Oleh : Zulkifli S Ekomei
BADAN Anggaran (Banggar) DPR RI menerima dan menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 ditetapkan menjadi undang-undang. Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah mengetok palu tanda menyetujui Perppu Nomor 1 tahun 2020 menjadi undang-undang dalam rapat kerja secara virtual dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta, Senin (4/5) lalu.
Keputusan yang mengagetkan buat sebagian orang, karena tidak pernah ada dalam sejarah DPR, keputusan diambil secara virtual, karena kehadiran anggota sangat berpengaruh apakah suatu keputusan diambil sudah memenuhi quorum atau tidak, sehingga memenuhi syarat keabsahan suatu keputusan.
Bagi yang mengikuti perjalanan DPR-MPR paska reformasi tentu tidak kaget, karena sejak saat itu terjadi banyak pelanggaran yang dilakukan oleh DPR-MPR, diawali dengan pelanggaran yang disebut banyak pihak sebagai Kudeta Konstitusi terhadap UUD’45 yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 sehingga diberlakukannya UUD’45 palsu yang ditetapkan oleh MPR dengan Ketetapan (tanpa nomor) tanggal 10 Agustus 2002.
Negara Republik Indonesia segera berubah bentuk tanpa disadari oleh rakyat, dari Negara Kebangsaan menjadi Negara Korporasi, dari Negara Hukum menjadi Negara Kekuasaan, dari Negara Kesatuan menjadi Negara Semi Federal, dari Sistem Presidensiil menjadi Sistem Semi Parlementer.
Yang paling mendasar adalah berubahnya posisi MPR dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara tinggi biasa sejajar dengan lembaga negara lain, sebagai pelaksana kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai. MPR hidup tapi tidak lagi punya roh, bagai “zombie”, hanya menjalankan fungsi seremonial saja. Rakyat tidak lagi punya perwakilan dengan hilangnya utusan daerah dan utusan golongan, semua anggota ditentukan oleh partai-partai yang terbukti bersifat oligarki.
Kembali pada masalah Perppu Covid-19, maka DPR akan segera mengalami nasib yang sama dengan MPR, DPR akan kehilangan fungsi dan hak budget karena pelimpahan kekuasaan anggaran, ekonomi dan keuangan tanpa batas kepada eksekutif, DPR juga kehilangan fungsi dan hak legislasi, karena eksekutif akan selalu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang(PERPPU) walau tidak ada keadaan darurat yang memaksa, secara sepihak tanpa melibatkan DPR.
Keadaan ini bisa terjadi karena yang duduk menjadi anggota DPR-MPR adalah para oportunis politik, para pemburu rente juga para pesohor yang hanya bermodal popularitas, seorang anggota DPR-MPR bisa masuk Senayan dengan menggelontorkan uang sebesar Rp. 30 M, atas bantuan keuangan dari para bandar yang siap me”remote-control” anggota DPR-MPR yang dibiayainya untuk melakukan apa saja demi kepentingannya.
Jika sudah demikian, serupa macan ompong, maka DPR hanya menjadi lembaga yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa, selain hanya menghabiskan anggaran karena fasilitasnya dan lembaga tempat para makelar proyek dan koruptor, yang merancang korupsinya sejak penyusunan anggaran. Denga kata lain DPR yang dahulu sangat garang kalau ada kata “Bubarkan DPR”, sekarang karena kebodohan dan niatnya yang jelek, malah bubar dengan sendirinya tanpa mereka sadari.
Pada Senin (11/5/2020) mendatang Komisi VII DPR RI justru telah mengagendakan rapat kerja pengambilan keputusan Rancangan Undang Undang Mineral dan Batubara (Minerba), Rapat diadakan secara protokol waspada Covid-19.
Komisi VII antara lain mengudang Menteri ESDM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Perindustrian dan Menteri Keuangan.
Adanya agenda Komisi VII DPR RI tersebut terungkap dalam salinan surat undangan kepada seluruh anggota Komisi VII Rabu (6/5/2020). Terkait agenda Komisi VII ini, cepatnya pembahasan RUU Minerba di DPR menjadi indikasi benarnya pernyataan Najwa Sihab baru-baru ini.
Apa yang dilihat aneh oleh Najwa adalah di saat pandemi Covid-19, Senayan malah lebih prioritas menelorkan kebijakan yang tak terkait Covid-19.
Contoh nyatanya adalah bagaimana begitu kencangnya Panja RUU Minerba ingin mengesahkan menjadi UU. Belakangan dilakukan kegiatan rapat kerja untuk persiapan pengesahan RUU Minerba menjadi Undang-Undang pada 11 Mei 2020 itu, patut diduga hanya untuk mengamodir kepentingan taipan tambang.
Maka, tak mengherankan jika menyimak kata-kata Ketua MPR Bambang Soesatyo beberapa bulan yang lalu, bahwa para pemodal telah menguasai pemilik parpol, sehingga tak perlu heran melihat kenyataan apa yang terjadi di Senayan saat ini.
Kejanggalan pembahasan RUU Minerba oleh DPR kali ini juga terlihat dari rentang waktu proses yang sangat cepat. Bagaimana mungkin 938 daftar inventaris masalah (DIM,red) Minerba bisa diselesaikan dalam sembilan hari. Dibentuk Panja RUU 13 Februari 2020. Lalu pada akhir Februari 2020 sudah selesai pembahasannya. Kok kesannya seperti terburu-buru dikejar target.
Melihat kenyataan yang ada sampai saat ini, ternyata UU Minerba Nomor 4 tahun 2009 itu sudah sangat ideologis dan konstitusional, sehingga tidak ada hal yang dijadikan alasan mendesak untuk membahas RUU Minerba ini oleh Panja di DPR saat ini, termasuk membahas kluster Pertambangan di Omnibus Law, kecuali hanya untuk kepentingan tujuh taipan batubara.
Jadi apa yang disampaikan Najwa Sihab dalam video tersebut sangat patut menjadi renungan Komisi VII supaya bisa bertobat kembali ke jalan yang lurus di saat bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan. Bukan malah marah-marah dan mengancam membongkar aib Najwa.
Kritik Najwa adalah ekpresi suara Rakyat di saat Negara tertimpa musibah. Dan DPR mesti apresiatif atau berkaca diri atas kritikan-kritikan itu.
Tapi ya begitulah… namanya tipis kuping, tak tahan kritikan. Entah kedunguan apa yang merasuki lembaga yang konon mewakili rakyat ini. Kejadian soal pengambilalihan wewenang oleh eksekutif di atas adalah bukti nyata bahwa DPR Tanpa Sadar Telah Membubarkan Diri Mereka Sendiri.
Nauzubillah….!
Komentar