Anies: Ancang-Ancang Keliling Indonesia

Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

SESUAI ketentuan, masa jabatan Anies sebagai Gubernur DKI, berakhir Oktober tahun depan. Skenario kampanye untuk periode kedua bubar. Tak ada Pilkada karena kehendak Pemilu serentak. Lalu, terbetik kabar, Anies ‘ancang-ancang’ hendak keliling Indonesia paska purna tugas. Tentu bukan kegiatan pelesir seorang pensiunan Gubernur.

Sebuah perjalanan (selalu) menjadi peristiwa penting. Nabi Musa memimpin bani Israil eksodus: perjalanan keluar dari Mesir. Demi keyakinan akan keesaan Tuhan, serta melawan Fir’aun, sang tiran.
Mao, dengan akal bulusnya, tercatat sebagai ‘tokoh’ di balik perjalanan panjang kaum komunis: long rmarch. Tidak semata menghindar dari pasukan nasionalis Chiang Kai-shek, tetapi juga membangun kekuatan dan mengabarkan komunisme di sepanjang rute perjalanan, yang berujung revolusi itu. Aidid menempuh perjalanan yang lebih ringkas, hanya mengunjungi beberapa desa di Jawa Barat. Hasilnya: tesis perjuangan ‘tujuh setan desa’.

Rencana Anies melakukan perjalanan keliling Indonesia, tentu tak seperti Nabi Musa, Mao, juga Aidid. Namun, dapat dimengerti bila perjalanan Anies keliling Indonesia, nanti, menampakkan sisi-sisi yang mirip: mengabarkan kondisi (Indonesia) senyatanya, membangun kekuatan, melawan kedzaliman, menganalisis situasi dan dinamika rakyat, ……

BACA JUGA :  Pemerintah Dianggap Gak Konsisten, Rakyat Marah

Anies, salah satu dari sedikit figur yang dinilai layak menjadi Presiden yang benar dan baik, mengacu rekam diri dan capaian prestatifnya sebagai Gubernur. Maka, waktu luang lebih kurang dua tahun, tentu kesempatan istimewa. Memang, bagi kebanyakan orang, waktu luang berlalu nyaris begitu saja. Bagi orang seperti Anies, setiap detik waktu tentu amat berharga untuk memikirkan masa depan rakyat, bercengkerama dengan keluarga, mengembangkuatkan jaringan serta meyakinkan khalayak ramai menjatuhkan pilihan kepadanya.

Mengacu pola serangan yang dihadapi selama menjabat Gubernur, dapat dipastikan agenda keliling Indonesia itu bakal menghadapi aneka tantangan, hambatan, gangguan. Boleh jadi juga ancaman. Maklumat Keliling Indonesia itu, tentu kabar baik bagi segenap elemen yang memusuhinya. Tergambar jelas dalam benak mereka, proyek rupiah masa depan yang terbayangkan. Bunga-bunga fitnah tampaknya bakal merekah, mengiringi muhibah Anies.

Dari sisi Anies, memang ada beberapa hal sensitif. Salah satunya dan the most sensitive issue: pendanaan. Bila, sebagaian besar biaya perjalanan keliling itu ditanggung Anies, publik tentu berkesimpulan: banyak juga duit Anies. Benar demikian atau tidak, bagi para pendengki tidaklah penting. Duit memang isu penuh gizi untuk menebar fitnah.

BACA JUGA :  Anies Baswedan vs Konglomerat Hitam

Bila muhibah Anies didanai oleh sejumlah orang, tentu segera disambut dengan isu: cukong di belakang Anies. Bila benar demikian, dan Anies ditakdirkan menjadi Presiden, patut diduga, warisan ke-boneka-an tak terhindarkan.

Juga, potensial dimunculkan isu kelompok tertentu sebagai penyandang dana. Maksudnya, tentu saja kelompok radikal-anti Pancasila. Tak aneh bila nanti, muncul isu: Anies dibiayai Taliban. Mengikuti contoh kasus “bendera Taliban” di KPK. Politik kekuasaan memang lebih banyak menyebabkan gagal jiwa ketimbang gagal ginjal. Dan, itulah milieu politik Indonesia dewasa ini.

Kehendak-kepentingan juga menjadi perkara penting. Atas kehendak dan kepentingan siapakah keliling Indonesia itu? Beberapa peristiwa lalu patut diacu sebagai pelajaran. Salah satunya: Sahabat Ganjar. Cukup heboh kala dideklarasikan. Selanjutnya, tak terdengan kabar beritanya. Tak menggaung. Mengapa tak terjadi resonansi? Menurut ilmu fisika, karena tak ada media-objek yang menggetarkannya.

Ketika menjabat Rektor Paramadina, Anies sukses besar menggerakkan Indonesia Mengajar. Pengalaman itu tentu menjadi referensi amat berharga untuk program selanjutnya: Indonesia Memerintah, yang diawali dengan Keliling Indonesia. Memang, tak semua hal dari Indonesia Mengajar dapat diterap ulang. Karena, Indonesia Memerintah berada dalam domain politik.

BACA JUGA :  NA, KPK, dan Jejaring Korupsi di Sulsel

Selain itu, Indonesia Mengajar terkesan elitis. Prakarsa dan aksinya bertumpu pada kelas menengah. Indonesia Memerintah haruslah partisipatoris untuk tidak mengatakan populis.

Tepatnya, Indonesia Memerintah harus bertumpu pada gerakan swadaya politik rakyat: prakarsa dan tindak aktif rakyat, berdasar kesadaran dan tanggung jawab politik untuk mendesakkan perubahan mendasar dalam pengelolaan Indonesia. Rakyat yang berkehendak dan bertindak itu dipandu keyakinan bahwa kekuatan rakyatlah yang menentukan perubahan menuju masa depan sesuai cita-cita perjuangan bangsa dan tak dicemari para buzzeRp.

Serta menyehatkan kembali demokrasi yang menderita penyakit akut: determinasi politik uang-oligarki yang memerosotkan Pemilihan Umum menjadi arena transaksi kepentingan (meminjam ungkapan Voltaire) para pencoleng yang sabar menunggu. Hasilnya, tentu saja Pemerintah yang pro kapital dan lebih sebagai panitia penyelenggara kepentingan kaum borjuis. Mengeruk kekayaan bangsa untuk kepentingan diri sendiri. Menelantarkan kepentingan rakyat. Juga bengis.

Gerakan swadaya politik rakyat bakal menentukan akhir perjalanan Anies Keliling Indonesia. Nanti….

Komentar