by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
KASUS suap-korupsi Menteri Kelautan dari Gerindra, terkait perijinan ekspor benur dan, korupsi Bansos Menteri Sosial dari PDIP, jelas bukan sekedar tamparan, tapi tempelengan kepada Presiden Jokowi. Bukankah presiden sudah berulang kali mewanti-wanti: jangan korupsi, jangan korupsi, jangan, jangan korupsi!
Kasus korupsi Bansos tempelengan yang bertenaga, karena diduga kuat melibatkan Ketua DPR Puan Maharani-putri Megawati, juga Gibran-sang putra. Padahal tinggal menunggu jadwal saja bocah itu dilantik sebagai Walikota Solo. Diduga kuat, korupsi Bansos itu juga melibatkan PDIP.
Parpol yang terlibat korupsi, sesuai logika pembubaran FPI, mestinya juga dibubarkan. Karena, jelas-jelas merusak, menghancurkan bangsa dan negara. Tak bisa dibilang lebih ringan dampaknya ketimbang terorisme. Korupsi adalah terorisme tanpa bom panci. Tapi, nalar demokrasi bertentangan diametral dengan nalar pembubaran FPI. Prinsip demokrasi anti pemberangusan hak azasi untuk berserikat dan berkumpul.
Sekalipun parpol menjadi sarang korupsi, tetap saja pelakunya yang harus bertanggugjawab. Terbukti, sejumlah pimpinan parpol dipenjara. Bahkan Ketum dan Sekjen sebuah parpol berurutan meringkus di bui. Mengindikasikan parpol memang hidup dalam sirkuit korupsi.
Paling jauh, masyarakat hanya dapat membubarkan atau menyingkirkan parpol korup itu dari benaknya. Indonesia pasti lebih baik tanpa parpol korup. Isu ini perlu disosialisaikan secara luas dan insisten (berulang dan menerus). Sebentuk kepedulian terhadap keberadaan parpol sebagai pilar utama yang menentukan wajah demokrasi.
Pesan dan nasihat Presiden Jokowi jelas tak digubris para menteri yang menjadi pembantunya. Apakah para pelaku korupsi itu memang bermental teroris, sengaja merusak bangsa ini? Mengapa kelakuan mereka jauh lebih buruk dari umumnya anggota FPI?
Marwah-wibawa Presiden harus dijaga, dilindungi dari rongrongan para pembantu dan orang-orang dekatnya. Tak bisa tidak, kasus korupsi itu harus diusut secara tuntas. Hukum harus tegak lurus. Itulah jalan tunggal memertahankan citra Preiden Jokowi bersih dari korupsi serta tegas-tak pandang bulu dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Apalagi Presiden Jokowi didampingi Prof. Mahfud MD, ahli hukum tatanegara, dan punya rekam digital sebagai ustadz yang meyakinkan dalam kotbahnya tentang hukum dan keadilan. Boleh jadi Sang professor sudah membisikan tentang sikap Rasulullah SAW: Demi Allah, kalau Fatimah mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya. Presiden Jokowi, mungkin juga telah membaca kisah Raja Daud yang menghukum mati putranya, dalam komik Sin-Chan.
Sikap tegas Presiden Jokowi dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pasti disetujui rakyat secara luas. Konsistensi dan ketegasan Presiden Jokowi: siapapun yang melawan hukum, korupsi, tak peduli Maharani, Gerindra, PDIP, juga putranya sendiri, pasti diproses hukum. Meskipun korupsi Bansos Pandemi dapat diancam hukuman mati. Presiden Jokowi diyakini tak berat mengamini: kerjakan, kerjakan, kerjakan!
Ketegasan itu terbukti secara meyakinkan, melalui Menko Polhukam dan sejumlah menteri, dalam menghadapi FPI. Apalagi korupsi Bansos Pandemi jelas menunjukkan dimensi kelicikan terorisme. Layak diperlakukan seperti teroris pada umumnya: hukum mati. Pesannya jelas, agar tak ada lagi yang coba-coba menempeleng Presiden Jokowi dengan korupsi.
Sebagai bagian turut menjaga marwah-wibawa Presiden Jokowi, publik seharusnya bersungguh-sungguh menuntut dan mengawal proses hukum yang menjamin kebenaran ditegakkan atas kasus korupsi para menteri. Sebagaimana kesungguhan pemerintah menegakkan kebenarannya terhadap FPI.
Apalagi, problem besar bangsa ini bukan FPI, tapi: korupsi! Silakan konfirmasi ke Menteri Sri Mulyani.
Komentar