Malik Fajar, Sang Manajer

Oleh: Fathorrahman Fadli

ADA perasaan kehilangan ketika mendengar Profesor Malik Fajar meninggal dunia. Apalagi bagi mereka yang berkhikmad di Muhammadiyah dan HMI tempat beliau dibesarkan. Sebagai sosok tokoh nasional dalam dunia Pendidikan, Pak Malik menyuguhkan jejak yang jelas dan berdampak luas bagi kemajuan umat, bangsa dan negara.

Di kalangan Muhammadiyah, Pak Malik kerap menjadi bahan guyonan yang segar ketika orang berdebat soal rokok. Akhir-akhir ini, banyak orang Muhammadiyah yang anti terhadap rokok. Namun ada juga yang makin kencang merokoknya ketika dilarang. Dari perdebatan itu Pak Malik sering jadi rujukan bagi mereka yang suka merokok. Kata mereka ini, dalam Muhammadiyah ada dua aliran soal merokok. Pertama, mazhab Syafi’iyah (Pak Syafi’e Maarif) yang tidak suka merokok, dan Mazhab Malikiyah (Pak Malik Fadjar) yang suka merokok.

“Jadi saya ikut Pak Malik saja, sebab beliau merokok, “ kata pengikut Malik memberi alasan sembari pergi ketawa-tawa.

Sahabat saya, Hafiz Bambang Pamungkas, juga merokok. Dia adalah ponakan Prof. Malik Fadjar. Jika mengajak diskusi saya, Hafiz juga ngebul. Gayanya dan kedalaman berfikirnya mirip sekali dengan Malik Fadjar. Oleh karena itu dia yang kini bekerja sebagai bos kecil di Adhi Karya Tbk itu saya juluki sebagai “Si Malik Kecil”.

Hafiz prototipe Pak Malik, pleg. Dan, dalam beberapa percakapan kecil saya dengan sahabat itu; diam-diam dia memang mengagumi Pak Malik. Bagi saya adalah wajar jika sang ponakan mengidolakan pamannya yang memang layak dibanggakan.

Dari Hafiz-lah saya banyak tahu tentang pribadi Pak Malik Fadjar. Tentu disamping hasil pengamatan langsung dan tidak langsung saya dengan beliau. Sebagai wartawan, saya pernah datang bersama wartawan Republika, Zis Muzahid Hasan untuk mewawancarai Pak Malik Fajar di kantornya, Rektorat UMM, puluhan tahun silam. Kami diterima Pak Malik dengan suka cita. Pak Malik senang sekali jika ada wartawan yang bisa diajak diskusi, bukan sekadar wawancara belaka. Mengapa? Karena Pak Malik menyukai arti pentingnya kedalaman. Bagaimana memaknai pertanyaan seorang wartawan dan jawaban dari narasumber dalam bingkai dinamika sosial politik tertentu, sehingga tulisan seorang wartawan itu memikili konteksnya yang jelas. Malik menyukai kedalaman.

BACA JUGA :  Pembawa Formula E ke RI Tak Diundang, Beli Tiket Sendiri Lalu Ikut Antri

Angkat Profesor Muda

Malik Fadjar terbilang sosok tokoh yang terlatih berfikir jauh ke masa depan. Ketika ia menjabat sebagai Menteri Pendidikan di masa Megawati, Pak Malik misalnya melihat penurunan peran para profesor yang sudah tua-tua dan kebanyakan pelupa. Beliau ingin agar profesor di Indonesia itu masih muda-muda. Mengapa? Kata beliau; buat apa jadi profesor kalau sudah tua?

Malik menjelaskan, mengangkat profesor yang sudah tua tidak banyak manfaatnya bagi negara. Sebab seorang profesor harus produktif melahirkan ide-ide progresif untuk kemajuan bangsa. Kalau sudah tua, energi mereka untuk berfikir strategis tentang kemajuan bangsa akan menurun. Mereka mulai lupa-lupa, tidak energik lagi, mulai punya penyakit, dan mudah tersinggung. Apalagi mengerjakan tugas-tugas riset lapangan yang membutuhkan energi berlebih.

Itu kira-kira alasan Pak Malik, mengapa dia mengangkat profesor dalam usia yang masih muda. Sejak Pak Malik-lah kemudian banyak bermunculan di kampus-kampus profesor-profesor berusia muda.

Solidarity Maker

Malik Fadjar terbilang sebagai tokoh moderat yang bisa menjadi solidarity maker. Pernah suatu ketika saya mencari klarifikasi soal perbedaan pendapat antara Pak Lukman Harun dengan Pak Amien Rais dalam konteks memposisikan Muhammadiyah terhadap kekuasaan kepada Pak Harto waktu itu. Waktu itu Pak Lukman ingin agar Muhammadiyah mengambil posisi akomodatif terhadap kekuasaan. Alasannya, hubungan baik yang selama ini baik dengan Pak Harto adalah hasil perjuangan Muhammadiyah berpuluh-puluh tahun lamanya.

BACA JUGA :  Setelah Holywings, Apalagi?

“Jadi hubungan yang membaik itu jangan dirusak dalam sekejab oleh karena kita kritik-kritik,” jelas Pak Lukman Harun seraya menganjurkan agar Muhammadiyah lebih serius mengurus ekonomi ketimbang politik.

“Politik itu akan otomatis kalau kita sudah kaya,” tegas Delegasi Tetap Indonesia pada Rabithah Islamiyah itu.

Namun Pak Amien sebagai sarjana politik punya alasan kuat untuk mengkritisi Soeharto yang berkuasa lebih dari 30 tahun itu. Apa yang dilakukan Pak Amien sebelum Soeharto jatuh itu, dinilai Pak Amien telah selaras dengan garis perjuangan Muhammadiyah yaitu Amar Makruf Nahi Munkar.

“Muhammadiyah jangan hanya amar makruf, tapi juga harus mencegah kemungkaran,” demikian Pak Amien memberi argumen atas kritik-kritiknya pada Soehartonya dinilainya sangat otiriter.

Dua polarisasi pemikiran itu terjadi dalam tubuh Muhammadiyah. Namun varian lain muncul dari pemikiran Malik Fadjar. Menurut Pak Malik Muhammadiyah kaya akan berbagai pemikiran. Dan dua arus pemikiran yang muncul dari Pak Lukman dan Pak Amien itu adalah khasanah pemikiran yang selalu berkembang di Muhammadiyah.

“Itu hanya dinamika internal para tokoh di Muhammadiyah, bukan sebuah perpecahan. Muhammadiyah eksis justru karena kami terbiasa dengan perbedaan. Tidak ada masalah dengan mereka berdua kok, Ok ya,“ jelas Malik Fadjar sesaat beliau mengikuti pelantikan Profesor Rahardi Ramlan puluhan tahun silam.

Pak Malik kerap memposisikan diri sebagai pencipta solidaritas dalam perkawanan mereka di Muhammadiyah maupun di luar Muhammadiyah. Dalam perkawanan politik, Pak Malik dikenal dekat dengan Megawati. Pak Malik pandai menjahit perkawanan dengan Megawati berkat keberhasilan beliau menjelaskan hubungan organis dan psikologis-politis antara Sukarno dengan Muhammadiyah.

BACA JUGA :  Satu Persatu Mati di Jakarta, Siapa yang Salah?

Sang Manajer

Rasanya tidak banyak orang secanggih Malik Fadjar dalam soal mengelola masalah-masalah dalam kementerian. Kementerian Pendidikan sampai kapan pun akan terus berjumpa dengan masalah. Mengapa? Karena kementerian itu mencakup masalah yang sangat strategis dan luas. Selalu saja ada masalah di seputar dunia pendidikan. Namun di tangan Malik Fadjar yang puluhan tahun mengurus pendidikan, tak ada masalah serius yang muncul saat itu.

Manakala ada masalah, maka Malik Fadjar segera mengidentifikasi masalah itu sesuai lokus, jenjang, dan akar masalahnya. Jika masalah itu cukup di selesaikan oleh seorang Kepala Dinas, maka beliau menyuruh menyelesaikannya hingga tuntas. Untuk itu seorang Menteri, kata Pak Malik, tak perlu memberikan komentar yang justru bikin masalah makin membesar.

Manajemen isu menurut Pak Malik harus dikelola secara baik. Hal itu penting agar seluruh aparat yang ada di bawah kendali beliau bisa tetap bekerja dengan tenang dan nyaman.

Dalam hal mengelola dunia pendidikan, Malik Fadjar terbukti sukses besar. Universitas Muhammadiyah Malang yang dikelola dengan ‘Manajemen Tongkrong’ itu kini menjadi kampus terbesar dan favorit bagi mahasiswa di Malang Jawa Timur itu. Dari kampus itu pula Malik Fadjar dipercaya sebagai Menteri Agama dan Menteri Pendidikan. Kini beliau telah pergi meninggalkan kiat semua, semoga beliau husnul khotimah dan kelak mendapat surga yang dijanjikan, Amiiin.

Komentar