TILIK.id, Jakarta — Nama dr Tifauzia Tyassuma mendadak populer di tengah penanganan wabah Covid-19. Pikiran kritisnya pada pemerintah membawa namanya makin dikenal. Salah satunya saat tampil sebagai narasumber di TV.
Dokter yang juga Direktur Eksekutif dari Clinical Epidemiology dan Evidence Based Medicine Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo ini seperti geregetan melihat langkah penanganan Covid-19 oleh pemerintah. Dia pun berteriak: “tidak lockdown, siapkan saja kuburan massal”.
Pikiran kritis dr Tifa itu pun lantaran banyaknya tenaga medis yang meninggal. Perempuan kritis ini pun terus berteriak baik di media maupun tulisan-tulisan yang dibuatnya.
Itulah yang membuat banyak kalangan marah. Dia dikecam, bahkan dibully dan diserang tanpa jeda oleh pihak yang dianggapnya sebagai buzzer-buzzer bayaran.
“Buzzer membunuh demi nasi dan receh,” demikian judul tulisan terkini yang dibuatnya di akun medsosnya.
Dia menulis, melalui jasa baik kawan-kawan, lengkap sudah investigasi atas pendiskreditan nama Dr Tifauzia Tyassuma oleh pebisnis buzzer, yang digoreng dalam berbagai Portal media buzzer online.
“Menggunakan manusia-manusia bayaran dengan provider tertentu yang memungkinkan mereka ini punya puluhan akun dan kloningan. Tugas mereka adalah terus membunuh, menghabisi, menggoreng, memfitnah, menghancurleburkan kredibilitas, dan nama baik seseorang, demi nasi dan uang recehan,” tulis ahli Epidemiologi ini.
Dia pun kemudian mendiskripsikan cara kerja buzzer-buzzer itu.
Pertama, menurutnya, menyebar hoax kemana-mana, dengan narasi/berita yang dibuat juragan, disebarkan melalui media online buzzer, yang jadi semacam Sumber Referensi. Tanpa mereka sadari bahwa, si juragan dapat miliaran dari Pemodal dan iklan. sementara mereka hanya dapat recehan setara nasi pecel ayam. Makin sering mereka posting, makin kayaraya si juragan.
“Kedua, menghajar postingan korban yang diincar -dalam hal ini Dr Tifa – dengan komen-komen nyinyir secara terus-menerus, tanpa pandang bulu, tanpa peduli apakah yang dipost adalah fitnahan, hoax, berisikan konten yang memutarbalikkan logika,” bebernya.
Ketiga, lanjut dia, membuat banyak netizen julid ikut-ikutan terbawa arus menjadi buzzer gratisan. Tercuci otak lalu ikut menyebarluaskan berita yang dibuat, ikut nimbrung di komen, menggunjing, mengghibah, memfitnah sampai tak sadar menjadi semacam kawanan lebah jahat yang mendengungkan hal jahat.
“Tanpa peduli mereka ini terus dan terus mengeroyok postingan seseorang yang diincar. Komen-komen jahat mereka ini seperti peluru yang ditembakkan tanpa ampun, untuk menghabisi seseorang, membuat opini publik terbelah dan terbalik-balik, sehingga orang-orang yang sebetulnya sangat mengenal baik orang yang menjadi incaran, bisa berganti memusuhi orang itu, dan ikut-ikutan menyebarluaskan pemahaman dengan kesalahan pikir (logical fallacy) dan ad hominem (menghancurkan karakter seseorang di depan publik) tanpa ampun,” urai dr Tifa dalam tulisannya.
Harapan para buzzer ini agar si korban -orang yang diincar untuk ‘dihabisi’ – mengalami mental breakdown, depresi, menghilang, diam, bungkam, dan kalau perlu untuk selama-lamanya.
“Demi nasi. Demi recehan. Manusia-manusia gagal hidup itu tega dan begitu keji jadi suruhan dan budak kejahatan,” tulisnya.
Menurutnya, dalam sejarah panjang, banyak ilmuwan dan penegak kebenaran menentang arus, menyuarakan kebenaran, terbully sampai bunuh diri (Edward Jenner) terpenggal (Galileo), terbakar (Joan of Arc), dipaksa minum racun (Senecca).
“Di masa sekarang, di abad 21 ini, pedang, racun, api, diganti dengan hoax dan fitnah melalui serangan membabi buta tak kenal ampun,” tambahnya.
Inilah Indonesia. Dimana sebagian penduduknya sanggup menggadaikan kemanusiaan, menjadi buzzer-buzzer budak, merendahkan diri serendah-rendahnya, demi nasi, demi receh.
“Di mata saya hanyalah, nyawa 273 juta rakyat Indonesia, yang harus segera disadarkan dengan pengetahuan, yang harus segera dibuat melek mata dengan kenyataan, yang harus segera dipaksa menerima kebenaran walau pahit, agar tehindar dari bencana lebih luas lagi, bencana COVID19,” ungkapnya.
Dokter di Rumah Sakit berjuang, di tengah gempuran serangan virus COVID19, dengan APD seadanya dan jiwa sekuatnya.
“Saya bekerja di lapangan dan sosial media, berjuang menyuarakan kebenaran dan pengetahuan di tengah gempuran serangan buzzer, hoax dan fitnah dengan bekal keyakinan semata,” katanya.
“Semoga Allah melindungi kami, para dokter yang bekerja dari preventif hingga kuratif. Untuk tetap kuat dan teguh menjalankan tugas kami masing-masing. Demi keselamatan seluruh Rakyat Indonesia, dari bencana COVID19 lebih luas,” pungkasnya. (bms)
Komentar