Fenomenologi Mudik dan Pendemi Covid-19

Oleh Wirdanengsih
(Dosen FIS Universitas Negeri Padang)

MUDIK merupakan fenomena sosial yang terjadi setiap tahun di Indonesia. Mudik dimaknai sebagai pulang ke kampung halaman terkhusus saat lebaran. Mudik tren tahun 1970an yaitu sejak berkembangnya kota besar.

Mudik adalah keinginan yang sangat kuat menjelang lebaran, kebiasaan ini sudah dilakukan oleh perantau yang tinggal di kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta. Biasanya mereka adalah orang yang datang dari desa lalu pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan.

Mudik lebaran adalah ritual tahunan yang tidak begitu saja mudah dilewatkan oleh umat muslim perantau yang ada di berbagai kota seluruh indonesia. Masyarakat tanpa dikomando dalam puluhan juta pulang ke kampung halaman dengan caranya masing-masing, baik jalur transportasi udara/pesawat, laut/kapal dan darat dengan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. Tak sedikit pula yang mengendarai motor secara beramai, konvoi bersama. Ini sebuah keunikan mejelang lebaran, betapa repotnya orang yang mau mudik.

Masyarakat sibuk membeli tiket kendaraan, tiket kereta api, pesawat, yang disitu penuh dengan antrian, mereka membawa barang dan hadiah buat keluarga di kampung. Dalam perjalanan, mereka berjam jam mengalami kemacetan. Tak kalah repotnya saat sepasang suami istri membawa anak anaknya yang masih kecil, betapa suatu perjalanan mudik yang melelahkan dan repot, ada waktu yang terbuang banyak. Selain itu mudik juga menguras tenaga dan pikiran bahkan dalam perjalanan mereka mengalami penderitaan dan musibah kecelakaan lalu lintas. itulah realita mudik dalam masyarakat .

Mudik dan lebaran memang khas di Indonesia, khusus pulau Jawa. Unik dengan idiom islammnya kemudian dikreatifkan dalam budaya Indonesia, fenomena keunikan lebaran tidak hanya pada mudiknya, namun bisa dilihat juga suasana takbiran, bersalaman, membuat makanan khas, halal bilhalal, ziarah kubur dan kebiasaan memberikan sangu kepada anak kecil. Semua penuh warna keunikan orang Indonesia.

Situasi para perantau yang tinggal di kota besar yang hidup terpaksa menjadi bagian dari budaya industri yang mengecilkan peran manusia dalam kehidupan, manusia mengalami alienasi perasaan dengan diri, eksistensi dan penghargaan diri menusia terkesampingkan, situasi kapitalisme telah merampas rasa dan makna kemanusiaan, sehingga memerlukan terapi psiko sosial religius untuk menemukan sisi kemanusiaan yang cenderung hilang ketika mereka merantau dikota besar tersebut.

Bagian psiko terapi religius ini ada pada tradisi mudik, tradisi pulang kampung dengan segala dinamikanya. Namun yang menjadi suatu catatan juga bahwa terapi psiko sosial re;igius tidak hanya terletak pada bentuk lahiriahnya, namun tergantung bagaimana memaknai dari tradisi itu

Mudik lebaran memang memiliki kesan dan arti yang unik bagi setiap individu yang menjalaninya, masing masing perantau yang pulang kampung, mudik ini memiliki rangkaian kegiatan, tradisi yang bervariasi dalam rangka merayakan lebaran di kampung halaman. kebiasan yang itu tentu memberi pengalaman subyektif bagi para pemudik. Nah pengalaman subyektiflah yang bisa dikatakan sebagai motivasi untuk selalu merayakan lebaran di kampung halaman.

BACA JUGA :  Update Virus Corona Indonesia: 1.046 Kasus, 87 Meninggal

Takbiran di kampung halaman memiliki pengalaman tersendiri bagi umat Islam dalam merayakan Idul Fitri, melantunkan takbiran baik secara individu dan berjamaah diiringi oleh suara bedug bertalu-talu dari mesjid dan musholla di sekitar rumah memberi perasaan haru tersendiri bagi tidak berlebaran ke kampung halaman. Perantau yang pulang kampung/pemudik merasakan suatu kenikmatan saat bertakbiran, ada kenikmatan berpuasa dan Ramadhan menjadi sebuah kerinduan

Sholat Idul Fitri bersama keluarga besar adalah tradisi yang umum di masyarakat muslim Indonesia. Bagi pemudik ini suatu yang menarik, pada saat sholat Idul Fitri di lapangan atau di mesjid dilakukan secara bersama, berbondong bondong dengan ceria membawa sajadah lalau bersalam-salaman dan bersilaturahmi. Mereka kumpul bersama keluarga, lalu menikmati hidangan makanan kesukaan yang mungkin pada hari itu khas dibuat. Ini pengalaman yang membahagiakan bersama keluarga, ada suatu yang buncah dalam kebersamaan itu.

Tak kalah uniknya dengan rasa gembira, memberi hadiah kepada anggota keluarga, ayah ibu, istri, anak, keponakan dan lainnya, di saat lebaran berpakaian yang bersih, baju baru. dan terunik adalah memberi sanggu kepada anak kecil, yang di sambut dengan rasa gembira oleh anak-anak.

Ziarah kubur juga dilakukan, untuk mengenang orang tua dan saudara handai taulan yang terdahulu. Setelah berlebaran bersama keluarga besar, selanjutnya juga tak lupa kumpul bersama dengan sesama alumni, halal bil halal. Ini menjadi faktor utama oleh pemudik untuk pulang kampung, keinginan berkumpul bersama teman teman sembari membangun jaringan bersama dan kegiatan door prize yang unik bagi mereka

Tak kalah pentingnya suasana lebaran ini adalah bersedekah, tidak saja zakat fitrah yang diberikan, namun zakat lainnya. Secara sosial aktivitas zakat ini dapat menigkatkan kesejahteraan dan memiliki pengalaman keagamaan tersendiri bagi pemudik untuk berbagi kepada orang orang di kampungnya. Selanjutnya kegiatan rekreasi bersama keluarga, berkunjung ke rumah saudara dan berekreasi ketempat yang indah dan menjadi kenangan mereka.

Semua hal yang disebutkan di atas merupakan pengalaman subyektif bagi para pemudik. Ini memiliki makna kekerabatan dan edukasi hidup tersendiri sehingga menjadi pendorong yang kuat untuk mudik lebaran, masing masing memiliki makna tersendiri, betapa berharganya bisa berkumpul bersama saudara, keluarga, orang tua termasuk teman dan tetangga di kampung halaman.

BACA JUGA :  Bagi Partai Politik Anies Pilihan Strategis dan Ideologis

Ada makna kekerabatan yang mendalam. Tapi ini mungkin bagi pemudik yang memberikan makna subyektif dalam berlebaran, tentu berbeda dengan pemudik, lebaran sebagai peristiwa biasa

Makna Mudik Lebaran

Nilai dan makna kekerabatan dan cinta keluarga mejadi bagian warna dominan dalam kebiasan mudik, ada takbiran dan sholat Idul Fitri bersama, ada menyantap makanan yang khas dengan dimasak dengan kekhasan pula serta ada ziarah kubur, silaturahmi, kenangan menjadikan lebaran suatu yang bermakna, ada suasana yang akrab dengan orang tertentu, anggota keluarga, tetangga dan teman -teman.

Ketika suasana keakraban muncul , di situlah akan rasa dibutuhkan dan membutuhkan orang lain, dicintai dan mencintai tanpa mementingkan diri sendiri. Ada suatu kedekatan yang perlu dipelihara dan ditingkatkan. Itulah makna dan nilai edukasi lebaran bagi pemudik dan keluarga di kampung, ada keterpiharaan nilai kekerabatan.

Nilai ini menjadi lestari apabila orang tua mewariskan kepada anak cucunya melalui momentum lebaran, ada pendidikan budi pekerti, terutama berbakti kepada orang tua, ada kebahagiaan apabila melihat anak berbakti, mengenal, menghormati karib kerabatnya. Inilah yang disebut dengan makna dan nilai edukasi lebaran.

Selain itu ada makna primordial dalam tradisi mudik, makna rindu kembali ke kampung halaman, salam kepada orang tua, kangen rumah dan perasaan lainnya. ziarah kubur memiliki makna, pulang kampung halaman dunia, dan mengingatkan pulang kampung akhirat.

Selanjutnya ada makna eksistensi, makna yang dimaksud di sini adalah ada perasaan senang, berharga, bahagia saat memberi sesuatu kepada anggota keluarga, secara antropologis psikologis, dalam suatu suku bangsa kebanyakan di Indonesia.

Pemudik, apapun pekerjaanya memiliki kebutuhan untuk dipandang berharga dan berbuat untuk keluarga, kecederungan individu memiliki perasaan ingin diorangkan, diakui keberadaanya dan kontribusinya, maka dari situlah suatu motivasi yang tinggi untuk pulang mudik dengan susah payah dihadang kendala-kendalanya. Ada suatu kebutuhan sosial budaya untuk menunjukkan dirinya apalagi dengan kesuksesan yang dimiliki. Ada suatu tantangan untuk membuktikan keberhasilannya.

Ada suatu yang ditemukan perasaan eksis dengan keramahan kampung halaman, sementara selama di kota besar ada suatu yang hilang di mana keberadaanya kurang diakui di tengah hiruk pikuk kota. Dan rasa syukur dengan memiliki kesempatan pulang mudik. Ada penemuan diri yang hilang ketika mudik ini.

Makna tranformatif juga bagian dari tradisi mudik lebaran ini. Ada semangat, energi baru serta motivasi yang didapat pemudik, motivasi untuk bekerja lebih baik, bekerja lebih memberi kontribusi kepada keluarga dan perkembangan masa depan. Mungkin juga muncul keinginan mengubah diri lebih baik, lebih mengubah nasib lebih baik, ada semangat revitalisasi diri setelah berlebaran bersama. Dalam hal ini kita dapat menyebut ini bagian spirit tranformasi mudik lebaran.

BACA JUGA :  Kalau Tiga Periode Gagal, Bakal Banyak yang Siapkan Jet Pribadi

Mudik di Masa Pandemi

Dari tahun sebelumnya, mudik tidak pernah menjadi hal yang mengkhawatirkan selain persoalan kemacetan. Namun mulai tahun 2020 -2021 ini, mudik menjadi sesuatu yang dikhawatirkan karena berpotensi menyebarkan Covid-19 di Indonesia, terutama pulau Jawa menjadi wliayah yang dianggap paling rentan dan di sanalah juga aktivitas mudik yang tinggi dibandingkan wilayah lainnya.

Dengan alasan penyebaran covid ini timbul sebuah kebijakan larangan mudik dan juga mengatur kebijakan transportasi darat dan udara untuk membatasi mobilitas penduduk. Di sinilah letak dilema, tradisi mudik memiliki pengalaman subyektif yang tinggi, serta memiliki makna kekerabatan dan eduksi, makna tranformatif, dan eksistensi diri. Selain itu adalah upaya pembebasan diri dari penatnya aktivitas masyarakat kota yang secara tak langsung ternyata mudik merupakan suatu tindakan yang efektif dalam menyalurkan dana ke daerah, mudik telah mempercepat distribusi uang dari kota ke pedesaan dari wilayah pusat ke daerah serta ada penyedotan uang dari pusat kegiatan bisnis yang dibawa oleh pemudik.

Memang suatu pilihan melarang masyarakat untuk tidak mudik lebaran tapi dengan keghirahan, masyarakat tetap mencari peluang dan celah untuk mudik karena di sana kebutuhan diri manusia yang memiliki hati, rasa dan budaya.

Sebaiknya memberi kesadaran masyarakat akan daya tahan tubuh yang tinggi dan mematuhi protokol kesehatan sebagaimana yang dianjurkan pemerintah, lebih baik dari pada membuat peraturan yang akhirnya dilanggar juga oleh masyarakat.

Namun jika peraturan dianggap sebagai bagian yang terbaik, tentu dperlukan strategi adaptasi dari kebermaknaan mudik lebaran ini sesuai dengan realita pendemi Covid-19, di antaranya melakukan silaturahmi virtual, memasak masakan sendiri keluarga sembari memberi pelajaran kepada anak, membuat kuliner kesukaan, lalu dikirim dan dipaketkan kepada saudara karena kuliner sesuatu yang khas dan menarik di saat lebaran.

Slanjutnya ucapkan selamat lebaran, mohon maaf lahir batin melalaui kartu lebaran digital dan akan lebih asyik lagi membikin video kebersamaan terdahulu dan menjadi kenangan pengobat rindu kehidupan bersama sehingga rasa menyatu. Dan yang terpenting adalah membangun ketenangan tersendiri dalam keluarga, evaluasi diri, memperbanyak ibadah di saat lebaran agar kita mampu menerima ujian musibah pandemi dengan hati yang tenang serta tak lupa dalam semangat berbagi. Kebiasaan membantu keluarga di kampung saat mudik dapat dinganti dengan mentranfer uang untuk keperluan keluarga di kampung sehingga kebersamaan itu tetap ada dan membangun kampung halaman tetap menjadi impian.

Komentar