by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
DUNIA berputar dan, politik berputar-putar. Mungkin, pada awalnya perjalanan politik mengikuti garis lurus: barbarianisme-otoritarianisme-demokrasi. Karena, dunia tak menyiapkan skenario paska demokrasi. Maka, politik moderen menempuh jalur bolak- balik: Re (otoritarianisasi – demokratisasi).
Kita mengalami musim semi redemokratisasi, pada dekade 90-an. Kala itu, didukung bacaan yang melimpah, karya: Guillermo O’Donnell, dkk, Juan Linz, Larry Diamond, Alfred Stefan, dll. Kemudian mengerucut menjadi gerakan reformasi 98. Otoritarianisme Orba tumbang.
Bergegas transisi menuju demokrasi-Redemokratisasi dimulai. Liberalisasi politik mengalir deras. Empat kali amandemen konstitusi. Puluhan Parpol menetas. Dan, Indonesia dilantik sebagai negara demokratis yang mencengangkan banyak pihak.
Tapi, tampaknya tak berlangsung lama. Levitsky dan Ziblatt mengabarkan, demokrasi merosot menuju kematian. Gejala ini bisa saja dipahami dengan perspektif biologis. Demokrasi: organisme yang lahir, tumbuh, berkembang, renta, …. Dan, setiap yang hidup secara alamiah pasti menuju kematian.
Bila tidak demikian. Maka, kemerosotan demokrasi menuju kematiannya, harus berarti kebangkitan otoritarianisme – Reotoritarianisasi. Dua gejala yang, memang berbanding lurus. Persoalannya, bagaimana demokrasi dalam waktu relatif singkat berubah menjadi otoritarianisme?
Dan, bila benar hal itu terjadi di Indonesia, katakanlah dalam dasawarsa terakhir, bagaimana menjelaskan otoritarianisme itu pulang kampung? Otoritarianisme memang dapat dipastikan: lahir pada hari kematian demokrasi. Tentu tidak mudah menentukan secara pasti tanggalnya. Karena itu, penting menelisik masa transisi menuju otoritarianisme – Reotoritarianisasi. Serta, hal ihwalnya:
Siapakah aktor utama dalam proses itu? Militer sebagai institusi layak diabaikan. Apakah militer yang disipilkan peninggalan masa sebelumnya masih memainkan peran signifikan?
Bagaimana membuktikan: fatwa *Cara Kerja Dunia* -nya Chomsky, benar adanya. Dimana titik-titik temu penyetubuhan korporasi dengan otoritarianisme?
Bagaimana dunia internasional memainkan peran dalam proses itu? Apakah makna dunia internasional itu? Pijakannya ideologi atau tanah yang mengandung migas dan mineral?
Otoritarianisme memang tak pernah ramah. Lalu, bagaimana pola pendayagunaan aparatur represi yang memonopoli alat-alat kekerasan? Adakah cara-cara baru menghilangkan orang?
Bagaimana memahami keberadaan Parpol sebagai prima prinsipa demokrasi? Apakah mereka berbalik menjadi penganjur otoritarianisme?
Apakah fenomena domestifikasi demokrasi atau perluasan urusan domestik sehingga ekuivalen dengan demokrasi menjadi tanda umum otoritarianisme, ataukah ciri khas Indonesia?
Apakah fenomena ‘anak perempuan’ yang mengiringi *gelombang ketiga* -nya Huntington, juga berlaku dalam transisi menuju otoritarianisme?
Juga, bagaimana peran Masyarakat Sipil (MS) dalam reotoritarianisasi? Bila, redemokratisasi ditandai dengan kuat oleh keberadaan MS yang terorganisasi dalam NGO. Apakah format gerakan MS pro otoritarianisme?
Cukupkah format itu menjelaskan pergeseran MS sebagai basis demokrasi menjadi basis otoritarianisme?
Inikah otoritarianisme berbasis kerakyatan?
Apakah konsep kooptasi masih berlaku? Adakah yang khas dari reotoritarianisasi ini?: Lembaga survey, buzzeRp, Mahkamah Konstitusi atau, mesin hitung KPU.
Kita serahkan semua perkara itu kepada ahlinya.
Komentar