TILIK.id, Jakarta — Program Tilik Bang Sem di Channel Salam Radio Rabu malam (20/1/2021) menghadirkan nara sumber Ambia B Boestam, dosen Komunikasi Politik FISIP Universitas Nasional Jakarta. Tema yang diangkat “Dramatika dalam Komunikasi Politik”.
Bang Sem Haesy mereview kembali bahwa beberapa hari lalu di medsos ramai Mensos mencari gelandangan tuna wisma di kawasan Thamrin-Sudirman. Risma dianggap melakukan sandiwara politik, bahkan berkembang istilah drama Korea Rismaharini.
Dalam pemaparannya, Ambia Boestam mengatakan, drama politik bisa dipakai dengan istilah simulakra politik atau hiper realita politik. Yaitu sesuatu yang Diada-adakan. Bahwa apa yang disampaikan itu tidak sesuai dengan apa yang menjadi realitas politik dengan fenomena politik yang secara sadar dihadapi oleh masyarakat.
“Ini yang sering terjadi. Praktek-praktek yang pesan politiknya sering disampaikan oleh para komunikator politik. Bisa dia aktor, bisa dia politisi, bisa dia lembaga survei, dan lain sebagainya,” kata Ambia.
Jika istilahnya adalah simulakra, menurut Ambia, tentu ada skenario. Namun menjadi ada skenario jika komunikator politik memiliki kecerdasan dalam membangun komunikasi yang persuasif yang ujungnya adalah untuk mendapatkan efek elektabilitas.
“Akan tetapi, aktor politik saat ini terlalu banyak spontanitas yang tidak ada rancangannya. Itu justru membuat hiruk pikuk politik sehingga publik mengalami kebingungan,” kata Ambia.
Pada sandiwara politik Rismaharini di Jakarta, menurut Ambia, sebenarnya bukanlah drama politik. Karena drama politik itu ada skenario, ada sutradara, ada aktornya, ada dialog yang disiapkan dan sebagainya.
“Saya melihat ini drama politik yang tidak ada kecerdasan dalam merancang sebuah PR. Sebuah sandiwara kan biasanya dipentaskan di panggung teater, Yang topiknya jelas aktor nggak jelas, dialognya jelas ada naskahnya, dan ada tujuan yang ingin dicapai, di mana para penonton bisa memberikan aplaus terhadap apa yang ditampilkan dalam bentuk pesan-pesan ,” kata Ambia.
Menurut Ambia, pesan-pesan itu menyangkut fenomena sosial dan masalah kemanusiaan. Drama yang sarat pesan-pesan politik banyak dicontohkan drama-drama karya mendiang WS Rendra.
“Seperti drama-dramanya Rendra. Itu luar biasa. Semua drama Rendra penuh dengan pesan-pesan politik di dalamnya,” kata Ambia.
Soal drama Rismaharini, politisi PAN ini mengatakan, Kementerian Sosial iti adalah lembaga yang luar biasa. Pertama adalah, satu-satunya kementerian dalam waktu tempo yang singkat ada tiga menterinya yang terjerat persoalan hukum.
Yang kedua adalah posisi Menteri Sosial sangat strategis. Kalau dalam konteks amal jariyah itu bisa mengimplementasikan alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Yaitu bagaimana kesejahteraan, perlindungan sosial dan sebagainya.
“Kemudian di implementasikan di pasal 34, bagaimana parkir miskin dan anak anak terlantar yang harus dipelihara oleh negara, itu sangat mulia posisinya dan strategis untuk rakyat dari Sabang sampai Merauke. Bukan dari Tanah Abang ke Rawa Bangkit, bukan hanya Jakarta,” kata Ambia.
Sandiwara politik bukan hanya saat ini dipertontonkan. Sebelumnya banyak sandiwara-sandiwara juga. Ada kasus e-KTP yang tiba-tiba tabrak tiang listrik, dokternya yang masuk penjara.
“Ada juga drama politik seperti dipukuli, tiba tiba wajahnya bengkak segala macam, ternyata ini adalah persoalan kecantikan. Dua mantan calon presiden bahkan sudah datang dan bikin jumpa pers, ternyata ini persoalan kecantikan,” kata Ambia.
Ini contoh dua kebohongan publik. Ada lagi contoh drama politik yang pura pura lupa. Hanya main voli terjatuh, walikota Depok langsung lupa semuanya begitu dipanggil KPK. Ini kan salah satu drama politik juga.
“Jadi di Indonesia itu drama politik sudah banyak contoh contohnya. Kemarin habis reshufle kabinet saya melihat bahwa menteri kita yang baru ini, Ibu Risma yang kita hornati itu, ingin memindahkan panggung teater sebagai regulator dalam kebijakan kebijakan sosial ke jalanan,” tambah Ambia.
Risma, menurut Ambia, dari Walikota Surabaya yang lokal kemudian jadi menteri yang nasional kemudian dilokalkan kembali. Posisi ini dikesankan bahwa pesan-pesan yang ingin disampaikannya itu tidak ber makna dan tidak bernilai.
“Itu tidak hanya sebuah sandiwara, tapi itu sebuah hyper realitas tergesa-gesa sehingga menimbulkan antipati, menimbulkan empati, menimbulkan ledekan-ledekan, guyonan-guyonan, Yang harusnya menjadi tokoh nasional yang punya kedudukan strategis dan sebagainya,” beber Ambia.
Yang berikutnya, lanjut Ambia, bagaimanapun Risma adalah tokoh dari organisasi politik tertentu ditempatkan dan diharapkan menimbulkan efek elektabikitas untuk persiapan kontestasi di masa depan apakah di Pilkada Jakarta atau di level nasional.
Dia diharapkan bisa membangun populatitas, membangun publik relations (PR), dengan program-program PR telah melakukan komunikasi yang persuasif untuk menimbulkan empati.
“Tetapi ternyata berbalik menyerang dia.
Medsos luar biasa viral, dan nyaris tidak ada pandangan positif,” ujat Ambia.
Menurut Ambia, dalam teori komunikasi politik, Risma menggunakan gaya attentve, yang mencoba bersikap simpati empati, mendengarkan orang lain dengan bersungguh-sungguh, salah olah memberikan perhatian yang luar biasa.
“Yapi sebenarnya seharusnya dia menggunakan gaya standar, yang terhormat, gaya seorang komunikator politik, yang memberikan pesan pesan politik secara bermakna dan bernilai, bisa diterima khalayak dan menimbulkan simpati. Itu bisa terjadi asalkan dia menggunakan gaya manageable,” tuturnya.
Namun, menurut Ambia, ada kesalahan fatal yang dilakukan. Pertama, di belakang Risma dalam membangun opini publik. Yang Risma gunakan adalah gaya komunikasi social style. Ekspresif, dominan, gaya dramatis, seolah-olah prihatin untuk membangun drama konflik di jalanan.
Bang Sem Haesy menilai drama yang dilakukan Ibu Risma adalah sebagai pengalihan fokus. Bukan pengalihan isu, tapi pengalihan fokus pada masalah-masalah berat yang dihadapi negara.
Menurut Ambia, bahwa posisi Bu Risma dari tokoh loka ke nasional kemudian dilokalkan lagi, itu menggambarkan seolah-olah dia tidak tahu apa yang mau diperbuat. Kementeriannya baru saja kena kasus korupsi, dibenahi tidak, malah turun mencari gelandangan.
“Saya tidak tahu apakah ada timnya atau tidak yang menggiring dia melakukan sesuatu yang seolah-olah menurut masyarakat mengalihkan isu atau pengalihan fokus, tapi sebenarnya adalah dia tidaktahu konteks. Konteks dan konten dia sebagai menteri. Ini berbahaya kalau diteruskan,” beber mantan aktivis HMI ini.
Banyak lagi yang disampaikan Ambia B Boestam terkait dramatika politik saat ini. Untuk lengkapnya, dapat disaksikan pada channel Salam Radio di Program Acara Tilik Bang Sem ini di bawah ini.
Komentar