TILIK.id, Jakarta — Tokoh Islam dan pendiri Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Prof Dr Din Syamsudin tampil ekslusif di Channel Akbar Faizal Uncensored tadi malam. Salah satu yang menarik dalam pernyataannya adalah kekecewaannya pada Presiden Jokowi.
Itu tidak lepas kemampuan Akbar Faizal sebagai host dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dua periode itu sampai blak-blakan.
Akbar Faizal mengawali pertanyaan dengan mengapa Din Syamsudin mundur dari jabatan mentereng, yaitu Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Keagamaan dan Peradaban. Menurut Akbar Faizal, alasan mundur tidak cukup kuat, sementara Muhammadiyah banyak memberi sokongan bagi langkah-langkah Din Syamsudin.
“Tentu ada apa-apa,” kata Din sambil tertawa bersama Akbar Faizal mengawali dialog dua tokoh di Channel Akbar Faizal Uncensored, Senin malam (5/10/2020).
Menurut Din, itu dimulai ketika ditinya menjadi Ketua Dewan Pertimbangan MUI yang terpilih bersama 99 perwakilan ormas Islam. Ada pandangan agar MUI tidak terlibat politik paktis.
“Karena Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin maka sebaiknya saya tidak lagi memegang jabatan utusan khusus presiden dan menjadi calon presiden. Karena nanti dibaca utusan khusus presiden strep calon presiden,” kata Din.
Namun, kata Din, ada alasan-alasan yang lebih subatantif, karena ada hal-hal yang diperjanjikan ketika menerima jabatan ini. Ini lebih ke posisi dan porsi umat Islam dalam kenegaraan.
Din mengaku menerima jabatan itu setelah pertemuan ketiga di Istana Negara. Pertama dia menolak, karena tugas utusan khusus itu sudah dilakoninya selama 10 tahun lebih sampai sekarang, baik sebagai Presiden Asian Committee on Religions for Peace/ACRP yang berpusat di Tokyp dan juga sebagai Honorary President World Conference on Religions for Peace/WCRP.
“Jadi saya berkeberatan menerima jabatan itu merangkap. Saya usulkan ke presiden agar ada orang lain supaya kita bisa tandem. Di awal pertemuan ketiga saya menerima dengan beberapa syarat-syarat. Namun syarat-syarat itu kemudian tidak terpenuhi,” kata Din.
Akbar Faizal kemudian menambah pertanyaan, apa syarat-syarat itu secara spesifik sehingga ada yang terlanggar dari kesepakatan dengan Presiden Jokowi.
“Bukan tidak terlanggar ya. Tapi tidak terpenuhi saja. Saya kembali bertemu Presiden di Halim Perdana sebelum pertemuan Istana. Saya tetap berkeberatan menerima tugas itu, namun Presiden mengatakan kita tidak ada orang lagi, padahal kita dibutuhkan dunia untuk menyelesaikan masalah Miyanmar, menyelesaikan masalah Afganistan,” kata Din mengutip dialognya dengan Jokowi.
Akhirnya Din bersedia menerima tugas itu dengan tiga syarat. Satu, lembaga ini difungsikan semestinya, tidak sekadar basa basi. Yang kedua, kata Din, dirinya memegang amanat di pergerakan Islam sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI
sehingga harus dipanami dirinya harus kritis untuk kepentingan umat Islam.
“Yang ketiga saya katakan saya tidak usah digaji cukup membiayai kegiatan. Nyatanya yang ketiga tidak bisa karena itu adalah ketentuan negara. Dua yang pertama itu tidak terpenuhi secara maksimal,” katanya.
Din pun mengungkapkan beberapa kegiatan yang telah dilakukannya. Salah satunya di forum perdamaian dunia, tiap dua tahun sekali, dan pertemuan ketujuh, yaitu mempromosikan Pancasila sebagai jalan tengah perdamaian dunia dalam pertemuan di Hotel Sultan dihadiri 43 negara.
“Saya kecewa sekali acara yang bagus dan bagus bagi Presiden tidak dihadiri. Padahal surat dua kali, lisan tiga empat kali. Untung saya cepat hubungi Menteri Luar Negeri Ibu Retno Marsudi,” beber Din.
Yang kedua, lanjut Din, adalah ketika mengalihkan hadiah dari seorang konglomerat Tionghoa yang berdomisili di Kuala Lumpur. Orang tersebut beragama Konghuchu tapi bersimpati pada Islam. Orang ini selama tiga tahun diam-diam menyuruh orang di China untuk menyulam Al Quran di atas kain sulaman, Indah sekali.
Sulaman Al Quran itu akan diberikan kepada dunia melalui Raja Arab, Raja Salman. Namun Din menawarkan bagaimana kalau diserahkan ke Presiden Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar. Dia setuju.
“Dan saya melakukan upaya dengan menyurat ke presiden dan mengusahakan bagaimana bisa diterima di Istana Negara pada malam 17 Ramadhan. Orangnya datang dengan pesat khusus membawa barang yang banyak itu sekaligus melaksanakan dialog Islam tingkat Asean di Hotel Mandarin,” kata Din bercerita.
Dia melanjutkan, saat itu disepakati akan hadir 7 orang ke Istana untuk penyerahan itu. Namun, ungkap Din, menjelang acara itu Istana membatalkan.
“Terus terang saya kecewa. Sesuatu yang bagus dengan makna simbolis hubungan Indonesia-China, dengan hubungan yang bersifat keagamaan, hubungan multidimensional, sudah bersedia diterima, namun berubah. Disampaikan bahwa besok akam diterima Menteri Agama,” katanya.
Mantan Ketua IPNU NTB ini selajutnya menceritakan bagaimana ketika diterima di Istana Negara, 12 hari setelah aksi 411 pada 16 November 2016. Dalam perbincangannya dengan Jokowi, Din mengeritik, mengapa Pak Jokowi tidak menerima perwakilan aksi, malah tinggalkan Istana.
Rupanya presiden minta pendapat apa yang harus dilakukan. Din pun sampaikan pendapat dengan cerita yang panjang. Misalnya jangan jangan anggap enteng suara rakyat. Lalu Presiden minta pendapat apa yang harus dilakukan.
“Saya usulkan dua. Ini saya pertanggungjawabkan lewat forum ini. Pertama pak presiden segera atasi kesenjangan ekonomi. Karena umat Islam saat ini merasakan adanya kesenjangan ekonomi, segelintir orang menguasai aset dan ekonomi, umat Islam saat ini tertatih-tatih, di Muhammadiyah kita memberdayakan ekonomi sangat tertatih tatih. Segera atasi kalau tidak akan menjadi bom waktu,” urai Din Syamsuddin.
Jokowi saat itu langsung bertanya jadi apa yang harus dilakukan. Din mengatakan secara spontan mencontoh apa yang dilakukan Mahathir, juga harus ada affirmatif action, aksi keberpihakan. Rupanya Jokowi setuju dan bertanya bagaimana kalau dengan new economic policy.
“Ada respons Jokowi Untuk ini. Kalau begitu kita terapkan new economic policy, kata Jokowi. Saya berbunga-bunga hati saat presiden penentu kehidupan bernegara kita ini berjanji di hadapan saya,” kata Din.
Usul kedua, Din mengatakan harus merajuk kerukunan. Tidak cukup kalau sekadar datang ke Muhammadiyah, ke NU. Untuk merajut kerukunan, maka bentuklah dewan kerukunan.
Atas usulan itu, Luhut Binsar Panjaitan diutus bertemu dengan Din. Namun baru bisa bertemu pada Februari 2017. Dalam pertemuan di mana hadir pula Megawati, Tri Soetrisno, dll.
Saat itulah Din diminta masuk anggota Unit Kerja Presiden Pengkajian Ideologi Pancasila. Namun Din menolak. Luhut menimpali bahwa ini kan usul Din Syamsuddin juga. Din menyatakan, bukan demikian usulan yang dikemukakannya kepada Jokowi.
“Bukan. Yang saya usulkan adalah dibentuk Dewan Kerukunan. Luhut kemudian mengatakan tidak apa-apa masuk dulu, nanti di tengah jalan diganti,” kata Din bercerita.
Penolakan Din Syamsuddin itu sehingga Said Agil Siradj masuk dalam UKPPIP yang kenudian dibemtuk Badan Pengkajian Ideologi Pancasila (BPIP).
Namun usulan saya mengatasi kesenjangan ekonomi itu tetap saya pertanyakan. Setahun kemudian Din tanya lagi. Jawaban Jokowi, kata Din, itu sulit dilakukan. Namun Din mengatakan, kalau ada political will, ada good will semua bisa dilakukan.
“Jokowi mengatakan kalau begitu siapa-siapa yang bisa. Saya katakan cukup 4 atau lima diambil. Tidak usah jadi taipanlah. Namti yang sedikit ini bisa menetes ke bawah,” kata Din.
Ini cara untuk menegakkan keadilan sosial dan mengatasi ketimpangan menuju equilibrium atau keseimbangan. Sebab, jika di kalangan Islam ekonominya terpuruk akan terjadi disequilibrium, ketidakseimbamgan nasional, dan ini berbahaya.
“Namun sampai saya mundur dari Utusan Khusus Presiden janji itu tidak pernah terpenuhi,” kata Din Syamsuddin lagi.
Akbar Faizal lantas mempertanyakan bahwa Din pernah mengungkapkan bahwa Jokowi sebenarnya baik. Namun orang-orang sekitarnya tidak cukup berniat baik. “Apa maksudnya, Prof?” tanya Akbar Faizal.
Din lalu menguraikan bagaimana sampai ada penilaian demikian. Din mengaku selama menjadi Utusan Khusus Presiden, dirinya sering bertemu Presiden Jokowi.
Dalam banyak pertemuannya, Din menilai Jokowi orang baik. Hanya menurut Din, di sekelingnys banyak orang buruk. Bahasa untuk mereka ini adalah cleptocrasi. Siapa-siapa sekeliling Jokowi itu?
“Kepada Jokowi saya sebut nama. Ada dua nama. Dua kali saya tanya itu, tidak dijawab. Mungkin marah, mengapa nanya itu terus,” kata Din.
Din berkesimpulan bahwa Jokowi diam bukan karena setuju tapi mungkin itu tidak sesuai dengan keinginannya. Namun mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini akhirnya mendapat jawaban dari seorang tokoh militer yang juga pernah meminta kepada Jokowi untuk tidak memberi peran kepada satu nama orang sekitar Jokowi itu.
“Dan saya dapat informasi dari tokoh, dia jenderal. Beliau pernah menyampaikan hal yang sama, meminta seseorang itu jangan diberi banyak kekuasaan. Marah presidennya. Jokowi pun menjelaskan begini-begini, dan hubungannya begini begini,” beber Din.
Siapa nama yang di maksud? Silakan tonton dialog lengkapnya di Channel Akbar Faizal Uncensored di Youtube. (lid)
Komentar