Dr. Muhammad Sabri, MA
SEBUAH puisi lahir ketika semesta kode, galaksi makna dan realitas bertaut. “Les mots ne sont pos innocences,”—tak ada kata-kata yang polos—begitu pendakuan filsuf Prancis, Pierre Bourdieu. Selalu saja ada ruang yang tersisa pada kata: tafsir, hasrat, dan juga kuasa. Bahasa, bagi Bourdieu, bukan sekadar instrumen komunikasi dan modal kultural, tapi juga tindak-sosial. Itu sebab, kapasitas bahasa aktor sosial ditentukan oleh habitus linguistiknya.
Bahasa selalu diproduksi di dalam habitus dan “pasar linguistik”: sebuah arena tempat dimana wacana tercipta. Mungkin itu sebabnya, Wittgenstein dalam Philosophical Investigations (1953), mengandaikan jika pasar linguistik memiliki language game dan forms of life: bahwa setiap bahasa dalam kehidupan yang aneka punya “aturan main” dan “arena” yang khas.
Seturut dengan Wittgenstein, Bourdieu meletakkan bahasa sebagai sebuah arena, kancah, dan juga pertarungan. Di setiap pasar linguistik, karena itu, selalu saja ada wacana yang dominan dan memenangkan pertarungan. Bourdieu menyebutnya doxa. Bourdieu lebih jauh melukiskan, relasi komunikasi antara pengirim pesan (émetteur) dan penerima pesan (récepteur) dalam habitus linguistik, dibangun berdasarkan “konstruksi” kode-bahasa oleh pengirim dan “dekonstruksi” simbol-bahasa oleh penerima. Di sini, Bourdieu ingin menyatakan, wacana yang dikirimkan, bukanlah semata wacana atau ide yang diharapkan bisa dipahami dan ditelaah oleh penerima, tapi juga merupakan kumpulan kode atau jagat simbol yang bertujuan untuk “diapresiasi dan dipatuhi”. Hasrat untuk “diapresiasi dan dipatuhi” menunjukkan otoritas (signes d’autorité) yang ingin diraih oleh setiap aktor sosial.
Bahasa sebagai modal kultural—dalam permenungan Bourdieu—menampilkan dua paras yang bertukar tangkap dan saling meniadakan: pertikaian sengit antara “doxa” dan wacana yang ingin melumatnya atau “heterodoxa.” Tapi puisi—tepatnya bahasa puisi—bukanlah ide, wacana apalagi doxa. Dalam puisi, dalil filsafat Cartesian, cogito ergo sum—“saya berpikir maka saya ada” dipatahkan secara absolut, karena yang berlangsung dalam puisi adalah, “saya mengalami maka saya ada”. Di sini diandaikan jika pengalaman bukanlah perjumpaan intelektual dengan realitas, tapi keterlibatan eksistensial di dalamnya.
Jika ilmu dan filsafat mewujudkan pengalaman menjadi pengetahuan, mengubah perasaan menjadi pikiran, nada menjadi balok-balok not, getar rindu jadi psikologi, ilham menjadi proposisi dan argumentasi; maka puisi membalik paradigma tersebut pada posisi asalnya. Pada puisi, yang berlangsung sesungguhnya adalah transposisi: pikiran menjadi pengalaman dan nuansa, rindu menjadi getar-rasa yang asing, argumentasi berubah menjadi intuisi-batin, dan ilham menjadi horizon eksistensial tentang eksotisme kepak sayap kupu-kupu dan tarian kemilau embun di pucuk-pucuk cemara, atau visun tentang bau tanah sawah dan laut biru yang setia meniru warna langit. Seorang ilmuan dan filsuf berusaha mengonstruk pikiran dan ide, sementara seorang penyair berkhidmat menemukan makna.
Dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya (2004), Ignas Kleden bahkan mengutip pendakuan penyair Soetardji Calzoum Bachri, “bahasa dan kata-kata bukanlah medium untuk seorang penyair. Sebaliknyalah yang terjadi dalam puisi: bahasa dan makna bergerak ke arah mana saja dan kemudian menemukan seorang penyair sebagai mediumnya dan kemudian menjelma di dalamnya”. Di titik kesadaran inilah seorang penyair dan intelektual bertaut, yang lazim dibilangkan sebagai public intellectual.
Intelektual publik adalah orang-orang yang telah mengalami extention of self dalam mengakrabi masalah masyarakat dan bangsanya. Sebuah kesadaran out of the box yang melampaui sekat-sekat teritorialitas, primordial, etnik, dan agama. Sebilah kecenderungan—jika bukannya keberanian—menerobos sekat yang berlapis: disiplin akademisnya, melangkah keluar dari kebudayaannya, dan batas kompetensi profesionalitasnya.
“Puisi”—ungkap Goenawan Mohamad—“datang pertama kali kepada kita lewat nadanya.” Puisi seolah jejak dari sebuah gumam, bisikan yang pradah. Seorang penyair tidak percaya begitu saja dengan nada tegas, hiruk-pikuk dan heroisme. Puisi terkadang justru lahir sebagai sebuah bisik yang menyentuh batin, ibarat putik bunga yang mencium rembulan: seorang penyair mempercakapkan sesuatu tidak dalam posisi menggurui, menuntun, dan meneladankan, tapi dengan rendah hati mengajak untuk tenggelam bersama dalam samudera ontologis kehidupan.
Pada akhirnya, sebuah puisi tidak hadir sebagai ide, gagasan, atau konsep, tapi ia datang sebagai sayap jiwa yang menyengat: bahwa hidup tidak sepenuhnya empirik dan rasional, tapi juga merengkuh hal-hal yang infinitum, misterium, dan tak tercakapkan.
Penulis, Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
Komentar