Pentingkah Stimulus Fiskal untuk Energi Terbarukan? Ini Pendapat Ketum METI

TILIK.ID — Pengembangan Energi Terbarukan masih terus dilakukan. Berbagai konsep dan kebijakan juga mengiringinya. Salah satunya kebijakan pemberian stimulus fiskal.

Apa dan bagaimana stimulus ini telah didiskusikan oleh Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) dalam rangkaian EBTKE 2021 melalui Webinar, Jumat (7/5/2021).

Katua Umum METI Dr It Surya Darma dalam paparannya mengatakan, pengembangan energi terbarukan mengacu pada Paris Aggrement atau Kesepakatan Paris dan komitmen global.

“Pada komitmen global sebagaimana target dari Paris Aggrenent adalah mempertahankan kenaikan suhu global agat tidak lebih dari 20C dan ditargetkan hingga 15o,” kata Surya Darma.

Kita di Indonesia, lanjut Surya Darma, sudah diikat oleh UU No 16/2016 untuk Meratifikasi Perjanjian Paris, dan mengurangi emisi sebagai NDC pada tahun 2030 berdasarkan Visi Indonesia 2045.

Pada Visi Indonesia 2045, ketahanan energi ditingkatkan dengan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Peran EBT ditingkatkan menjadi 30 persen pada tahun 2045.

“Dalam upaya itu, bauran energi ditargetkan 2.23 persen sampai tahun 2025, dan limbah menjadi energi. Untuk itu, dilakukan pengaliham anggaran subsidi bahan bakar ke kegiatan produktif misalnya infrastruktur,” ujar Surya Darma.

BACA JUGA :  Anies Terima Penghargaan Jakarta Smart City dari METI

Dikatakan, 89 persen penggunaan energi dipenuhi oleh bahan bakar fosil. Dari jumlah itu 65 persen hasi iimpor. Komitnen Paris adalah nol emisi pada 2050 dengan transisi dari fosol ke energi terbarukan.

Pertanyaannya adalah, apakah mungkin untuk penghentian penggunaan batubara pada tahun 2040 dan meningkatkan energi terbarukan? Perlu waktu lama untuk mengembangkan ET dari sekarang.

Pilihannya adalah akan lebih mahal untuk membangun CFPP dalam 5 tahun ke depan dibandingkan dengan membangun proyek energi terbarukan skala besar agar kompetitif.

Untuk pengembangan energi terbarukan, Surya Darma mengkaji adanya kebijakan stimulis fiskal dari pemerintah. Misalnya seberapa penting stimulus itu untuk energi terbarukan.

Surya Darma menghitung antara harga keekonomian dengan harga kebijakan. Harga keekomian didasari pada kesesuaian teknologi, skala kapasitas, kecukupan infrastruktur, harga dan sumber investasi, kebijakan fiskal, kemudahan izin, dukungan pemerintah dan kebijakan perpajakan.

Sedangkan harga kebijakan memakai rumus harga keekonimian dikurangi subsidi dikurangi stimulus. Artinya jika stimulus dan subsidi tidak ada, maka harga jual sama dengan harga keekonomian.

BACA JUGA :  Persiapan Alih Kelola Blok Rokan, PDC Pastikan Keselamatan Kerja

“Jika ini berlaku maka dirasakan berat oleh kosumen dan bisa-bisa berdampak pada perekonomian,” kata Surya Darma.

Jika stimulus tidak ada, maka harga Jual sama dengan harga keekonomian dikurangi subsidi. Ini pun akan memberatkan APBN.

Jika Subsidi tidak ada, lanjut Surya Darma, maka harga jual sama dengan harga keekonomian dikurangi stimulus. Harga jual akan rendah jika stimulus diperbesar.

“Disinilah fungsi stimulus fiskal menjadi sangat penting untuk menurunkan harga jual kepada masyarakat,” ungkap Surya Darma.

Lalu caranya bagaimana meningkatkan harga keekonomian melalui stimulus fiskal? Surya Darma mengatakan
stimulus pendanaan berupa adanya penangguhan angsuran pinjaman untuk energi terbarukan (ET).

Kemudian adanya penurunan suku bunga pinjaman proyek aneka ET, penyesuaian mekanisme pengadaan IPP proyek ET dengan merelaksasi COD, dan
peniadaan denda finansial.

Juga pengenaan surcharges dari BBM jenis minyak solar, pemberian subsidi untuk biofuel, pengenaan carbon pricing dan carbon tax, memasukkan externalitiy cost dalam perhitungan harga energi agar semua energi bisa berkompetisi.

Untuk intensif fiskal, penangguhan dan penghapusan PPN bagi pengembang ET,
penghapusan PPh badan bagi pengembang ET, tax holiday untuk waktu yang lebih lama, dan accrual kerugian untuk waktu lebih dari 10 tahun.

BACA JUGA :  Indo EBTKE ConEx 2021 Berakhir, METI Keluarkan Rekomendasi untuk Nol Emisi

“Kemudian adanya pembebasan PBB bagi investasi ET, pembebasan PPN dan bea masuk atas impor barang modal, dan
adanya mitigasi resiko oleh pemerintah,” katanya.

Selain Surya Darma, Bincang Bincang METI menghadiirkana nara sumber lain, yaitu Rosa Vivien Ratnawati, Dirjen Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya, Kementerian LHK; Saut Marpaung, Ketua Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia; Prijandaru Effendi, Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia; dan Paul Butarbutar, Direktur Eksekutif METI. (lms)

Komentar