Dr. Muhammad Sabri, MA
INI Aadalah nubuwat: terbit dari jenius terbesar tradisi ‘irfani, filsuf mistik Ibn ‘Arabi. Pandangannya tentang teks suci Alquran ibarat senandung dengan napas alegorisma yang kukuh. Membaca idenya, membawa kita ke makna teks yang paling purba. Di sana, kata-kata menjadi demikian bertenaga, nyaris magis.
Ibn ‘Arabi memang sosok teosof Muslim istimewa, yang mampu setiap kali mengembalikan energi yang mengejutkan pada kata. Baginya, amsal dan metafora adalah sisi misteri bahasa, kata-kata yang diselimuti selubung, agar makna tak ditaklukkan cahaya langsung kebenaran.
Di ruang sadar ini, Ibn ‘Arabi sejatinya berbicara soal takwil. Karena Alquran aktual yang diwahyukan adalah manifestasi cahaya, rahmat, dan petunjuk Ilahi, Ibn ‘Arabi memperlihatkan penghormatan demikian tinggi pada teks suci ini.
Bentuk linguistik teks, baginya, mesti didahulukan daripada semua bentuk penyingkapan makna Alquran. Tak sedikit peneliti memosisikan Ibn ‘Arabi sebagai seorang pengguna utama takwil, yang menjadikan teks suci sebagai pintu untuk menerobos alam misterium-transendental Ilahiah.
Ibn ‘Arabi sebab itu, mengembangkan interpretasi teks bedasarkan metode penyingkapan-intuitif (kasyf) yang melampaui kemacetan kognitif manusia. Di titik ini pula, Ibn ‘Arabi mengonstruk makna Alquran dari jantung teks: inner meaning of the text. Ada dua jenis ilmu pengetahuan manusia dalam pendakuan Ibn ‘Arabi, merujuk napas TitahNya yang kudus:
“Dan apa-apa yang diturunkan Tuhannya kepada mereka” (Qs. 5:66), yakni melalui “pemberian” (mawhûbah) dan “perolehan” (muktasabah).
Pertama, “pemberian” adalah jenis ilmu hasil takwa via penyucian spiritualitas dan eksperensial, sebagaimana firman Allah:
“Bertakwalah kepada Allah, dan Dia akan mengajarimu” (Qs. 2:282); “Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan bagimu pembeda (furqân)” (Qs. 8:29); “Yang Maha Pengasih mengajarkan Alquran” (Qs. 55:1-2); “Yang mengajari manusia perihal ilmu yang belum diketahui” (Qs.96:5).
Kedua, jenis ilmu yang “diperoleh” yang tumbuh dari ikhtiar dan kerja keras, baik dengan menafsir teks maupun pengalaman empiris dan historis.
Ibn ‘Arabi menolak takwil Alquran yang bersumbu pada jenis ilmu “perolehan” yang mengandaikan penalaran, pemikiran, refleksi, dan hasrat. Sebaliknya, Ibn ‘Arabi menerima takwil seseorang yang dibimbing oleh Allah melalui “pemberian” langsung pemahaman-mendalam, maksud yang dikandung oleh Kitab-Nya. Mereka adalah yang diberi oleh Allah ‘ilm al-hudhûrî, yang dalam Qs. 3:7 disebut, “Orang-orang berakar kukuh dalam ilmu” (al-râsikhûna fî al-’ilm).
Itu sebab, dalam Futuhât al-Makkiyah Vol.4:432, Ibn ‘Arabi mengandaikan takwil sejati adalah yang menautkan “teks-dunia kode-makna”. Dengan demikian, Ibn ‘Arabi tetap memelihara kesesuaian antara arti tekstual dan arti transendental-spiritual. Takwil seperti ini senapas dengan pesan kudus Nabi Muhammad, “Dalam setiap ayat Alquran ada makna lahir dan ada makna batin”.
Takwil, sebab itu, mengandaikan terpeliharanya kesatuan organik antara syariat-hakikat, eksoterik-esoterik, imanen-transenden dan zahir-batin dari tarian makna dalam gelombang cahaya teks Alquran.
Penulis, Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
Komentar