Oh, Jiwa yang Sakit

Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

MEREKA yang berkuasa, kata pepatah Latin, lebih banyak menderita sakit jiwa daripada sakit badan. Animo magis quam corpore aegri sunt. Memang terkesan tak terlalu jelas: keprihatinan, umpatan, atau simpulan dari data medis.

Begitulah pepatah, sejenis ‘sublimasi’ pengalaman hidup untuk menjangkau kearifan. Dipahami dengan baik oleh komunitas penciptanya. Sebagaimana kita memahami dengan baik, pepatah: Tong kosong nyaring bunyinya. Kanthong kosong 11.000 T bualnya.

Perkara sakit jiwa tentu urusan para pihak yang berkompeten di bidang kedokteran jiwa, psikologi. Awam cenderung beranggapan sakit jiwa identik dengan gila. Dan, ke-gila-an: pikiran dan/atau tindakan tak normal dari seorang yang sehat badannya, dipandang oleh awam sebagai tanda-gejala terganggu jiwanya. Entah mengapa, gejala itu umum menjangkiti para penguasa. Bahkan, jauh sebelum jaman Romawi.

Fir”aun-diduga Ramses II, memerintahkan agar semua bayi laki-laki, kala itu, dibunuh. Lantaran, paranormal istana meramalkan salah satu dari bayi itu, kelak, bakal membunuhnya. Juga, memerintahkan para arsitek dan insinyur sipil, membangun menara yang tinggi agar ia dapat melihat Tuhannya Musa. Ia memang memaklumkan dirinya sebagai tuhannya bangsa Egypt. Fir’aun seorang penguasa yang terganggu jiwanya: mengagungkan diri, menandingi Tuhan.

BACA JUGA :  Jokowi Gagal Membuka Munas KAHMI, Kenapa?

Antonius meledak hatinya lantaran rasa benci kepada Cicero. Lalu, membunuhnya. Kepala dan tangan Cicero dipenggal, dipajang di mimbar Senat, sebagai hiasan juga pengumuman kepada para senator kritis. Dosa besar Cicero: amat kukuh meyakini penyebab runtuhnya republik (Roma) tak lain hilangnya keutamaan dan kepedulian para pemangku kuasa terhadap persoalan rakyat. Cicero korban penguasa yang jiwanya sakit.

Beruntug bangsa Romawi, karena melahirkan Juvenalis. Ia dilahirkan tahun 60 dan hidup selama 80 tahun. Dinobatkan sebagai Begawan satire. Giat mengejek kebobrakan kekaisaran Romawi, Senat yang tak bermutu, lembaga pengadilan yang culas, hukum yang ngawur, kerakusan para penguasa, korupsi yang merajalela, …..

Tapi, Juvenalis bukan orang yang memilih memberontak. Ia menempuh jalan unik menghadapi kebobrokan penguasa Romawi: menyeru khalayak ramai “hendaknya kalian berdo’a agar ada jiwa yang sehat di dalam badan yang sehat”. Potongan seruan itu menjadi semacam semboyan yang harus dihapalkan murid SD dekade 70-an: mens sana in corpore sano.

Jung Chang (2007) amat meyakinkan membeberkan aneka jenis sakit jiwa yang diderita penguasa selama rejim Mao. Ambisi kekuasaan, dendam, kebencian, ketakutan, ….. menempuh jalur bolak-balik-sebab dan akibat, mewabahnya sakit jiwa di kalangan penguasa.

BACA JUGA :  Sepakat Dua Periode Saja!

Jiang Qing-Madam Mao, memuaskan diri sebagai perempuan amat jahat. Kepala Kantor Mao, limited group yang terkenal dengan julukan Geng 4, menjalankan revolusi kebudayaan: proyek pembersihan besar-besaran. Ketakutan masa lalunya terungkap amat mencekam dirinya. Lalu, semua orang yang mengetahui perkara itu, dijebloskan kedalam penjara, dan tak satupun yang pulang membawa nafas. Suara, cahaya, dan orang yang tak dikenal, membuatnya mengamuk yang berakibat fatal bagi sekelilingnya.

Juga, Lin Biao. Ia berniat menjadi orang no. 2 dan pengganti Mao. Memuji Mao tanpa batas di depan umum. Menghabiskan waktu luangnya di rumah untuk memaki Mao. Lin menderita aneka macam ketakutan. Takut air, juga angin, bahkan yang sepoi-sepoi. Bertahun-tahun Lin anti air, hanya mengelap tubuhnya dengan handuk kering. Lin amat membenci Luo, Kepala Staf AD, orang favorit Mao. Lalu menghabisinya dengan cara khas pengindap sakit jiwa.

Tentu, Mao yang paling parah. Rekor kebengisannya tampaknya tak bakal tertandingi. Kongres ke-7 PKC harus tertunda lama. Mao membutuhkan waktu 17 tahun untuk memastikan delegasi utuh bulat mendukungnya. Caranya: menghabisi separoh dari 500 calon utusan. Mao juga tak keberatan bila setengah rakyat China harus mati, untuk melakukan ‘lompatan besar’ yang ia gagas.

BACA JUGA :  Stop! Jangan Jadi Agen Covid-19

Sakit jiwa seperti halnya sakit badan, mengenal tingkatan-stadium. Bagi para penguasa, tingkatan itu nampak, selain dari kegemaran berbohong, juga tindakan-kebijakan terkait urusan publik, kepentingan bangsa dan negara: keadilan, kesejahteraan, kedaulatan, …. Membunuh warga secara keji, memenjarakan siapa saja yang dianggap lawan, …….. jelas menunjukkan tingkatan cukup parah. Gejala awal penguasa mengindap penyakit jiwa: disorientasi fungsi dan tugas.

Nampak ringan, namun berakibat serius: teroris-separatis dianggap saudara, penceramah agama dianggap teroris. Baliho, kotak amal, dianggap alat perang yang berbahaya. AK 47 yang digunakan Kelompok Kriminal tak mengkawatirkan.

Disorientasi itu menyebabkan penguasa tak dapat membedakan antara menyelamatkan rakyat dengan berdagang PCR. Kemampuan berhitung tumpul: biaya membangun 10 T, dijual 3 T. Juga, kehilangan kemampuan membanding: kerugian, korupsi, puluhan, bila bukan ratusan T yang ditanggung BUMN dengan uang toilet. Gundukan material lahar yang menimbun sejumlah desa dengan mengorek tanah dipinggir jalan, ……….

Oh… jiwa-jiwa yang sakit. Actum est de republica, kata orang Romawi. Habislah republik ini!

Komentar