Catatan Bang Sém
ARUS migrasi besar-besaran pengguna aplikasi perpesanan (messaging app) terjadi, dari aplikasi Whatsapp ke Signal dan Telegram, sejak awal Januari 2021.
Harrison Mantas, dari International Fact Checker Network, lewat portal komunikasi nir laba Amerika Serikat, Poynter (Kamis, 14/1/21), mencatat, dua pekan terakhir bulan Januari, mencatat peningkatan dahsyat pengguna aplikasi perpesanan terenskripsi Signal dan Telegram.
Axios mencatat, aplikasi personal Signal telah mengalami peningkatan sebesar 667 persen (antara 5-10 Januari), akan halnya unduhan atas aplikasi Telegram meningkat sebesar 146 persen pada periode waktu yang sama. Sampai April 2020, Telegram diakses oleh 400 juta pengguna di seluruh dunia.
Pavel Durov, pendiri Telegram tercengang mengikuti perkembangan kenyataan, bahwa platform komunikasi massal perusahaannya itu, selama tiga hari terakhir mendapatkan tambahan 25 juta pengguna. Artinya, Google menambahkan lebih dari 8 juta pengguna baru setiap 24 jam, setara dengan jumlah penduduk kota NewYork. Apa pasal?
Mantas memperkirakan, migrasi besar-besaran pengguna aplikasi perpesanan dari Whatsapp ke platform lain, tersebab oleh sekurang-kurangnya tiga peristiwa pemicu.
Pertama, pelarangan bagi Presiden Donald Trump dan banyak pengikutnya dari Twitter, Facebook dan Youtube. Platform tersebut membenarkan tindakan ini dengan alasan untuk menghindari “risiko hasutan kekerasan lebih lanjut,” setelah penyerbuan massa pemberontak dan perusuh pro-Trump ke gedung Capitol AS pekan lalu;
Kedua, Google Play dan App Store melarang Parler, sebuah aplikasi yang populer di kalangan konservatif dan pendukung teori konspirasi seperti QAnon. Larangan ini diikuti oleh Amazon Web Services dengan menghapus Parler, setelah Parler menolak untuk menerapkan kebijakan moderasi konten.
Ketiga, rilis WhatsApp, aplikasi perpesanan populer milik Facebook, terkait persyaratan penggunaan baru – dan informasi yang salah tentang persyaratan baru tersebut menyebar, sehingga pengguna bermigrasi ke aplikasi perpesanan lain. Pengguna WhatsApp memiliki waktu hingga 8 Februari untuk menerima kebijakan privasi baru yang memungkinkan WhatsApp membagikan konten tertentu dengan Facebook.
Sebaran Serangan Infodemi
11 Januari pihak Facebook Inc berusaha menjelaskan lewat blog, bahwa pada kenyataannya, pengguna sudah berbagi banyak konten ini. Perusahaan itu juga berkilah, perubahan kebijakan itu, sebenarnya ditujukan untuk pesan pengguna ke jalur bisnis, bukan pesan pribadi terenkripsi ‘ujung ke ujung.’
Tapi, kebijakan baru yang dirilis untuk pengguna aplikasi Whatsapp, itu kadung diragukan pengguna. Tak ada jaminan keamanan data pribadi pengguna dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Terutama, karena terlalu banyak kasus buruk yang dialami pengguna. Misalnya, ‘pencurian’ akun pengguna oleh para penjahat dan kriminal. Terutama di negara-negara yang tak pandai menjaga keamanan data pribadi sebagai hak dasar manusia.
Situsasi ini membuat Nina Jankowicz, peneliti spesialis disinformasi dari Wilson Center gusar. Menurutnya, migrasi itu terkait dengan robohnya konsistensi deplatforming, yang selama ini mempersulit penyebar disinformasi (kabar wadul alias hoax) untuk menarik pengikut ke tujuan mereka yang selama ini seliweran di platform Whatsapp, Facebook, Twitter dan YouTube.
Menurut Jankowicz, migrasi dahsyat pengguna Whatsapp ke aplikasi lain, akan menjadi ‘permukaan serangan yang menyebar,’ dan sulit dipantau.
Pandangan Jankowicz tak sepenuhnya benar, walaupun selama ini, Telegram, misalnya, karena tidak mudah dicari seperti Twitter dan Facebook, memberi pengaruh yang dapat mengarahkan pengikut dari aplikasi utama ke grup yang kurang transparan.
Jankowicz yang terkesan bekerja untuk menahan migrasi dari Whatsapp ke Telegram dan Signal, menukil, Telegram pernah dipergunakan kaum radikalis untuk menggalang protes di Belarus. Sesuatu yang disebutnya sebagai ‘menghadirkan tantangan etis’ bagi mereka yang memerangi penyebaran disinformasi berbahaya.
Peneliti fact checker itu menyeru kalangannya meningkatkan kemampuan mempertahankan metode komunikasi massal ini, sekaligus menindak konten yang mengancam keselamatan publik atau demokrasi.
Bergantung Politisi
Akan halnya Christopher Guess, ahli teknologi utama di Duke Reporters ’Lab, Signal dan Parler tidak mewakili ancaman yang secara fundamental berbeda dari grup pribadi di Facebook atau Whatsapp. Guess melanjutkan, kelompok ‘pemerhati dan penikmat’ teori-teori konspirasi, seperti QAnon atau kebohongan tentang pemilu 2020, akan berkurang secara signifikan.
Dikemukakannya, radikalisasi biasanya dimulai di tempat orang berada dan merasa nyaman. Orang bermigrasi ke platform kedua, antara lain tersebab oleh upaya represif penikmat kekuasaan, menyingkirkan orang dari kemungkinan perbedaan pendapat. Padahal, dalam setiap orang yang meyakini sistem demokrasi — yang tak sempurna ini — punya kewajiban menjaga dan memelihata proses agar terus berputar.
Kendati demikian, Jankowicz benar, ketika dia menyatakan, bahwa keberhasilan atau kegagalan kelompok pada platform alternatif ini akan banyak bergantung pada bagaimana mereka dilegitimasi oleh politisi.
Kasus pemakzulan Trump, pergolakan politik yang mengintai Italia dan Perancis, strategi ‘mindik-mindik’ Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab membujuk dan mempengaruhi berbagai negara berpenduduk Islam berkarib mesra dengan zionis Israel, dengan iming-iming investasi adalah isyarat-isyarat yang harus jeli dibaca.
Pasalnya, belum ada negara, kecuali Iran dan Rusia yang berani bertegas-tegas membuka ruang demokrasi terbuka dan menaklukan narasi klaim petinggi tentang dukungan rakyat untuk aksi pluralisme dan inklusi represif.
Politisi Amerika Serikat, bahkan tak sampai separuh yang berani menegakkan legitimasi dan pencucian narasi palsu oleh pejabat pemerintahan dan kalangan berpengaruh yang ditekuk oleh oligarki dan transaksi-transaksi politik.
Jadi? Biarkan migrasi pengguna aplikasi perpesanan dari Whatsapp ke Telegram dan Signal berlangsung. Silakan! |
Komentar