by: Geisz Chalifah
DI ANCOL itu ada banyak unit. Ada Dufan, ada ODS, ada Seworld, juga resto-resto-resto yang keren. Semuanya itu serba gemerlap.
Dan menariknya, ada satu tempat di Ancol yang tidak banyak orang tau. Dan tempat itu istilahnya saya buat sendiri yaitu: Jalan Menuju Surga.
Dimana itu adanya?
Adanya di Sekolah Rakyat Ancol (SRA).
Ada lebih dari 100 murid dan mereka semua dari keluarga tak mampu.
Istilah insan-insan Ancol terhadap siswa/i SRA itu bukan murid-murid SRA tapi yang digunakan adalah: Anak-Anak Kita.
Ada Rika Lestari, dia Corporate Communication PJA, sebuah jabatan bergengsi yang wajahnya selalu muncul di media. Siswa/siswi dari SRA tak faham apa itu Corcom, gak ngerti apa itu bidang tugas yang dilakukan oleh Rika Lestari.
Yang mereka ketahui dan mereka lakukan (Para Siswi SRA) bila bertemu dengan Rika, bukan sekadar bersalaman sambil mencium tangan, tapi memeluk dengan erat seperti mereka memeluk ibunya sendiri.
Drama di Ancol yang tak banyak diketahui orang itu bukan drama ala-ala drama Korea yang pakai sutradara dan disetting sedemikian rupa di jalan raya.
Drama di Ancol itu adalah drama tentang realitas sesungguhnya dalam kehidupan yang getir, kelam dan hampir tanpa harapan.
Bersama Bagus dan Dina saya mengatakan: yuk kita buat kelas inspirasi untuk anak-anak kita (SRA). Lalu kelas inspirasi itupun berjalan dengan baik saat sebelum pandemi.
Rupanya Gubernur DKI Anies Baswedan ikut membaca posting-posting yang saya kirim di berbagai group WA tentang Sekolah Rakyat Ancol.
Pak Gubernur mengatakan: “Ancol sekarang membawa binar-binar kemuliaan”. Menariknya lagi dia mengatakan: “Kapan Saya diundang ke SRA?”
Jalan menuju surga selalunya banyak peminat dan jalan itu sesungguhnya bukan jalan yang sulit untuk dicari, karena Allah mengatakan bila kamu ingin menemuiKu maka temuilah Aku di antara mereka para mustadzafin.
Sang gubernur tahu persis di mana Rahmat Allah itu berada, oleh sebab itu tak banyak yang tau kelilingnya dia di perkampungan kumuh.
Menggotong seorang nenek renta yang sakit di rumahnya yang tak layak dikatakan rumah lalu bergegas memanggil ambulance untuk segera mendapat perawatan di Rumah Sakit.
Mendatangi perkampungan kumuh untuk menghibur keluarga yang sedang berduka (wafat), tak jarang pula ikut menggotong keranda jenazah.
Kegiatan-kegiatan semacam itu tak nampak di media, tak terberitakan di televisi, karna dia bukan sedang memainkan lakon drama untuk mendapat piala pencitraan.
Dia sedang mengetuk pintu langit agar hatinya tetap berfihak pada yang lemah dan keberkahan didapat bukan dari sorot media tapi doa dari mereka-mereka yang ditemuinya di tengah kegundahan dalam kesulitan.
Maka ketika mendengar cerita tentang Sekolah Rakyat Ancol sang Gubernur berkata: “Kapan Saya Diundang?
Urusan akherat memang persaingannya lumayan ramai, bahkan seorang Gubernurpun tetap berusaha menyisihkan waktu untuk ikut berkompetisi. Tak hanya dalam melakukan kebijakkan yang berkeadilan tapi juga merangkul secara dekat seluruh warganya di semua lapisan.
Komentar