumlah pegawai KPK; pemetaan kesesuaian kualifikasi dan kompetensi serta pengalaman pegawai dengan jabatan ASN yang akan diduduki.

Bahwa pelaksanaan pengalihan pegawai apakah akan menjadi PNS atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK); serta menetapkan kelas jabatannya, juga mengacu pada ketentuan norma Pasal 4 PP 41/2020,

BACA JUGA :  Kerumunan, Tema Politik yang Lagi Ngetrend

“Dengan demikian, sekalipun pegawai KPK tersebut telah berusia 35 tahun atau lebih tidak berarti mereka akan kehilangan kesempatan untuk dilakukan penyesuaian apakah menjadi PNS atau PPPK. Sekali lagi hal ini karena berkaitan dengan hak konstitusional dari para pegawai KPK itu,,” kata Fahri Bachmid.

Dia menambahkan, untuk mengatur lebih lanjut mekanisme kerja pengalihan tersebut agar lebih cepat diwujudkan sesuai dengan kondisi faktual, bahwa PP RI No. 41/2020 menyerahkan pengaturannya dalam Peraturan KPK.

Dalam Peraturan KPK, “beleeid” inilah telah ditentukan penghitungan terhadap masa kerja dalam jenjang pangkat sebelum pegawai KPK menjadi ASN sesuai ketentuan Pasal 7 Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.

Mahkamah Konstitusi, kata Bachmid, MK sendiri telah memberikan tafsir konstitusional sebagaimana terdapat dalam pertimbangan hukum dalam Perkara Nomor: 70/PUU-XVII/2019, yang telah diputuskan/dibacakan pada hari Kamis, tanggal 8 Mei 2021, yang mana MK menegaskan bahwa adanya ketentuan mekanisme pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan kondisi faktual pegawai KPK.

“Sudah ditegaskan oleh MK bahwa dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN, maka dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut,” ujar Fahri Bachmid.

BACA JUGA :  Sukses Pimpin Bombana, Mendagri Perpanjang Masa Tugas Ir Burhanuddin MSi

Sebab, tambahnya, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan lagi, secara konstitusional.

Menurutnya, apa yang diputuskan oleh MK merupakan tafsir yang final dan definitive. Sehingga tidak perlu direduksi ataupun diterjemahkan selain daripada yang telah digariskan oleh MK.

Artinya KPK tidak boleh membangun tafsir lain terkait status 75 pegawai yang tidak lolos dalam tes alih status menjadi ASN berdasarkan hasil asesmen TWK pegawai dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada 27 April 2021 lalu.

Karena, secara hukum, Putusan MK telah jelas sehingga idealnya putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019 merupakan pedoman serta acuan bagi lembaga negara terkait, termasuk KPK untuk menjalankannya secara fungsional,

“Saya berpendapat bahwa KPK wajib menaati putusan MK yang menyebut proses peralihan status menjadi aparatur sipil negara (ASN) tidak boleh merugikan hak pegawai. Itu adalah sifat putusan yang “imperatif” bagi KPK dan jangan abaikan perintah MK tersebut untuk menghindari tradisi “Constitution Disobedience” atau pembangkangan terhadap konstitusi,” tandas Fahri Bachmid mengingatkan. (als)

Komentar