Oleh: Komaruddin Rachmat
SEANDAINYA saja Kapolda Metro Jaya tidak mengumumkan pembunuhan 6 Laskar FPI (yang dinyatakan dalam sebuah konprensi pers), barangkali masyarakat taunya HRS disergap oleh orang tidak dikenal, atau oleh musuh HRS yang ingin membunuhnya. Terjadinya seperti di negara-negara yang mafianya eksis, “ perang antar gang”.
HRS sendiri lolos dari usaha teror tersebut setelah para pembuntutnya berhasil dihalangi-halangi oleh pengawalnya meski kemudian nyawa para pengawal HRS itu menjadi taruhannya.
Pembunuhan pengawal HRS seperti digambarkan dalam rekaman suara para terbunuh, kejadiannya seperti di dalam film-film mafia, yaitu melalui kejar-kejaran di jalan tol dan pembunuhannya dilakukan dengan brutal dan sadis bahkan diduga melalui penculikan dan penyiksaan.
Sementara sejauh itu sesuai rekaman suara para terbunuh, mereka tidak tau kalau yang membuntutinya itu adalah Polisi. Kalau mereka tau itu Polisi mungkin jalan ceritanya akan lain lagi.
Pembunuhan enam laskar FPI yang sedang mengawal HRS tersebut menimbulkan tanda tanya publik mengapa caranya sangat begitu kasar.
Pembunuhan pengawal HRS yang dilakukan secara vulgar dengan cara arogan itu, bisa jadi karena para perencana pembunuhan terlalu under estimate (menganggap rendah) terhadap HRS dan FPI, menganggap pembunuhan terhadap anggota FPI itu sama saja dengan membunuh anjing liar, yang mudah dicari pembenarannya dan dapat dilupakan begitu saja.
Under estimate lainnya adalah menganggap HRS itu ruang lingkup kapasitasnya hanya FPI saja, bukan dalam ruang lingkup umat Islam dan bukan pula masyarakat secara luas yang berpegang pada hati nuraninya.
Kini penculikan dan pembunuhan anak-anak muda pengawal HRS tak berdosa itu telah terjadi dan diakui bahwa polisilah yang melakukannya dengan alasan yang telah disampaikan ke publik, dan sekarang ibarat nasi sudah jadi bubur.
Namun demikian kini seluruh mata sedang menyorot ke polisi, apapun usaha menggelapkan fakta bila itu terjadi, maka kemungkinan hanya akan seperti menekan kasur busa “ ditekan di sini akan menyembul di sana”.
Drama ini sepertinya akan terus berlangsung, dan kini yang sedang terjadi adalah seperti permainan catur antara Polisi dan HRS . Hal itu dapat dilihat dari ditangkapnya HRS yang diduga sebagai langkah untuk sebuah pengalihan isu atas kasus penculikan dan pembunuhan tersebut, dan juga mungkin agar HRS tidak bisa melakukan konsolidasi karena telah dipisahkan dari pendukungnya.
Padahal kasus yg dipersangkakan terhadap HRS diduga tidak memiliki kualitas penetapan yang cukup sebagai tersangka, karena hanya soal kerumunan yang pihak lain juga banyak yang melakukannya tapi tanpa tindakan seperti yang dialami HRS.
Namun demikian HRS nampaknya sudah membaca langkah Polisi tersebut, karena itu HRS menyatakan melalui Munarman dalam komfrensi persnya bahwa “agar tetap fokus pada kasus penculikan dan pembunuhan anggota laskar FPI meski dirinya dipenjara!”.
Kini Polisi atas tindakannya menahan HRS itu malah seperti makan buah simalakama, karena setelah HRS ditahan kini muncul di berbagai daerah rakyat (umat Islam) meminta untuk ditahan juga menggantikan HRS dipenjara.
Meski gerakan tersebut mungkin dianggap tiada arti oleh kekuasaan, tapi itu adalah bara api yang dekat sekali dengan daun kering.
Kini proses penyidikan yang dilakukan Komnas HAM sedang ditunggu, bila Komnas HAM objektif seperti yang diharapkan masyarakat khususnya Umat Islam, maka yang akan terjadi adalah arus balik, di mana para pembunuh bisa jadi menjadi tersangka.
Tapi bila ternyata karena sesuatu hal yang menyebabkan Komnas HAM “melintir”(tidak sesuai harapan), maka nampaknya tidak dapat dihindari akan terjadi demo besar besaran berjilid-jiliduntuk menuntut dibentuknya Tim Pencari Fakta Gabungan Independen yang mungkin sampai kepada puncaknya yang kita tidak tau apa itu.
Sebaliknya bila ternyata disimpulkan oleh Komnas HAM bahwa pembunuhan enam pengawal HRS tidak sah, tapi kemudian ternyata tidak ditindak lanjuti oleh polisi dengan membawanya ke pengadilan, maka yang akan terjadi adalah kemungkinan terjadinya demo berjilid-jilid seperti aksi 212 dalam kasus Ahok di tahun 2016.
Bahkan kemungkinan jumlahnya akan lebih besar dengan skala yang lebih luas (berbagai daerah) dan kemungkinan berakhir dengan dramatis pula.
Waoluhu a’lam bissawab
Komentar