TILIK.id, Jakarta — Perkumpulan UMA (Usaha Memajukan Anakbangsa) kembali menggelar silaturahmi lewat diakusi virtual ba’da Isya dan taraweh Ahad malam. Diiskusi bertema Nasib Pemerintahan Jokowi Menghadapi Ciovid-19.
Tampil sebagai marasumber dalam diskusi adalah mantan anggota DPR tiga periode Sofhian Mile, Budayawan dan Penyair N Syamsuddin Ch Haesy, pakar kesehatan masyarakat Dr Herry Norman, mantan Deputi Penempatan Ketenagakerjan Kemenaker Ade Adam Noch, mantan Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan, anggota Komisi IX DPR RI Darul Siska, Ketua Umum Masyarakat Energi Baru dan Terbarukan Indonesia (METI) Ir Surya Darma, mantan anggota DPR Unchu Natsir, dan Anthony Hilman.
Pengamat Ketenagakerjaan Ade Adam Noch dalam paparannya menjelaskan, bahwa populasi penduduk kita pada 2019 sekitar 270 juta. Dari jumlah itu, angkatan kerja sebanyak 130 juta. Angka pengangguran sekitar 7 juta orang.
“Angka pengangguran ini akan menjadi masalah. Belum lagi dampak dari wabah Covid-19, pasti akan berlipat-lipat. Ini akan dibadapi oleh bangsa ini,” kata Ade.
Dengan demikian, menurut Ade, kebijakan-kebijakan negara yang memang harus diperhatikan berdasarkan kepentingan rakyat. Itulah yang harus kita kawal dan kita dorong.
Ada pemikiran-pemikiran soal ini dan soal-soal tenaga kerja asing. Namun tenaga kerja asing itu bukan hanya sekarang. Sejak orde baru sudah masuk tenaga kerja asing.
“Jika investasi mengikutkan tenaga kerja asing, tetapi tidak jor joran sifatnya. Kalau sekarang justru menimbulkan ketidakadilan. Ini kemudian menimbulkan pertanyaan, investasi untuk siapa?” kata Ade.
Padahal, berdasarkan UUD setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan itu adalah hak rakyat yang dijamin UUD.
“Kebijakan-kebijakan apapun, orientasinya haruslah berpihak pada rakyat. Iri kemudian yang tidak tampak, yang menimbulkan kegaduhan,” katanya.
Ada kemudian yang membandingkan dengan TKI di luar negeri. Di tengah laut ada kejadian tenaga kerja kita, lalu kemudian ada menteri mengatakan TKA harus diakui lebih baik dari tenaga kerja Indonnesia sendiri.
Tenaga kerja kita di luar negeri bekerja di sana karena negara itu minta, dibutuhkan. Beda dengan TKA yang masuk karena dibawa oleh investor. Malaysia saja tiap tehun butuh Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Kemudian Jepang mereka minta dari kita.
Arab Saudi, kata Ade, itu 70 persen tenaga kerja asing. Hal itu tidak menjadi persoalan karena mereka butuh. Yang jadi persaoalan karena suplai kita besar, penduduk kita besar.
“Kemudian ada yang berargumen bahwa kualitas TKI kita tidak berkualitas. Tapi itulah tugas negara menjadikan tenaga kerja kita agar bisa di terima di lapangan kerja,” kata Ade lagi.
Ade kemudian mengajak semua untuk peduli dengan kondisi objektif ketenagakerjaan Indonesian. Masalah TKA yang membuat gaduh negeri ini haruslah ada upaya penyadaran tentang kewajiban negara untuk kepentingan rakyat.
Tigor Sihite sebagai pemandu dan sekaligus Hosr diskusi menambahkan, bahwa data ketenagakerjaan Indonesia tidak update. Yang disampaikan Ade adalah data Agustus 2019. Padahal negara-negara lain data penduduk dan ketenagakerjaannya begitu lengkap.
“Saya baru saja mendapatkan data Amerika dari CNBC, dari bulan April saja di Amerika itu terjadi pengangguran 33 juta. Saya pikir tak jauh beda dengan Indonesia karena jumlah penduduknya dan sektornya kan hampir sama,” tambah Tigor Sihite.
Menurut Tigor, data ini akan menjadi faktor atau variabel-variabel yang nanti menentukan tingkat kerusakan bangsa ini, kalau pandemi Covid tidak segera berakhir.
Narasumber lain, Herry Norman, menjelaskan bahwa kesehatan itu adalah soal manusia. Tidak salah kalau disebut kesehatan adalah kemanusiaan. Namun fakta yang terjadi, di tengah darurat kesehatan ini, Indonesia seperti terjajah.
‘Contoh, kita kekurangan APD. Pabrik APD itu ada di negeri ini, ada di tanah ini. Prasarananya ada di Indonesia. Buruhnya adalah pekerja Indonesia, tapi produknya untuk asing,” kata Herry.
Jadi, kata Herry, dalam keadaan darurat ini, kita kekurangan APD tapi produk APD dberikan ke asing. Dari aspek kesehatan ini, Indonesia sudah terjajah.
Dikatakan, kesehatan itu mengabdi pada kemanusiaan untuk kerakyatan. Kesahatan bukanlah industri atau diindustrikan. Namun kenyataannya sekarang terjadi pengindustrian. UU Kesehatan dibuat untuk kapitalis. Contoh ada UU menyebut Rumah Sakit Dikelola oleh perseroan
“Dengan UU itu, Rumah Sakit sedang mengusir orang miskin. Bahaya ini jika rumah sakit sudah menjadi industri,” katanya.
Anggota Komisi IX DPR RI Darul Siska tampil berikutnya. Menurut anggota Fraksi Partai Gollar ini, kalau melihat sejarah 1998 sebetulnya sudah menikmati reformasi. Tetapi reformasinya tanpa arah. Malahan reformasi yang kita buat itu membuat kebijakan-kebijakan yang tidak memberikan landasan tentang masa depan bangsa ini yang akan lebih cerah.
Kenapa? Karena semua kebijakan dibuat dalam keadaan marah dari kearifan kita sebagai bangsa tenggelam, karena kemarahan kita membuat kebijakan waktu reformasi itu. Reformasi adalah gerakan tanpa arah.
“Kedepan, jika mau melakukan suatu perubahan musti jelaskan dulu arahnya mau kemana. Umpama, saya tidak memuji Pak Harto, tapi dikala Pak Harto mengambil kekuasaan ada satu kebijakan jangka panjang yang diletakkan yang disarikan dari seminar Angkatan Darat di Bandung,”’ kata Darul Siska.
Untuk melakukan perubahan, dari sekarang kita harus berpikir untuk jangka panjang. Kalau orang bijak, ibarat mau memindahkan pagar harus kita tau dulu kenapa pagar itu diletakkan pada posisi yang ada sekarang.
“Saya tidak berbeda dengan Pak Sofyan, bahwa politik kita hari ini itu politik tanpa etika, karena memimpin partai-partai politik bukan orang-orang yang muncul dari dunia aktivis yang punya tanggung jawab sebagai anak bangsa yang berperan sebagai negarawan,” ujar Darul.
Darul menyambung ide Bang Sem Haesy untuk melakukan transformasi. Namun Darul menginginkan transformasi yang mau diletakkan dasarnya itu adalah mungkin belajar dari Jepang, melakukan perubahan tapi perubahan itu tidak meninggalkan budaya sendiri. Norma-norma yang hidup di masyarakat harus terjaga dengan baik.
Menurut Darul, ketaatan kepada norma itu adalah bagian dari akhlakul karimah. Dikaitkan dengan politik, politik kita saat ini adalah politik cari muka. Bukan lagi politik cari pahala. Artinya nawaitu nya berbeda sekali.
“Menata bangsa ini untuk merancang citra diri. Bukan mengabdi kepada masyarakat sebagai Ibadah dalam pelaksanaan kehidupan kenegaraan kita. Contoh bantuan untuk masyarakat sampai 8 jenis. Karena masing-masing tokoh di kementerian itu mau cari nama. Ini menunjukkan bahwa politik kita politik cari muka.,” ujar Darul.
Soal ide transformasi perubahan, Darul berharap ada konsep yang lebih komprehensif, tentu melengkapi dengan isu sektoral. Misalnya soal tenaga kerja, kita harus merebut hati para pekerja yang kecewa karena UU tidak berpihak pada mereka.
“Kalau mau melakukan transformasi, ada sesuatu yang disiapkan. Bagaimana tentang tenaga kerja dan masa depannya, bagaimana kesehatan masyarakat di masa yang akan datang, dan lain-lainnya,” kata Darul.
Dia mengatakan, konsep dan rumusan perlu didiskusikan kalau mau melakukan transformasi. Letakkan grand design dulu. 100 tahun kedepan mu mau jadi apa. Kalau tidak, kita lagi-lagi akan membelah sejarah reformasi tahun 98 melakukan perubahan tanpa arah.
“Karena hari ini kita semua kecewa dengan reformasi. Terima kasih,” pungkas Darul Siska.
Diskusi yang berlangsung hingga dinihari itu dilanjutkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang 2014-2016 Ferry M Baldan. Dia memulai dengan mengutip cuitan di twitter di mana Presiden Jokowi minta agar kurva Covid-19 diturunkan dengan cara apapun.
“Kalau mau turunkan kurva ganti saja Gugus Tugas Covid-19 dengan komisioner KPU. Dia ahli membolak balik kurva itu,” kata Ferry mengutip tanggapan nitezen atas pernyataan Jokowi.
Ferry selamjutnya menyingggung disfungsi parpol dan anggota parlemen. Dikatakan, terjadi nepotisme di seluruh perangkat kepartaian. Baik itu kepenguran partai, ftaksi, apalagi anggota dewan. Semunya terpusatkan di ketua umum.
“Tiga fungsi dewan misalnya, harusnya bisa dilakukan dengan melihat momentum sekarang. Pengawasan digunakan untuk menekan anggaran. Dalam rapat kebijakan tidak sesuai dengan pandangan dewan, maka yang tidak disetujui adalah anggarannya,” kata Ferry yang juga mantan anggota DPR RI tiga periode ini.
Tapi, lanjut Ferry, lagi-lagi ada distungsi di perangkat partai selain di ketua umumnnya. Jadi kemudian mubazir tidak bisa melakukan apa-apa.
“Nah, apa yang kemudian kita lihat sebetulnya adalah belum full di dalam proses regulasi, lagi-lagi peran dewan tidak dilakukan. Juga dalam proses itu bisa memainkan peran dan melakukan pressure kepada pemerintah, tapi lagi-lagi terjadi disfungsi,” katanya.
Apa yang disampaikan Bang Sem, kata Ferry, Bangsa Setengah itu, sudah harus berpikir bagaimana membangun sebuah peran di luar lembaga formal, informal, dalam bentuk civil society.
“Bangsa setengah itu sebenarnya adalah bahasa lain dari bagaimana keamatiran pada pengelola masalah wabah ini. Tidak saja adanya tumpang tindih, tidak saja adanya saling silang, tapi bahkan juga saling bertabrakan dan mendeligitimasikan antar satu kebijakan, regulasi antar satu sektor di pemerintahan,” urai Ferry.
Menarik pernyataan tiga menteri terkait Gubernur Anies Baswedan. Mensos bertahan seolah-olah ada dana dari kementeriannya. Padahal yang dimaksud kemudian adalah ada penambahan yang cukup signifikan data kemiskinan. Bukan data kemiskinan versi Menteri Sosial.
“Itu yang saya kira tidak mau diakui. Kan yang ada data warga miskin baru akibat dampak dari wabah ini,” kata Ferry.
Kemudian, kata Ferry, Menko PMK kayak orang yang sedang mengigau, tidur, ngantuk, rada ngantuk di tengah wabah ini tapi tidak melakukan apa-apa. Saat disuruh melalukan peran, ngomonglah dia Anies bagini-begini.
“Yang menarik adalah dia menutup, mencari cara bahwa seolah Anies sedang kesultan, padahal yang kesulitan pemerintah pusat. Karena ada dana bagi hasil yang harus dibayar Rp 5 triliun dan harus dicicil. Bayangkan pemerintah pusat harus mencicil,” kata Anies.
Dalam kondisi normal ini bisa dilakukan dalam penggunaan hak dewan. Hak Interpelasi sebetulnya. Tapi, kata Ferry, lagi-lagi kembali pada posisi politik tadi, agak repot unruk memulai interpelasi.
“Atau kita ubah formatnya, melalui civil society misalnya mosi tidak percaya pada penghianat. Tentu harus disiapkan konsep, desain, agenda aksi dan time tebelnya, bisa 5 tahun, 10 tahun atau 20 tahun,” katanya.
Ini penting karena memang harus menjaga relasi sosial yang sebetulnya diporak-porandakan oleh keamatiran dalam pengelolaan negara. Kita ambil point positifnya bagaimana menjadi energi distrust masyarakat pada pemerintah.
“Itu yang saya kira menjadi penting. Gunakan operator atau komunikator massenger dan influencer yang mengembangkan frustrasi dan apatisme masyarakat,” katanya.
Yang menarik dari semua itu, lanjut Ferry, adalah cari partner dari luar. Ketika kita merasa tidak nyaman dengan keadaan, kenapa tidak cari support dari luar. Dari Korea atau Amerika yang sebenarnya kita segaris.
“Dalam kasus ABK yang dilarung di laut kemarin, Korea Selatan sudah memberikan signal dengan mengamankan ABK. Data-data dijaga agar tidak dihapus China,” pungkas Ferry. (lms)
Komentar