Oleh: Rifqi S Assegaf
MALAS sebenarnya harus membela FPI, organisasi yang saya pribadi tidak suka, yang baru saja dilarang untuk melakukan kegiatan serta menggunakan simbol dan artibut organisasinya melalui SKB enam kementerian dan lembaga. Intinya SK tersebut menyatakan bahwa FPI “tidak terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan” sehingga “secara de jure telah bubar sebagai organisasi” (butir 1).
Karena itu FPI dilarang untuk melakukan kegiatan dan menggunakan simbol atau atributnya (butir 3) dan jika dilanggar (tetap melakukan kegiatan atau menggunakan atribut/simbol) aparat penegak hukum akan menghentikannya (butir 4). Kejanggalan SKB ini sangat banyak. Saya coba urai satu persatu dari yang paling mendasar.
Pendaftaran organisasi sebagai Ormas adalah pilihan, bukan kewajiban. Tidak ada aturan yang mewajibkan ormas harus berbadan hukum atau memiliki Surat Keterangan Terdaftar (periksa UU , PP 58/2016 dan Permendagri 57/2017). Putusan MK 82/PUU-XI/2013 juga menegaskan bahwa kepemilikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) tidak wajib. Karena itu pula tepat pernyataan Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar tahun 2019 yang menyatakan “Pendaftaran organisasi adalah hak organisasi bukan kewajiban. Sama saja organisasi paguyuban atau ormas, atau juga bidang pers. Ada yang terdaftar dan ada yang tidak”.
Pendeknya, pembuatan badan hukum atau memiliki SKT adalah hak organisasi jika ingin tunduk kepada rezim hukum ormas yang memberikan berbagai insentif atau keuntungan bagi ormas (terutama yang berbadan hukum), misal kepastian hukum untuk bertindak dengan dan atas nama ormasnya, insentif pajak, atau pendanaan dari negara.
Karena itu, dengan tidak diperpanjangnya SKT FPI tahun 2019, maka FPI, oleh hukum, tidak dianggap sebagai ormas yang dapat memperoleh keuntungan-keuntungan tersebut.
Larangan Melakukan Kegiatan? Apakah FPI masih boleh melakukan kegiatan yang sah (tidak melanggar hukum) jika tidak terdaftar sebagai ormas? Ya boleh, selama memenuhi aturan. Misal, jika mau mengadakan kegiatan yang melibatkan banyak orang – di atas 300 orang (menimbulkan keramaian), perlu memiliki izin (lihat Pasal 510 KUHP jo Juklap Kapolri No.Pol/02/XII/95). Entah apa yang jadi dasar hukum SKB untuk melarang FPI melakukan kegiatan yang sah. Jika FPI melakukan kegiatan yang melanggar hukum, tidak perlu SKB ini pun harus ditindak pelakunya.
Larangan Menggunakan Atribut/Simbol?Bagaimana dengan larangan FPI menggunakan simbol atau atributnya? Larangan ini hanya dapat dibenarkan jika, misal, FPI dianggap sebagai organisasi terlarang, misal karena terkait dengan kegiatan atau pendanaan kegiatan terorisme (Pasal 18 UU 15/2003 jo Perpu 1/2002 atau Pasal 8 UU 9/2013). Atau jika FPI dianggap terlarang oleh aturan minimal setingkat UU (meski ini bisa diuji MK) atau lebih tinggi dari UU, seperti pelarangan PKI melalui TAP MPRS 25/1966. Cara lain, misalnya, jika simbol dan atribut FPI sudah dimiliki oleh organisasi lain -sehingga penggunaannya melanggar UU hak cipta, atau jika simbol atau atribut tersebut melanggar hukum (mengandung bahasa/gambar yang kotor, dst). Karena semua itu tidak terpenuhi, apa dasar pelarangan dalam SKB?
Sekarang, mari kita kupas hal-hal yang “kurang” esensial, namun penting bagi orang hukum.
Dasar pertimbangan penerbitan SKB. Beberapa dasar pertimbangan yang diajukan aneh, misalnya ada sekian banyak pengurus atau anggota FPI yang melakukan tindak pidana, dan sebagian telah dihukum (butir e). Mereka juga kerap melakukan perbuatan melawan hukum razia atau sweeping (butir f dan butir kedua). Pelanggaran hukum oleh pengurus dan anggota FPI sudah seharusnya ditindak. Dan sebagian sudah ditindak, sebagian lain (dari dulu) dibiarkan. Apa hubungannya dengan SKB ini? Logika terdekat (di luar aturan hukum yang ada) bahwa ini adalah alasan-alasan “masuk akal” atau logis (bukan tepat secara hukum) jika dimaksudkan untuk melarang FPI sebagai organisasi.
Masalahnya, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penetapan sebuah organisasi menjadi organisasi terlarang membutuhkan ‘bar’ (kriteria) yang lebih tinggi/ketat. Jadi penggunaan pertimbangan-pertimbangan tersebut adalah semata komunikasi politik untuk menjustifikasi SKB bermasalah ini. Jika logika itu akan dipakai, jangan-jangan sebagian (besar?) partai politik di Indonesia harus dilarang karena banyak anggotanya yang terlibat kasus hukum, termasuk korupsi.
Apa Status SKB? Karena obyek dan substansinya tidak jelas (lebih kepada komunikasi politik atau kebijakan yang tanpa dasar hukum) maka pemerintah terkesan kebingungan dalam menentukan format hukum yang digunakan, dan kemudian dipilihkan SKB, keroyokan beberapa kementerian dan lembaga yang hubungannya dengan isu yang dibahas sebagian tidak jelas. Satu-satunya lembaga yang tepat untuk “mengumumkan” bahwa FPI sudah bukan ormas yang memiliki SKP (tanpa dapat memberikan konsekwensi hukum atas hal tersebut selain kehilangan status dan kemungkinan insenfitnya) adalah Kemendagri, lembaga yang berwenang menerbitkan SKP. Lalu apa guna yang lain?
Karena FPI bukan badan hukum, “pernyataan dari Kemenkumham” tidak relevan, kecuali ingin memberikan kesan bahwa karena ada Kemenkumham maka pasti SKB ini berlandaskan hukum dan menjunjung tinggi HAM.
Keberadaan BNPT buat apa selain ingin memberikan pesan politik bahwa FPI ada bau-bau terorismenya. Polisi dan Kejaksaan? Misteri terbesar adalah pelibatan Kemenkominfo. Mungkin kebetulan rapat pembahasan SKB ini dilakukan setelah rapat beberapa kementerian dan lembaga tersebut mencari dasar hukum untuk memperkuat kasus Gisel. Tidak enak kalau kemudian Kemenkominfo tidak diajak tanda tangan SKB. Biar genap juga…Itu hanya dugaan saya.
Komentar