“Saya Mau Jadi Hafidz Qur’an Saja, Pak”

Geisz Chalifah

KAMIS, 14 Januari 2021, saya mendatangi tempat yang paling menggetarkan di Ancol. Tempat itu bukan wahana Dunia Fantasi, bukan pula Ocean Dream Samudra, bukan pula Atlantis, dsbnya. Tempat-tempat di atas itu menggembirakan dan membahagiakan bagi banyak keluarga terutama anak-anak dan remaja. Ada pula yang memberi kenyamanan seperti Pasar Seni, Eco Park maupun Symphoni Of The Sea. Selalunya nyaman dan membahagiakan.

Namun ada satu wahana, saya menamakannya Wahana Menuju Surga. Namanya: Sekolah Rakyat Ancol. Dari semua yang ada di Ancol? tempat inilah yang paling menggetarkan bagi saya.

Berada di sekolah itu berbincang dengan guru-guru dan muridnya membuat saya selalu menginjak bumi. Membuat kita (saya) untuk selalu tetap menjadi “Manusia”.

Selepas acara pembagian SmartPhone di Sekolah Rakyat Ancol, seorang siswi perempuan menghampiri meminta untuk berfoto bersama. Saya tanyakan namanya dan kelas berapa sekarang. Dia menjawab nama dan kelasnya yang merupakan kelas terakhir di kelas 9 dan akan menuju ke jenjang berikutnya.

BACA JUGA :  Satu Lagi Anggota DPRD DKI Kena Skak Mat Geisz Chalifah

Perbincangan singkat itu menjadi menarik ketika dia meminta foto bersama lalu sambil bercanda saya katakan bersedia dengan satu syarat: Sekolah kamu harus selesai sampai jenjang tertinggi.

Deby Nur Indah Sari namanya. Menjawab dengan tersenyum: Saya hanya ingin jadi Hafidz Qur’an saja Pak

Cita-citanya tak sedehana yaitu menjadi Hafidzah cita-cita yang sangat mulia.

Di Ancol kami tak menjual drama tentang kemiskinan tak menjadikan panggung sinetron dengan segala kecengengan lalu menjadi cerita pendek yang menyebar kesemua stasiun TV.

Kemiskinan yang menyelimuti anak-anak di sekolah rakyat Ancol menjadi tantangan menjadi bagian tak terpisahkan dari semua unit untuk menggapai yang ditargetkan.

Bila Dufan dll menargetkan pengunjung naik sekian persen, maka Sekolah Rakyat Ancol menargetkan 50 persen murid-muridnya bisa memasuki jenjang SLA Negeri.

Sekolah adalah eskalator untuk manusia bisa terlepas dari jerat kemiskinan, pada titik itu kita semua berusaha, memaksimalkan segala upaya agar anak-anak kita di SRA bisa keluar dari jaring kemiskinan.

Kembali kepada Deby, ayahnya penarik becak dan ibunya pelayan restoran di sebuah apartement. Saya utarakan hal itu bukan untuk menjadi sarapan drama Korea tapi untuk menyatakan: Siapapun anak-anak itu, dari mana pun mereka berasal, maka optimisme tetap harus dibangun, dijaga dan diberikan ruang untuk mereka bisa menggapai mimpi.

BACA JUGA :  Dari Sirkuit Formula-E Ngopi (Ngobrol Pikiran) dengan Mereka yang ‘Tak Terlihat’

Pagi ini saya menelpunnya memberi khabar bahwa Pesantren Hafidz Qur’an untuk Deby telah siap menerima. Kamu belajar saja baik-baik dan tekun, Insya Allah cita-cita kamu ingin menjadi guru agama tercapai.

Terdengar suara riang di ujung telepon sana. Tentu saja saya lebih bersyukur, Insya Allah sampai hari ini dan seterusnya. Ikhtiar untuk tetap menjadi “Manusia” tetap berlangsung.

Karena tugas menjadi manusia adalah: Menghadirkan keadilan. Bukan mengucapkannya dan sesumbar di atas podium lalu berlaku sebaliknya.

Komentar