by M Rizal Fadillah
(Pemerhati Politik)
TANDA– tanda bakal bangrut dan menjadi proyek gagal semakin dekat. Mahkamah Agung baru saja memutuskan mengabulkan Judicial Review Perpres No 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Ini artinya kenaikan iuran 100 persen setiap kelas per 1 Januari 2020 dibatalkan. Kabar gembira bagi rakyat dan kabar duka bagi pemerintah.
Perpres 75 tahun 2019 yang menjadi dasar kenaikan tarif ditandatangani Presiden Jokowi tanggal 24 Oktober 2019. MA berpandangan Perpres tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Gugatan dilayangkan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah yang keberatan atas kenaikan drastis tarif tersebut.
Sejak awal memang program BPJS Kesehatan kontroversial dan seperti “asal kepikir lalu laksanakan”. Lebih kuat pencitraan sebagai program kerakyatan. Perhitungan dan pengelolaan acak-acakan. Akibatnya alih alih badan ini untung malahan rugi dan berhutang besar ke banyak pihak termasuk Rumah Sakit. Kontroversi antara asuransi dan jaminan sosial menimbulkan jender tak jelas. Bahkan terkesan sebagai “pajak” yang bisa dikejar dan dipaksakan.
Konsekuensi dari Putusan MA tanggal 27 Februari 2020 ini adalah, Pertama, Pemerintah harus mengembalikan “kelebihan pembayaran” peserta BPJS yang telah membayar kenaikan terhitung 1 Januari 2020 bahkan terjadi “penyelundupan” sistem dimana telah ada yang harus membayar kenaikan sebelum 1 Januari 2020.
Kedua, Pemerintah mengevaluasi kelanjutan program BPJS Kesehatan karena solusi satu satunya dari kekacauan dana hingga hutang bertumpuk tersebut adalah hanya dengan kenaikan tarif.
Ketiga, khusus kenaikan tarif kelas III yang dilakukan tidak berdasar kesepakatan dengan Komisi IX DPR RI mesti dipertanggungjawabkan. Ini dapat dikategorikan “penghianatan politik”.
Keempat, asuransi lain di luar kesehatan perlu dikaji ulang pula, sebab telah terindikasi penyimpangan keuangan oleh Pemerintah terhadap lembaga asuransi seperti Asabri dan Taspen.
Kelima, defisit hingga tahun 2019 sebesar 32 triliun sulit untuk diatasi. Suntikan 13,5 triliun bisa ditarik kembali oleh Menkeu dan ini artinya BPJS Kesehatan mengalami “decaying”. Busuk dan mati perlahan.
Jika BPJS Kesehatan ambruk dan dibubarkan, maka pertanggung jawaban sosial dan politik harus dilakukan. Bagaimana nasib dana publik yang pasti bernilai trilyunan ini mesti dikembalikan atau dialihkan. Ini problem besar nasional.
Jadi bersamaan dengan kegagalan dan penyimpangan di “paket” Jiwasraya, Asabri, Kereta Cepat, Krakatau Steel, Pertamina, Garuda, hingga BPJS maka nampaknya pilihan rasional adalah mundurnya Menteri Keuangan dan Menteri BUMN. Jika Menteri ini “sakit perut” sudah dipastikan juga berefek domino. Artinya berujung pada posisi Presiden yang gagal secara nyata. Terlalu berat tekanan dari berbagai kasus. Baiknya Presiden pun mundur dengan “segala hormat dan permintaan maaf” pada rakyat.
Bila tetap “maju terus pantang mundur” maka berlaku sunnatullah yaitu turun dengan paksa. Dan model begini adalah pengulangan sejarah bagi rezim yang awalnya baik dan sederhana berakhir dengan zalim dan otoriter. Korupsi yang membengkak dan membuat uang negara semakin “cekak”.
Bandung, 12 Maret 2020
Komentar