Apa Langkah di Sektor Energi Pasca Covid-19? Ini Pandangan METI

TILIK.id, Jakarta — Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menyampaikan padangan dan konsep recovery di bidang energi pasca pandemi Covid-19. Lewat paper yang disampaikan Ketua Umumnya, Dr Ir Surya Darma, METI mengemukakan dampak wabah Covid-19 dan bagaimana antisipasi ke depan.

Menurut Surya Darma, wabah Covid-19 telah menciprakan kondisi-kondisi buruk bagi perekonomian, energi dan energi terbarukan.

Seperti pertumbuhan ekonomi yang menurun, bahkan resesi akibat Work for Home (WFH), dll. Pertumbuhan ekonomi dunia akan tumbuh 2.7 persen pada 2020 dan OCED (1,4 sampai -2.4 persen pada 2020.

Prediksi pertumbuhan setelah Covid-19 versi IMF dan WEO berkisar -4.2 persen, sedangkan Uni Erop -2.2 persen. Indonesia pada 2020 pasca Covid-19 tumbuh 2,3 persen sampai -0,4 persen.

“Moody menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia masih termasuk yang terbaik di Asia Tenggara,” kata Surya Darma melalui papernya yang diterima TILIK, Kamis (14/5/2020).

Dikatakan, sasaran pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,3 persen dalam APBN 2020. Penyusutan kegiatan berpengaruh pada sektor pariwisata, (termasuk perhotelan, dsb.), sektor transportasi, manufaktur, konstruksi, dst.

“Karena dibatasinya pergerakan manusia, maka sektor transportasi sangat terpukul, baik transportasi darat, udara, maupun laut,” tambahnya.

Menyusutnya kegiatan transportasi, berarti pula menurunnya permintaan akan bahan bakar/energi: khususnya BBM, yang dibutuhkan untuk menggerakkan kendaraan, pesawat terbang dan kapal-kapal yang diproduksi memanfaatkan bahan-bahan yang dihasilkan sektor pertambangan.

“Namun tidak semua sektor ekonomi akan negatif, bahkan sebaliknya, ada beberapa sektor yang tumbuh dalam situasi krisis akibat serangan Covid-19,” kata Surya Darma.

Sektor-sektor tersebut seperti e-commerce, usaha-usaha di bidang teknologi informasi dan komunikasi, jasa pengiriman/delivery, serta industry kesehatan.

“Manusia tetap perlu makan, karena itu sektor pertanian, meskipun tidak tumbuh cepat, paling tidak, tidak terpuruk, walaupun restoran mati,” urainya.

BACA JUGA :  Berlatar Gemerlap Kilang Pertamina, Wisata Malam Kutawaru Semakin Bercahaya

Di bidang ekonomi dan energi, Surya Darma menghitung, ada beberapa sektor yang berpotensi ‘kalah’. Sebutlah seperti sektor pariwisata, penerbangan, pelayaran, otomotif, konstruksi, manufaktur, jasa keuangan, pendidikan, dan minyak dan gas bumi. Industri Tekstil, UMKM (krisis 1998, sebagai penyelamat).

Yang berpotensi menang, kata Surya Darma lagi, sektor jasa pelayanan kesehatan, pemrosesan dan penjualan makanan/minuman, alat-alat pribadi dan kesehatan teknologi informasi dan komunikasi. perdagangan secara on-line,
dan sektor pertanian.

“Dalam kajian EFC (Economic & Finance Consulting) – Crisis Covid, Permintaan (demand), harga, dan pasokan (supply) mengakibatkan penundaan pembangunan proyek-proyek yang akan dilakukan, keuangan perusahaan energi yang terganggu,” beber Surya Darma.

Minyak bumi, menurutnya, cukup ekstrem secara harga dan permintaan, gas bumi, kelistrikan, batubara, energi terbarukan dan seterusnya akan terdampak besar.

“Sektor pertambangan juga terpengaruh karena produknya untuk industri dan konstruksi berkurang. Permintaan BBM drastis turun antara 10-12 juta barrel per hari. Kemungkinan normal pada triwulan ke 3,” katanya.

Migas tidak bisa diturunkan cepat produksinya, karena itu berdampak pada stock berlimpah, harga turun ke titik nol.

Terhadap bidang energi di era Covid-19 ini, Pemakaian listrik di sektor rumah tangga, meningkat. Namun perkantoran, mall, pusat perbelanjaan lainnya (services), maupun di industri manufaktur yang biasanya mengkonsumsi listrik dalam jumlah besar, cenderung turun drastis.

“Secara total, permintaan atau konsumsi listrik menurun. Di dunia, Itali -27 persen, Spanyol -21 persen, Belgia -17 persen, Prancis -16 persen, Austria -16 persen, Portugal -15 persen, UK -14 persen. Germany -8 persen. Mereka juga mematikan pembangkit PLTU karena sudah tua, besar, dan transisi ke ET,” kata Surya Darma.

BACA JUGA :  Sandiaga Uno di Diskusi MN FORHATI: Kembangkan Bisnis Berbasis Silaturahmi

Menurut dia, penundaan pembangunan pembangkit skala besar yang baru, penundaan PPA, dll, merupakan dampak negatif. Yang positif adalah turunnya emisi karbon (PLTU turun, ET naik) – PLTU turun 29 persen, Emisi karbon turun 20 persen, ET menjadi 46 persen. Permintaan energi di Eropa turun 10 persen, sedangkan di dalam negeri turun antara 2-10 persen di man Jawa 10 persen.

Dampak Covid pada sistem kelistrikan, terjadi penurunan beban pada sistem Jawa – Bali, kenaikan BPP secara otomatis, Pengurangan produksi listrik (kWh) dan pembatasan jumlah pembangkit yang beroperasi.

Di dalam negeri, usia teknis 25 sampai 30 tahun pada PLTU Suralaya Unit 1 – 4 dan PLTU Paiton PJB 1 dan 2 lebih 25 tahun. Efisiensi bahan bakar yang diukur dengan Net Plant Heat Rate. Pembangkit akan semakin efisien bila kapasitas besar pembangkit FTP I <300 MW dan PLTU dengan CF rendah.

“Perhitungan Menteri ESDM pada 31 Januari 2020, ada 23 buah PLTU (5665 MW) dan 46 buah PLTGU di 5 Provinsi yang sudah tua, PLTD 2246 unit dengan kapasitas 1777+1800 MW, bisa digantikan dengan ET,” katanya.

Di dunia, menurut Surya Darma, Kapasitas PLTU di China (2015, 158 GW) turun menjadi 5 GW, India (2010,139 GW) turun menjadi 3 GW, Amerika Serikat pemberhentian operasi PLTU yang terus meningkat.

“Indikasi adanya hambatan politik dan ekonomi yang menguat termasuk hambatan finansial dari institusi perbankan global. Ada rencana phase-out PLTU di 31 negara. China, Korea Selatan dan Jepang masih membuka peluang pendanaan proyek-proyek PLTU,” katanya lagi.

Beberapa bank dari negara tersebut juga sudah menyatakan komitmen untuk tidak memberikan pendanaan untuk proyek fosil. Seperti Mizuho Bank, Sumitomo Mitsui Financial Group (SMFG) dan Mitsubishi UFJ Financial Group.

BACA JUGA :  Bank Danamon Dorong UMKM Tetap Terkendali di Masa Covid-19

“Exim Bank Korea Selatan yang menunda keputusan mendukung proyek-proyek fosil di luar Korea Selatan karena Doo San, kontraktor EPC yang aktif di India dan Indonesia,” katanya.

Dikatakan, Pemerintah telah mengumumkan darurat kesehatan nasional yang berlaku hingga tanggal 29 Mei 2020, namun mungkin diperpanjang apabila jumlah kasus belum menunjukkan perlambatan.

Akibat lanjutannya, perusahaan yang terpaksa melakukan pengurangan karyawan, perusahaan menghentikan kegiatan usaha, penerapan PSBB membatasi ruang gerak orang untuk membatasi penyebaran virus corona. Perekonomian sangat terpukul.

“Penjualan listrik PLN menurun, terutama sektor bisnis dan industry, meskipun meningkat di sektor residensial. Di sisi lain PLN tetap harus memenuhi kontrak TOP, khususnya untuk PLTU-PLTU besar,” ujarnya.

Bagaimana energi terbarukan (ET) pasca Covid-19? Surya Darma mengatakan tujuan utama adalah fokus pada penyediaan lapangan kerja baru untuk masyarakat setempat dengan cara membangun pembangkit listrik berbasis ET. Pembangunan satu PLTA membutuhkan 300 – 500 orang selama masa pembangunan dengan lama waktu 3 – 4 tahun .

“Peningkatan perekonomian masyarakat melalui tumbuhnya kesempatan masyarakat untuk terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pembangunan atau dalam supply chain pembangkit,” ujarnya.

PLTBm yang dibangun di Mentawai dengan dukungan dari MCA-I, tidak hanya mampu mengalirkan listrik di beberapa desa, tetapi juga memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat yang menjadi penyedia bambu sebagai feedstock untuk PLTBm tersebut.

“Juga penurunan BPP PLN melalui penggantian PLTD dengan pembangkit ET, seperti PLTS, PLTM, PLTBm atau pembangkit dengan teknologi lainnya. Dana pemerintah untuk penanganan Covid-19 dimanfaatkan untuk pembangunan pembangkit ETdi daerah untuk meningkatkan rasio elektrifikasi,” pungkas Surya Darma. (lms)

Komentar