by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
HUKUM dan politik, bagi masyarakat moderen, menjadi keanehan yang digeluti sehari-hari, layaknya bercinta dengan diri sendiri: Politik dibentuk dan dijalankan dengan hukum. Hukum dibentuk oleh politik. Keduanya dimaksudkan untuk menjinakkan ketakberadaban manusia.
Dipandu Dewi Minerva yang bersiaga sepanjang masa. Menjaga agar manusia percaya, dua hal itu: hukum dan politik, memang mustahil ditanggalkan, menjadi sarana meluhurkan manusia dan kemanusiaan.
Berbekal dua perkara itulah: bonum commune, kebaikan bersama, res publika -kesejahteraan umum, dapat diwujudkan.
Karena, hukum menjamin kebenaran, keadilan. Politik (Demokrasi) menegaskan suara tuhan – vox dei.
Seperti jejaka kampus merayu gadis, demokrasi meyakinkan melalui trias politika, partai politik sebagai prima principa dan, pilar-pilarnya yang kokoh: pers, masyarakat sipil, …
Manusia tak lantas berhenti bercengkerama: mungkinkah suara tuhan memutuskan tuhan bersalah? Demokrasi sebagai mekanisme politik berdasarkan hukum, menghasilkan hukum: Bila sebagaian terbesar masyarakat sepakat: tuhan bersalah. Maka, suara tuhan itu benar adanya dan, tuhan harus diborgol. Tentu, Dewi Menerva kecewa, mengutuk keras: Silogisme! Hukum Besi!
Dan, hari-hari ini, bangsa ini, menanggung kutukan itu: hidup dalam kesesatan berpikir dan, bersandar pada hukum besi. Dibuktikan oleh Polisi: membunuh 6 orang anggota laskar pengawal Imam Besar FPI. Membuktikan hukum dan demokrasi yang dihambakan kepada penguasa, memang harus ditopang dengan tindakan keji.
Kekejian bekerja melalui beragam cara menghantam kemanusiaan, diyakinkan dengan senjata api, dirasionalkan dengan fitnah, disahkan dengan kekuasaan. Membunuh secara semena-mena pastilah tindakan keji. Tapi, fitnah lebih keji dari pembunuhan. Lalu, apakah ungkapan yang tepat untuk: membunuh lalu memfitnah yang dibunuh?
Tentu sangat disayangkan, Polisi menunjukkan sikap tak menghargai psikologi dan tak percaya sosiologi. Bahkan tak peduli pada citra dirinya sendiri. Polisi bukan sekadar institusi, juga manusia yang tak mungkin hidup menyendiri. Masyarakat menyoroti dengan semakin menipisnya rasa simpati.
Boleh jadi, guna menyiasati tragedi 6 orang yang ditembak mati, Polisi memaksakan menahan HRS atas tuduhan pidana kerumunan. Awam, lebih-lebih ahli hukum, merasakan hal yang teramat aneh. Hukum, kebenaran, seolah hanya milik polisi dan, dengan sesuka hati bertindak atas nama keadilan. Seperti diungkapkan Asyari Usman dalam tulisannya: Indonesia yang kini menjadi milik Polisi.
Maka, dapat dimengerti, bila, Hukum Besi segera beraksi. Hukum ini, diproduksi secara khusus oleh siapa saja: organisasi, sejarah, kekuasaan, rakyat, …. Semua dan segalanya, memiliki hukum besinya sendiri.
Massa rakyat protes dimana-mana. Berbondong menuju kantor polisi. Menuntut keadilan, penegakan hukum yang tak sewenang-wenang. Dalam situasi seperti sekarang ini, siasat rakyat yang berjuang memang menjadi perkara penting. Gerakan itu potensial meluas.
Polisi dan pihak-pihak yang berasosiasi dengan kekuasaan, tentu tak tinggal diam. Entah apa yang akan dilakukan. Tersiar kabar, beberapa biji bom molotov dengan nota khusus, sudah dilempar. Tempo hari, di Jakarta, beberapa halte berkobar.
Kali lalu, kekuasaan menganggap kepulangan HRS, perkara kecil. Juru bicara negara-kekuasaan meremehkan: HRS bukan orang suci, tak seperti Imam Khomaini. Tak banyak pengikutnya. Kita tidak tahu, limpah ruah massa penjemput HRS hari itu, membuat matanya membelalak atau tidak.
Kali ini, tampaknya berulang. Kekuasaan kembali meremehkan gerakan massa yang menuntut keadilan dan kebenaran ditegakkan. Kekuasaan tak dapat memahami: transendensi, bidadari yang tengah menanti, kesanggupan para leluhur, dulu, menggerakkan revolusi.
Hingga saatnya nanti, kekuasaan terbelalak, sudah terlambat dan, tak sedia mundur dengan menanggung rasa malu. Saat itulah, kekuasaan menggunakan hukum besinya: kembali menembaki rakyat.
Bila benar demikian, rakyat, boleh jadi terdorong menggunakan hukum besinya. Melawan dengan berbagai cara. Hukum besi mengajarkan, selalu saja ada massa rakyat yang sanggup melawan dengan cara yang sesuai. Dimana-mana memang begitu. Karena hukum besi belaku dimana-mana.
Memang, bangsa yang diasuh dengan kekejian, fitnah, keculasan, pastilah bangsa yang tak lagi menghayati budi pekerti, dignity. Hanya memiliki: hukum-hukum besi.
Komentar