Suasana Puitis Awali Langkah Biden dan Harris

Catatan Bang Sém

 

We have seen the power to crush a country rather than share it.
If that means delaying democracy, it will destroy our country.
And this effort was almost successful.
But democracy can be delayed on a regular basis,
It will never be defeated forever.

 

LIRIK-larik puisi yang menyimpan sikap politik ini adalah bagian dari puisi bertajuk The Hill We Climb, yang ditulis penyair belia Amerika Serikat, Amanda Gorman.

Gorman akan membacakan puisi itu, dalam acara pelantikan atau pengukuhan Joe Biden dan Kamala Harris, Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat terpilih di Capitol Hill, Rabu, 20 Januari 2021.

Gorman, sebagaimana agenda panitia pelantikan Biden dan Harris, akan tampil dalam acara yang akan diliput berbagai stasiun televisi dan platform media lain ke seluruh dunia, itu akan tampil membacakan puisinya, seperti Lady Gaga dan Jennifer Lopez akan melantunkan suaranya.

Secara bebas, puisi penyair yang pernah memenang hadiah puisi pemuda Amerika Serikat itu, dapat dialih bahasa seperti ini:

Kami telah melihat daya untuk menghancurkan suatu negara daripada menebarnya/ Jika bermakna menunda demokrasi / itu akan menghancurkan negara kita / dan.. upaya itu hampir berhasil / Tapi, demokrasi dapat menunda secara teratur / Namun tak pernah bisa dikalahkan selamanya //

BACA JUGA :  RAKYAT MALAS

Proses pengukuhan kemenangan Biden dan Harris memang tidak berjalan mulus. Rabu, 6 Januari 2021, para perusuh dan pelaku tidak kriminal, pendukung Donald Trump merangsek dan menjebol Capitol Hill, gedung parlemen, lambang demokrasi Amerika Serikat berbilang masa.

Para perusuh yang kemudian dikategorikan sebagai pemberontak yang melawan kedaulatan, itu ironisnya terpicu oleh pidato Presiden Donald Trump, yang dituding banyak kalangan analis, senator, dan legislator sebagai penghasut. Ujungnya, Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representative) Amerika Serikat melalui voting, memecat Trump. Kendati keputusan itu tangèh, tanggung, karena waktunya amat berdekatan dengan tanggal pelantikan.

Trump yang ogah turun dari kekuasaannya, telah mengklaim dirinya sebagai pemenang, namun belasan kali melakukan gugatan di mahkamah, gugatannya tak sahih. Dengan gayanya yang mengekspresikan sosok seorang yang ‘bangor,’ Trump yang merupakan Presiden AS pertama pembuat gaduh dan dipecat parlemen, sendiri tak akan hadir dalam pelantikan itu. Dia memilih cara menjauh dari Capitol Hill, terbang ke Texas.

Akibat ulah Trump dan sekongkolnya, upacara pelantikan Biden akan berlangsung dalam suasana tak biasa. Cenderung mencekam. Sejak Selasa, kawasan Capitol Hill dijaga oleh pasukan khusus Garda Nasional. Jalan-jalan pusat kota Washington DC, ibukota Amerika Serikat, ditutup untuk umum.

BACA JUGA :  Orasi Kemanusiaan Palestina

Pelantikan Biden dan Harris, sejak semula memang sudah direncanakan secara virtual, karena pandemi Covid-19 yang masih ‘mengancam.’ Selasa malam, Biden dan Harris tampil pada sebuah upacara di Lincoln Memorial Reflecting Pool untuk memperingati lebih dari 400.000 orang Amerika yang telah meninggal akibat Covid-19.

Di National Mall, dipasang suatu bidang berisi tempat mengibarkan bendera, mewakili mereka yang tidak dapat menghadiri upacara pelantikan.

Kehadiran Gorman dengan puisinya, akan membuat upacara pelantikan itu menjadi puitis. Acara pembacaan puisi dan penampilan Gorman, diusulkan oleh bakal Ibu Negara, Jill Biden yang berjanji tak akan melepaskan profesinya sebagai pendidik sekaligus guru.

Gorman sendiri mempersiapkan dirinya dengan sangat serius. Meski lelah, dia berjuang melalui latihan yang ‘melelahkanb,’ karena ada beban psikis, khawatir dia tidak dapat melaksanakan tugas monumental yang dihadapinya:. Membuat dan membacakan puisi yang diharapkan membawa misi — sekaligus menghidupkan kembali — persatuan nasional. Sekaligus mengusik kesadaran rakyuat Amerika Serikat untuk menghadirkan kembali semangat kebangsaan sebagai kampiun demokrasi.

Dalam suatu wawancara dengan media, Gorman menyatakan. “Rasanya, jika saya mencoba mendaki gunung ini sekaligus, saya akan pingsan.”

BACA JUGA :  Liberal Udik vs Emak-Emak Kelas Menengah Muslim

Ketika para perusuh menyerbut Capitol Hill, Gorman sudah berhasil menulis separuh puisinya. Dia terjaga hingga larut malam dan menyelesaikan puisinya, menambahkan larik-larik tentang adegan apokaliptik yang terjadi di Capitol hari itu, seperti yang dikutip di awal tulisan ini.

Belia 22 tahun itu secara aksentuatif menyatakan sikapnya, bahwa demokrasi yang diyakini Amerika Serikat, tak bisa dikalahkan secara permanen.

Wajar, bila Gorman mengalami situasi psikis semacam, itu dalam proses kreatifnya, meski tak ada pesan khusus atau tekanan dari siapapun. Yang pasti, dalam usia belianya, dia menjadi penyair termuda dalam pengukuhan Presiden di Amerika Serikat.

Selama ini, dia memang penyair termuda dalam komunitas penyair Amerika Serikat, bersama Robert Frost, Maya Angelou, Miller Williams, Elizabeth Alexander dan Richard Blanco. Namun, tidak ada para pendahulunya yang menghadapi tantangan seperti yang dialami Gorman.

Penyair kulit hitam ini, menulis puisi yang akan menginspirasi harapan dan menumbuhkan solidaritas kolektif rakyat Amerika Serikat untuk mencapai tujuan kebangsaan bersama, justru ketika orang Amerika terhuyung-huyung di tengah pandemi Covid-19 yang mematikan, kekerasan politik, dan perpecahan partisan.

Gorman, membuat Biden dan Harris mengayun langkah pertama dalam suasana puitis.. |

Komentar