Oleh Ramdansyah Bakir
Ha ha ha ha..
Itu mungkin kata yang pertama bisa saya ungkap ketika muncul nama Geisz Chalifah.
Kenapa harus ketawa?
Jawabannya memang sederhana,
saya harus ketawa ketika nama ini disebutkan di ruang publik.
Kenapa?
Coba lihat dari penampilannya,
adakah dia good looking?
charming?
Mungkin kita bisa bikin skor 5 atau 6 dari skala 10.
Tapi, wait, wait. “Jangan menilai dari sampul surat,” ujar pepatah
Wwait, wait..
Biarkan dia bicara, suaranya khas
parau, mungkin. Tapi kalau dia berargumen, skala penilaian tiba tiba melonjak jadi 9,5 dari 10. hua ha ha aha ha ha.
Koq jadi naik? Bahkan melompat. Why?
Sederhana saja. Saya yang biasa di forum seperti televisi mudah sekali melawan argumen orang logika sederhana dengan membangun premis mayor dan minor.
Diiajarkan kampus, bahkan di organisasi seperti HMI dimana Geisz Chalifah pernah ikut berkecimpung.
Debat ala TV biasa diajarkan
kader-kader senior. Geis mengajarkan debat untuk melawan kader-kader PKI saat itu.
Lalu, apa hebatnya Geis, kalau cuman jago debat?
Wait, wait, pernah lihat ketika di tengah tengah debat dia dengan suara parau dan wajah tanpa dosa bisa dengan santai bertanya:
“SMA elu dimana?”
Kadang pertanyaan itu membuat lawan ragu menjawab.
Why? Karena itu pertanyaan sederhana, tetapi menjawabnya tidak sederhana.
Lawan harus menjawab dgn jujur
kejujuran menjadi barang langka di ruang publik.
Kalau lawan bicara Geisz mau bicara jujur, maka dia akan kejar dengan pertanyaan lebih sederhana lagi:
Tahu dimana Lgoa? (tempat saya lahir dan besar sd sekarang). Tahu di mana Warakas? atau johar? (tempat Geis tinggal sampai sekarang).
Ha ha aha ha ha..
Saya harus tertawa, kenapa?
Bukankah itu pertanyaan sederhana
dan kalau lawannya masih sanggup menjawab, dia akan kejar lagi dengan pertanyaan lebih-lebih sederhana lagi:
Pernah belanja di Senen atau berenang di planet Senen?
Saya melihat Geis cerdas mengajukan pertanyaan ini, why?
Geis bergeser dari pertanyaan sekadar kognisi dan melompat ke konasi.
Dia melompati pertanyaan afeksi (empati).
Ia ingin mempertontonkan kepada pemirsa bahwa lawan bicara tidak layak jadi pasangannya kalau tidak paham Lagoa, Johar atau Planet Senen.
Kalau lawan masih sanggup menjawab aspek kognisi, maka dia sikat dengan pengalaman empirik lawan bicara.
Apakah mungkin orang bicara Jakarta kalau tidak pernah jalan-jalan ke tempat yang jadi magnet orang Jakarta.
Ah Bang Geis..
Kata orang dia berpihak pada penguasa?
jawaban saya sah sah saja.
Untuk mengambil posisi
berada di depan, di belakang, tengah atau ada di barisan Anies Baswedan
sama syahnya dengan saya.
Ramdansyah Bakir mengambil posisi di depan Bakir jelas, dan tanpa tedeng aling-aling.
Selamat Bang Geis.. Sudah bisa membantu OD, agar tetap belajar supaya jadi lawan yang baik
dan lawan punya kapasitas di ruang publik. Sehingga penonton, rakyat Indonesia menjadi lebih cerdas
dengan pertanyaan lugu:
“SMA elu di mana?”
Salam hormat, dari salah satu penontonmu.
Komentar