Prabowo Kumbokarno?

Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

PARA pimpinan Parpol kubu koalisasi-penguasa berkumpul di Istana Negara. Tentu atas undangan tuan istana. Hajatan kenegaraan yang nyleneh.

Kepada publik disajikan sesi pidato para Ketum. Maka, nominist -dengan seijin Bapak ……, mengucurlah puja puji atas prestasi-keberhasilan Presiden memimpin bangsa dan negara ini. Menarik bila dalam hati para Ketum itu, juga presiden, tersimpan sepotong pepatah Tacitus:  Pessimum inimicorum genus, laudantes -Musuh yang paling jahat adalah mereka yang memuja-muji.

Pidato Prabowo, Ketum Gerindra, menuai tanggapan banyak pihak. Nadanya kritikan pedas. Rizal Fadhillah, seorang pengamat politik, menulis: Prabowo bukan sosok pemimpin yang baik. Dalam makna konsisten. ……… sebenarnya Prabowo sedang ‘menjilat” atau ‘mencari muka”yang entah tujuannya apa. Memang, sejauh ini, tak ada pernyataan Prabowo yang dapat dinilai bersimpati kepada rakyat. Ia dinilai telah membutakan mata dari kenyataan ketidakadilan dan ketakberdaulatan bangsa-negara yang nyata, dirunut dari berbagai kasus: TKA, hutang luar negeri, vaksin, korupsi, HRS,…..

Para pendukung yang kecewa berat dan kaum kritis pada umumnya, menganggap habis sudah. Ternyata berkaliber ngabal-abalin belaka. Prabowo dipandang menyerupai zombie: mayat hidup politik.

Tapi, tampaknya Ia masih berkehendak tampil pada Pilpres mendatang. Bila, pada saatnya terbukti Gerindra berkoalisi dengan PDIP, diduga kuat yang muncul pasangan Prabowo-Puan. Segenap elemen oposisi pasti menolak keras dan menganggapnya sebagai pasangan PENIPUAN.

BACA JUGA :  Omar dan Masa Depan Habib Rizieq

Apakah Prabowo tak lagi memiliki kecerdasan untuk memahami hal itu? Dua kali Prabowo tampil sebagai Capres dan kalah. Kekalahannya pada Pilpres 2019 lalu pasti amat sangat menyakitkan.

Prabowo ‘ vulgar’ menyatakan komitmen dan pembelaannya kepada rakyat-bangsa dan negara. Memang, Prabowo memeroleh dukungan besar dari rakyat. Dimanapun Ia datang berkampanye, sungguh fenomenal dukungan rakyat. Endingnya, diyakini para pendukungnya, Prabowo dikalahkan oleh Situng KPU dan formalitas sidang MK. Tak ada lembaga negara, juga lembaga-lembaga yang berkomitmen terhadap demokrasi, yang membela. Prabowo tentu tahu persis penyebab Ia dikalahkan.

Bagaimanakah perasaan Prabowo ketika harus menerima “kekalahan” itu? Bila Anda menjadi Prabowo, bagaimanakah perasaan Anda? Para pendukung yang membuncah harapannya untuk menyelamatkan Indonesia dan menggantungkannya kepada Prabowo, hancur hatinya. Marah bercampur putus asa. Protes atas kecurangan-hasil pilpres berujung ricuh. Dengan sigap dilibas aparat polisi dan tentara. Indonesia kala itu terasa layaknya ruang hampa.

Tiba-tiba, ‘pecundang dan pemenang’ bertemu di stasiun Lebak Bulus. Selanjutnya, Prabowo sowan ke Megawati. Akhirnya, Prabowo diganjar jabatan Menhan. Kembali para pendukung dirundung kecewa serta menanggung rasa malu atas sikap jagoannya itu. Prabowo dianggap terlalu mudah kompromi, hanya berorientasi jabatan, bermanuver hanya untuk menyelamatkan kepentingan pribadi-bisnisnya.

Sebagai mantan petinggi Kopasus, sebagai putra Prof, Soemitro, sang begawan ekonomi Indonesia, Prabowo tumbuh dalam lingkungan keluarga dengan budaya dan prestasi keilmuan, juga pergerakan politik yang mengagumkan. Prof Soemitro salah satu tokoh PSI, terlibat dalam PRRI, melawan Soekarno, dan kalah. Memilih mengasingkan diri ke luar negeri.

BACA JUGA :  Beber Prestasi Anies, Pro Anies Ajak Warga Jakarta Ramaikan Kampanye AMIN di JIS

Prabowo juga dikenal sebagai sosok yang cerdas. Amat gemar membaca buku. Jiwa bela negaranya tak diragukan sejak di akademi militer. Kabarnya, Prabowo sosok yang menjunjung tinggi nilai, kaidah, dan tatacara berdemokrasi.

Jadi, tak cukup alasan menganggap Prabowo tidak mengerti atau tidak dapat menganalisis reaksi para pendukungnya serta resiko politik yang bakal diterima atas sikap dan langkah-tindakan politiknya sebagai bagian paling gigih, dari penguasa saat ini, yang oleh sejumlah kalangan dinilai gagal. Lalu, mengapa Prabowo melakoninya?

Apakah Prabowo mengidolakan Kumbakarna-Kumbokarno, tokoh dalam kisah Ramayana? Kumbokarno saudara kandung Rahwana, Raja Alengka. Digambarkan sebagai sosok raksasa yang ganas. Tapi, Kumbokarno sejatinya sosok perwira yang luhur budi. Ia menyadari betul kesalahan sang Raja dalam mengelola negeri Alengka. Sering ia menasihati sang raja. Loyalitas mutlak kepada Alengka dan segenap rakyatnya yang membuatnya maju ke medan laga melawan Rama. Ia tak berperang demi kakaknya-sang raja, tapi demi tumpah darah dan kaumnya. Ia juga tak berperang melawan Rama atas dasar kebencian dan permusuhan. Tapi, semata menjalankan kewajiban. Kumbokarno: penubuhan loyalitas total yang anakronik.

BACA JUGA :  Satu Persatu Mati di Jakarta, Siapa yang Salah?

Boleh jadi ke-diri-an Prabowo tak berubah. Ia hanya menyadari bahwa hasrat dan kehendaknya menjadi Presiden, karenanya bertekad tampil lagi pada Pilpres mendatang, harus diletakkan dalam kerangka pikir dan aksi yang realistis, seturut kondisi-dinamika pembentuk penguasa dalam praktek politik-demokrasi Indonesia dewasa ini.

Prabowo boleh jadi menyadari, suara rakyat bukan penentu dan pemilihan umum bukan sarana memroses amanah sesuai suara rakyat. Maka, Prabowo memarkir gagasan, teori, keluhuran, yang diwartakan demokrasi. Rakyat tidak terlalu dibutuhkan. Karena, rakyat bagaimanapun, tetap saja lemah. Apalagi 3-4 tahun kedepan, seiring semakin menggurita dan menghebatnya daya cengeram penguasa.

Prabowo tampaknya telah menjadi Aku yang bertekad menjadi presiden dengan caraku sendiri. Karena aku lebih merasakan bagaimana seseorang bisa menjadi presiden di negeri ini. Loyalitas a la Kumbokarno adalah hal paling mendasar, syarat mulak. Loyalitas kepada para penentu kekuasaan di negeri ini.

Bila benar demikian. Bila dianugerahi umur panjang. Bila benar tampil lagi (bersama Puan). Bila tak ada perpanjangan masa jabatan presiden saat ini, melalui skenario apapun. Sangat mungkin, Prabowo bakal menjadi Presiden.

Bila, terwujud demikian. Lalu, bagaimanakah setelah itu….? Mungkin, itu salah satu perkara yang perlu disisipkan dalam merenungkan masa depan bangsa ini.

Komentar