Virtualisasi Menyelesaikan Semua Perkara

by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

KECANGGIHAN teknologi informasi (TI) membawa manusia melakoni hidup dalam dunia yang terengah-engah. Peristiwa cepat dikemas menjadi informasi. Namun, segera basi. Karena, peristiwa-peristiwa itu produk politik. Dan, nyaris tak ada peristiwa yang bebas dari politik. Uniknya, politik tak lagi sungguh-sungguh menjadi perkara hidup. Karena, hidup lebih sebagai kesibukan membarui informasi politik.

Distingsi selesai dan tak selesai dalam perkara esensial hidup menjadi tak pasti. Dua kategori itu teraduk. Suatu perkara dianggap selesai segera setelah rampung proses eksposenya. Proses itu selalu berlangsung meriah. Karena, siapa saja tak terhalangi menumpahkan pendapat, ide, umpatan, …., terkait suatu peristiwa.

Dengan piranti komunikasi dalam genggaman, manusia melompat-lompat menjelajahi informasi di dunia maya yang tak berbatas. Peristiwa faktual: penanda eksistensi manusia, mengonggok di dunia nyata. TI mengonversi peristiwa menjadi citra, lalu memboyongnya ke dunia maya. Begitulah, perkara-perkara dalam hidup mengalami virtualisasi. Tanpa terasa, proses itu menanggalkan esensi ke-manusia-an dan ke-hidup-an.

BACA JUGA :  Pak Kapolri Sebaiknya Kita Segera Bertemu

Manusia tak lagi sungguh-sungguh hadir di dunia nyata. Karena TI menyediakan kanal besar yang selalu cukup menampung segala bentuk ekspresi manusiawi. Khususnya, rasa marah dan dorongan berontak. Ketika hal itu telah ditumpahkan sebagai informasi, suatu perkara dirasa rampung.

Peristiwa dan konsekuensinya menjadi rentan, segera usang. Sementara, manusia didera kelupaan dini, tanpa perlu merasa kawatir, karena dapat mengandalkan rekam jejak digital. Kemanusiaan, keadilan, kebenaran, mejadi perkara data digital.

Manusia zaman lampau, berusaha mengawetkan peristiwa melalui prasati, monumen, dan metonimi. Semata agar esensi dan pesan peristiwa penting bagi hidup dan keluhururan manusia, awet-abadi, senantiasa menjadi referensi dari generasi ke generasi.

Tapi, manusia jaman ini, hidup bersama politik sebagai mesin yang memroduksi peristiwa sesuai kaidah kapitalisme industri: melimpah, meruah. Tempo hari, kita dihebohkan oleh peristiwa dua orang menteri yang ditangkap karena korupsi.

Lalu, selesai, ketika muncul tragedi pembantaian 6 orang anggota FPI oleh Polisi. Tentu menimbulkan kehebohan yang luar biasa. Polisi tampaknya sangat memahami psikologi informasi. Segera kehebohan yang memfokus pada kebrutalan polisi itu, dialihkan.

BACA JUGA :  Pengamat: Tidak Ada Rezim yang Lebih Brutal selain Era Jokowi

Tentu, hanya energi besar yang bisa menyerap kehebohan itu ke taraf selesai. Maka, ditetapkanlah HRS sebagai tersangka. Diborgol, digiring ke rumah tahanan. Peristiwa itu memang tidak menenggelamkan kasus pembantaian 6 orang anggota FPI secara keji. Tapi, jelas efektif mereduksi dimensi esensial tragedi pembantaian.

Gelaran aksi 1812 sebagai puncak tuntutan dan tekanan terkait pembantaian dan penahahan, tak seheboh yang dibayangkan. Melintas beberapa saat di dunia maya. Lalu, ditenggelamkan peristiwa baru: nyanyian Juliari yang mengisahkan anak pak lurah dan Maharani, …… bersautan dengan korupsi bansos kubu banteng. Semua itu terhempas oleh peristiwa reshuffle kabinet, beberapa orang menteri diganti. Muncul Madam Bansos mengharu biru medsos. Segera surut bersama datangnya banjir dan permintaan waqaf.

Virtualisasi efektif memecah persepsi dan kesadaran, berkeping-keping. Rentetan peristiwa dihadirkan sebagai informasi yang membentuk lapis-lapis kesadaran yang tercerai. Sementara, kebutuhan membarui informasi makin menguat dan, politik tak pernah istirahat memroduksi peristiwa. Maka, manusia harus belajar hidup bahagia dalam kepingan-kepingan kesadaran.

Realitas 6 orang mati dibunuh secara keji, penegakan hukum sesuka hati, brutalitas korupsi dan penggarongan uang rakyat, perekonomian yang nyaris porak poranda, pengalaman nyata keseharian hidup rakyat yang semakin sulit, …..

BACA JUGA :  HRS Diborgol. Lalu?

Semua perkara itu, tak ada yang selesai di dunia nyata. Tak lagi menjadi perkara eksistensial manusia: kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, yang harus diwujudkan di dunia nyata.

Virtualisasi memang menceraikan manusia dari realitas dan kepekaan akan yang hakiki. Situasi yang menguntungkan bagi rejim dan setiap tindakan yang tak beradab. (lmb)

Komentar