Anies Temui HRS, Ada yang Salah?

by: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

HABIB Rizieq Pulang. Tepat di hari pahlawan. Heroisme Habib Rizieq jadi isu terhangat di media. TV One menayangkan secara live. Satu-satunya TV mainstream. Usai dhuhur, tayangan Habib Rizieq di TV One berhenti. Berhenti atau dihentikan, tanya publik.

Malam harinya, pulangnya Habib Rizieq jadi tema di program ILC. Para narasumber sudah dihubungi. Beberapa bahkan sudah menuju ke studio. Mendadak, dibatalkan. Ada apa, dan apa alasan dibatalkan? Hanya Karni Ilyas dan Tuhan yang tahu jawabannya.

Tokoh yang dikenal dengan panggilan IB-HRS ini memang penuh kontroversi. Pro-kontra mewarnai gerakan moralnya. Sejak mendirikan FPI hingga ketika HRS ini mengendalikan komandonya di Makkah selama tiga tahun terakhir.

Terkait 17 persoalan hukum yang dituduhkan kepadanya, hingga ketegangannya dengan istana telah membuat HRS semakin populer. Kemampuannya menggerakkan jutaan massa membuat sejumlah pihak, termasuk istana was was.

Di tengah kontroversi HRS, Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta mendatanginya. Bersilaturahmi, atas nama pribadi maupun Gubernur DKI. Kebetulan, HRS adalah warga DKI. Seorang tokoh, sekaligus ulama yang disegani dan berpengaruh, khususnya bagi warga DKI.

BACA JUGA :  KAMI Desak Presiden Menindak Tegas Pimpinan Polri Pelanggar HAM

Begitulah seorang pemimpin, mesti mampu membangun hubungan baik dengan semua unsur masyarakat, terutama para tokoh yang memiliki pengaruh terhadap warganya. Gak peduli apa agamanya, dari mana asal etinisnya, dan apa mazhab politiknya.

Mengembangkan hubungan dengan para tokoh diperlukan oleh setiap pemimpin untuk pertama, manjaga stabilitas sosial. Banyak persoalan warga yang justru efektif ketika menyelesaikannya melibatkan peran para tokoh agama maupun tokoh masyarakat. Kedua, menyusun agenda bersama untuk pembangunan kota Jakarta. Terutama pembangunan moral dan mental masyarakat.

Anies, selaku orang nomor satu di DKI melakukan peran ini. Merangkul semua pihak, terutama tokoh-tokoh berpengaruh seperti HRS. Tak ada alasan untuk tidak merawat hubungan baik dengan para tokoh, meski kontroversi sekalipun.

Poinya adalah bahwa setiap tokoh yang punya pengaruh dan punya kontribusi untuk bangsa, wajib bagi pemimpin menjaga hubungan baik, bahkan melibatkan peran sosialnya. Tidak peduli tokoh itu semazhab atau tidak semazhab dengannya.

Begitulah mestinya seorang pemimpin. Harus mampu berdiri di atas semua golongan. Ke semua tokoh agama dan tempat ibadah, Anies datang dan kepada semuanya Anies menyapa dan bersilaturahmi. Apalagi dengan HRS yang peran dan pengaruhnya terhadap masyarakat DKI sangat besar.

BACA JUGA :  Penelitian Vaksin Nusantara Dilanjutkan, Namun Sekarang Berbasis Pelayanan

Hanya pemimpin kerdil dan picik yang berdiri hanya di atas golongan dan kelompoknya sendiri.

Silaturahmi dan sikap merangkul, itu etika dan langkah strategis yang harus terus dirawat oleh setiap pemimpin. Baik pemimpin daerah, apalagi pemimpin nasional. Apalagi ini terkait dengan tokoh sekelas HRS yang kepeduliannya terhadap moralitas bangsa dianggap punya pengaruh cukup besar bagi masyarakat. Melalui “revolusi akhlak”, HRS ambil risiko untuk masa depan bangsa dan negara.

Sampai di sini, apa yang salah dengan Anies? Mengapa kader PDIP, Gilbert Simanjuntak, berteriak dan menuntut Mendagri mengevaluasi dan memberi sanksi terhadap Anies? Apa ada UU yang melarang seorang pemimpin bertemu warganya? UU nomor berapa dan pasal berapa seorang gubernur dilarang bersilaturahmi dengan tokoh agama? Apakah bertemu tokoh agama itu pelanggaran hukum?

Ahok menista agama, lalu divonis dua tahun penjara. Itu saja anda boleh menjenguknya. Jelas-jelas ada vonis bersalah, ada pasal pasal yang dilanggar, anda tidak dilarang menjenguk. Presiden sekalipun tidak dilarang menemuinya. Begitu juga menjenguk para koruptor dan terpidana yang lain. Tidak haram!

BACA JUGA :  REPUBLIK BUZZER

Kenapa bertemu Habib Rizieq dipersoalkan? HRS bukan terpidana, bukan pula koruptor. Dia bukan penjahat. Kenapa hormat dan ta’dzim Anies kepada ulama anda masalahkan?

Menyorot protab Covid-19, ada kesan mengada-ada. Ketika HRS pulang, yang disorot bukan masker dan social distancing, tapi pemerintah justru lebih fokus menyoal kepulangan HRS. Membincang masalah dan deportasinya. Seolah gak peduli dengan protap Covid-nya. Giliran Anies datang, ada yang cari-cari masalah terkait protap kesehatan.

Kalau begitu cara elite selalu bersikap, nalar rakyat Indonesia akan jadi ikut rusak. Di negara hukum, masyarakatnya mesti bernalar hukum. Hukum untuk semua, bukan hukum untuk lawan politiknya. Jangan ada nalar golongan dan nalar kebencian. Fanatisme dan kepentingan golongan inilah yang merusak karakter kebangsaan kita. Rakyat butuh sikap kenegarawanan, bukan kampanye kebencian.

Jakarta, 12 Nopember 2020

Komentar