Catatan Bang Sèm
BANJIR melanda beberapa negeri di Semenanjung Malaysia, ketika para politisi sedang sibuk berseteru memperebutkan kursi kekuasaan, sekaligus menjatuhkan Perdana Menteri Tan Sri Muhyiddin Yasin beserta pakatan Perikatan Nasional.
Yang Dipertuan Agong Malaysia ke 16 yang adalah juga Sultan Pahang, Al Sultan Abdullah Ri’ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah ibni Almarhum Sultan Haji Ahmad Shah Al-Musta’in Billah atau Tengku Abdullah, sesuai dengan sumpahnya saat dinobatkan sebagai Sultan dan sebagai Yang Dipertuan Agong, tak tinggal diam.
Bersama Raja Permaisuri Agong, Tunku Azizah Aminah Maimunah Iskandariah atau Tunku Azizah, Tengku Abdullah meninggalkan kemegahan Istana Negara, pulang ke negerinya dan berada di tengah-tengah rakyatnya yang menjadi korban banjir.
Putranya, Tengku Hassanal Ibrahim Alam Shah yang tahun lalu dinobatkan sebagai Pemangku Sultan Pahang dan putrinya Tengku Puteri Jihan Azizah ‘Athiyatullah yang ambil waktu libur dari sekolahnya di Inggris, ikut terjun bersama Sultan dan Permaisuri.
Watak dan akhlak Tengku Abdullah dan Tunku Azizah, mewarisi watak orang tuanya masing-masing, Allahyarham Sultan Ahmad Shah (Pahang) dan Allahyarham Sultan Mahmud Iskandar (Johor), bersahaja dan karib dengan rakyat. Mewarisi ilmu padi, dan tak berjarak dengan rakyat. Sultan dan Permaisuri memegang teguh prinsip “Rakyat dan Sultan Berpisah Tiada,” dalam keadaan senang maupun susah.
Sultan dan Permaisuri beserta putera mahkota dan puterinya, berada di antara para korban banjir di berbagai distrik yang amat parah tergenang banjir, mulai dari Temerloh, Kuantan, Kuala Lipis, Lubuh Paku, sampai Pekan.
Lubuk Paku dan Pekan daerah mengalami luapan parah. Terutama karena Pekan merupakan wilayah pesisir yang berhadapan dengan Kepulauan Riau. Wilayah Pahang dan Johor merupakan dua wilayah terluas di Semenanjung Malaysia.
Sungai pahang tak sanggup lagi menampung luapan air yang seperti dicurahkan dari langit tanpa henti.
Mereka saling berbagi peran dalam menanggulangi banjir yang melantakkan ribuan rumah dan memaksa ratusan korban. Menyambangi rakyat dalam kepungan banjir, dan dusun-dusun yang mulai surut, menggunakan perahu karet, sampan, juga sepeda motor, berboncengan dengan rakyat. Sultan mengendarai sendiri mobil jeep tumpangannya didampingi permaisuri, persis seperti yang dulu dilakukan Allahyarham ayahnya.
Saya sering ke Temerloh, Kuala Lipis, Kuantan dan Pekan, dan bisa merasakan bagaimana derita rakyat yang menjadi mangsa banjir. Temerloh memang
Tengku Abdullah dan Tengku Hassanal, mengenakan seragam dinas lapangan Angkatan Tentera Malaysia (ATM), akan halnya Tunku Azizah dan Puteri Jihan mengenakan pakaian casual. Mereka tak sungkan ‘ngerobok’ – berjalan di tengah genangan air, dengan tetap konsisten melaksanakan protokol kesehatan.
Tunku Azizah yang piawai memasak, membuat batik dan kraf tangan lainnya, memanfaatkan kepiawaiannya, memasak untuk pengungsi dalam jumlah besar dan banyak. Paham dengan apa yang dilakukan isterinya, Sultan Pahang tak segan turun tangan. Ambil bagian mengaduk nasi yang usai ditanak dan mengolah lauk pauk di dalam kuali besar.
Permaisuri dan Puteri Jihan bersama masyarakat setempat menata santapan untuk para korban banjir, ketika Sultan dan Tengku Hassanal bersama petugas penanggulangan bencana, terjun ke lapangan untuk memastikan rakyat terselamatkan.
Komitmen mendahulukan keselamatan rakyat merupakan acuan utama dan prioritas. Keberadaan Sultan dan Permaisuri beserta putera puterinya mengandung makna yang dalam, meski secara organisatoris kerajaan (pemerintah) mempunyai jejaring dan aparatur yang bertanggungjawab teknis secara langsung.
Mengikuti berbagai informasi yang terus terbarukan, saya melihat apa yang dilakukan Sultan, Permaisuri, dan putra putrinya tak hanya untuk memelihara optimisme dan rasa percaya, bahwa nasib mereka beroleh perhatian dari negara. Juga sebagai bagian dari pendidikan kepemimpinan secara langsung bagi putra-putrinya untuk bersungguh-sungguh berkhidmat kepada rakyat.
Ketika mengambil sumpah Tengku Hassanal, Sultan Abdullah bertitah tentang sikap rendah hati dan bersahaja sebagai pemimpin. Menjadi Sultan merupakan amanah untuk melindungi, mengayomi, menyelamatkan, dan berbagi rasa dengan rakyat.
Dalam kehidupan sehari-hari Sultan dan Permaisuri memberi contoh bgaimana membebaskan diri dari aturan protokol kenegaraan atau kenegerian ketika bersentuhan dengan rakyat. Itu sebabnya, rakyat bisa bertemu dan berbincang dengan raja dan permaisurinya, ketika mereka sedang berada di kedai makan, termasuk tempat berjualan kuih muih (jajan pasar) kaki lima.
Pernah seorang tukang durian dari Pekan, tak menyadari pembeli duriannya adalah permaisuri Tunku Azizah, yang kemudian dipanggilnya ‘kakak.’ Selepas itu dia baru tahu, karena tular (viral) di media sosial.
Tunku Azizah yang merasa terlayani dengan baik dan kualitas durian yang dijual memang lezat, datang dan membeli lagi durian di tepi jalan itu.
Kala Sultan, Permaisuri dan putra putrinya hadir di tengah bencana, yang hidup adalah krsadaran untuk merasakan derita secara bersama. Lantas dengan entusias yang tinggi, berjibaku mengatasi keadaan, sekurang-kurangnya terkait dengan tekanan psikis yang dialami rakyat.
Lantas, menghidupkan simpati, empati, apresiasi dan respek. Buahnya adalah kecintaan timbal balik antara sultan, permaisuri, dan keluarganya dengan rakyat, dan sebaliknya. Buahnya adalah rasa gembira dan sukacita yang menjadi energi besar untuk mengatasi dan melewati keadaan.
Sultan Tengku Abdullah dan Permaisuri Tunku Azizah adalah cermin dari jiran dalam memberi makna atas prinsip popules modes, dimensi kerakyatan, yang memberi nilai khas atas orientasi nilai budaya melayu yang menjunjung tinggi ekuitas dan ekualitas. Walaupun secara hirarkial formal ada aturan-aturan dan tatakrama aristokrasi.
Bila hendak dilihat dari teori relasi korelasi sosial, apa yang dilakukan Sultan Tengku Abdullah dan Permaisuri Tunku Azizah, mungkin merupakan cermin ironis bagi petinggi di negeri yang menghamburkan jargon demokrasi, tetapi sungguh memelihara feodalisme.. |
Komentar