Satu Persatu Mati di Jakarta, Siapa yang Salah?

Oleh: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

PEK… Pek… Pek… Tumbang dan mati. Ini terjadi di China, Italia dan beberapa negara lain. Di Indonesia? Boleh jadi hanya menunggu waktu.

Sudah 369 positif Covid-19. Sembuh 17 orang dan 32 meninggal.  Cukup tinggi angka kematiannya. Sekitar 8,6 persen.

Bandingkan dengan di Wuhan China, asal covid-19. 80.928 positif Covid-19. 70.420 sembuh. 4.245 meninggal. Hanya sekitar 4 persen.

Secara medis, penanganan Rumah Sakit di China lebih baik dari Indonesia. Sementara tingkat penularan covid-19 punya pola yang sama di semua negara. Super cepat.

Lihat angkanya, mula-mula 2 orang positif Covid-19 di Depok. Lalu 19, kemudian 27, naik lagi jadi 34, terus naik jadi 69, besoknya sudah 96, lalu 117, kemudian 134, naik 227, terus bertambah jadi 311. Dan kemarin sudah tembus angka 369. Besok? Dan besoknya lagi? Apakah termasuk anda yang tertular dan yang menularkan?

Korban covid-19 terbanyak di Jakarta. 215 orang positif dan 17 orang meninggal. 13 orang yang sembuh. Yang meninggal lebih banyak dari yang sembuh. Untuk saat ini. Di daerah lain? Belum ada yang sembuh. Dan covid-19 sudah sampai di seluruh Jawa, Bali, beberapa daerah Sumatera dan Sulawesi.

22 Januari, hampir dua bulan lalu, ketika di Indonesia belum ada pasien positif Covid-19, Anies kumpulkan jajaran pemprov DKI. Untuk apa? Koordinasi dan konsolidasi, menyiapkan tenaga medis, alat medis dan SOP untuk menghadapi dan menangani wabah covid-19. Dinas kesehatan DKI konferensi Pers. Tanggal 29 Pebruari, Anies, atas nama gubernur DKI mengeluarkan Ingub terkait persiapan menghadapi wabah covid-19.

BACA JUGA :  Pro Kontra Vaksin?

Anies dibully. Di berbagai media sosial dicaci maki. Dianggap telah membuat kegaduhan. Bikin panik orang! Kata mereka yang kebenciannya sudah diubun-ubun. Eskalasi kemarahan terhadap Anies makin tinggi.

Apa kesalahan Anies? Karena Anies memiliki data tentang penyebaran covid-19. Anies ahli di bidang statistik. Dan pernah menjadi asisten profesor untuk bidang statistik sewaktu kuliah di Amerika. Dibantu data dari ahli medis, Anies mulai hitung tingkat penyebaran covid-19. Pakai angka-angka. Ternyata, dahsyat penyebarannya.

Di tengah para menteri dan staf istana berspekulasi bahwa Indonesia bebas covid-19, Anies justru siapkan jajaran pegawai pemprov DKI untuk menghadapi penyebaran covid-19. Tak tanggung- tanggung, Anies keluarin Instruksi Gubernur (Ingub) dan konferensi pers.

Kenapa Anies melakukan itu? Karena Anies memastikan bahwa covid-19 akan masuk Jakarta. Anies punya data medis terkait covid-19 dan telah menghitung secara statistik penyebaran virus mematikan ini. Ini hitungan ilmiah, bukan hipotesis “nasi kucing” atau “imajinasi tropis”.

Saat itu, Anies dianggap penghayal kelas berat. Namun, dua hari berikutnya, yaitu tanggal 2 Maret, presiden Jokowi mengumumkan ada 2 orang di Depok yang positif Covid-19. Dan setelah itu, angkanya terus naik. Hari demi hari. Begitu juga orang yang mati.

BACA JUGA :  Pemprov DKI Jakarta Perpanjang Status Tanggap Covid-19 hingga 19 April 2020

Berbagai rencana terukur telah dibuat Anies. Tutup tempat wisata dan CFD, batalkan event-event publik, batasi jam buka restoran, liburkan sekolah, dan anjuran kepada seluruh masyarakat DKI untuk jauhi kerumunan dan stay di rumah.

Langkah Anies kemudian diikuti oleh wilayah dan daerah yang lain. Kecuali meliburkan sekolah, walikota Solo mengawali sehari sebelum Jakarta.

Tapi, jalanan Jakarta masih ramai. Aktifitas perkantoran tetap berjalan. Di situlah covid-19 bergentayangan. Satu persatu positif. 17 orang mati dalam jangka waktu kurang dari dua pekan.

Anies kurangi alat transportasi. Sebaliknya, ganjil genap dihentikan. Tujuannya? Supaya masyarakat Jakarta sadar, jangan pakai transportasi umum lagi! Resiko tinggi tertular dan menularkan.

Maka, terminal Busway maupun stasiun MRT/LRT berjubel orang. Gerutu, marah, bully, maki-maki dan sumpah serapah kepada Anies berhamburan keluar di media dan medsos. Anies tahu itu pasti akan terjadi. Masyarakat gak siap stay di rumah untuk bersama-sama menghindarkan diri jadi agen penularan covid-19.

Ada otoritas yang gak siap. Ini soal roda ekonomi. Lalu mengingatkan Anies. Besoknya, Anies normalkan transportasi publik. Anies tak mau benturan dengan otoritas manapun. Kontra-produktif.

BACA JUGA :  GAR ITB: Jangan Plintat-Plintut, Bantah Ini Bantah Itu

Langkah berikutnya, Anies minta masjid, wihara, gereja, kelenteng dan tempat-tempat ibadah yang lain untuk sementara tutup. Tentu, setelah konsultasi dan dengar pendapat dengan perwakilan dari para tokoh agama.

Melalui surat edaran, Anies mengimbau masyarakat Jakarta beribadah sementara waktu di rumah masing-masing. Heboh lagi. Tuduhan macam-macam berhamburan. Tempat ibadah ditutup, kenapa mall gak ditutup? Komentar sebagian orang.

Anda semua, tanpa terkecuali, bisa beribadah di rumah. Tapi, apakah masyarakat Jakarta sudah semuanya siap belanja dari rumah? Online? Kalau super market dan mini market ditutup mendadak, sementara persediaan kebutuhan rumah tangga tak ada, apa yang akan terjadi? Penjarahan! Paham?

Tidak sampai di situ, 20 Maret kemarin Anies resmi menetapkan Ibu kota dalam keadaan tanggap darurat bencana. Konsekuensinya, Anies menutup semua usaha hiburan dan rekreasi, seperti diskotik, Bar, Spa, karaoke, dll.

Anies juga mengimbau kepada hotel-hotel untuk membatalkan event-event yang mendatangkan kerumunan. Para pengusaha juga diminta untuk merumahkan para pekerja, setidaknya meminimalkan jumlah pekerja dan kegiatannya.

Setelah semua langkah preventif ditempuh, penutupan sejumlah usaha dilakukan, himbauan disampaikan, dan informasi sangat transparan, lalu korban terus bertambah dan makin banyak, begitu juga yang meninggal, maka siapa yang bertanggung jawab?

 

Jakarta, 21 Maret 2020.

Komentar