Mbegendeng dan Perlawanan terhadap Kepalsuan Negara


Oleh: M.Isa Ansori
(Dosen dan Pegiat Sosial, Wakil Ketua ICMI Jatim)

DALAM kebudayaan Jawa, dikenal istilah “mbegendeng”. Bukan sekadar nekat atau ugal-ugalan, tapi karakter yang menunjukkan kegigihan, keberanian tanpa kompromi, dan keberanian menghadapi kuasa—meski harus menabrak kenyamanan dan ketakutan umum.

Watak ini kini menjelma dalam wajah-wajah publik yang berani membuka satu dari banyak borok kekuasaan: dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo.

Selama menjabat sebagai presiden, Jokowi membangun citra sebagai sosok merakyat. Namun, di balik kesederhanaan itu, tersimpan rekam jejak politik yang kerap menabrak konstitusi, etika bernegara, bahkan kadang menginjak akal sehat rakyat.

Dengan dukungan para buzzer yang menjilat tanpa reserve, narasi kekuasaan dibentengi oleh pasukan digital yang siap membungkam siapa saja yang mengkritik.

Namun, ilmu kekuasaan itu ternyata tak selamanya digdaya. Dalam kasus dugaan ijazah palsu, watak mbegendeng muncul sebagai ancaman nyata terhadap narasi besar kekuasaan.

Nama-nama seperti Roy Suryo, dr. Tifa, Doktor Rismon, dan Achmad Khozinuddin hadir ke permukaan. Ditambah Prof. Egi Sudjana bersama TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis), mereka tampil bukan sebagai politisi elite, tetapi sebagai warga yang menolak tunduk pada ketidakjujuran.

BACA JUGA :  HRS Diborgol. Lalu?

Roy Suryo tampil dengan gaya slonong dan slengekan, membongkar celah-celah yang selama ini dikunci oleh narasi resmi. dr. Tifa membawa keberanian intelektual sebagai seorang dokter, dengan analisis dan suara lantang yang menyentuh nurani. Doktor Rismon hadir dengan gaya nggembel tapi cerdas, tak kenal protokol dan menyerang dengan argumen fakta lapangan.

Sementara itu, Achmad Khozinuddin, dengan latar belakang hukum dan logika yang tajam, memainkan strategi argumentatif yang mampu menjebak kuasa dalam permainan hukum yang selama ini mereka kuasai. Bukan sekadar menyerang, Khozinuddin mampu memancing jebakan logis, hingga pihak lawan terseret ke dalam inkonsistensinya sendiri.

Lalu ada Prof. Egi Sudjana, yang bersama TPUA tampil heroik dan lantang. Gaya aktivis yang masih menyala dalam dirinya menuntun masuk ke jantung pertahanan kekuasaan. Ia tak gentar menghadapi pengadilan dan aparat, bahkan dengan tenang melontarkan argumen yang menggoyahkan landasan legitimasi narasi resmi.

Dan tentu saja, Gus Nur dan Bambang Tri, dua figur yang tanpa tedeng aling-aling membuka kedok yang menurut mereka selama ini ditutup-tutupi. Mereka hadir bukan sebagai pakar, tapi sebagai suara rakyat marah yang menolak ditipu.

BACA JUGA :  Relawan Anies Siap Padati GBK

Apa yang dilakukan oleh Roy Suryo dkk. mengingatkan kita pada satu tokoh penting bangsa: KH Agus Salim. Suatu ketika, ia dihina oleh kaum komunis (PKI) dan disamakan dengan kambing karena penampilannya yang lusuh. Namun, jawaban beliau menohok dan membungkam:

“Saya tidak tersinggung, sebab kambing pun lebih berguna daripada manusia yang hanya bisa menghina dan tidak memberi manfaat bagi bangsa.”

Inilah gaya mbegendeng cerdas, jawaban yang tidak hanya menohok, tapi juga menyadarkan.

Sama halnya hari ini. Dalam suasana politik yang penuh pencitraan dan manipulasi, rakyat justru mulai menaruh harapan pada mereka yang tampil tanpa beban kuasa, tapi konsisten membongkar kepalsuan.

Watak mbegendeng bukan untuk membenci. Ia hadir sebagai antibodi sosial ketika kekuasaan terjebak dalam ilusi kebenaran. Ia adalah gaya oposisi moral—yang terkadang tak mengenakan jas, tak memegang jabatan, tetapi tetap punya nurani dan keberanian.

Ketika kekuasaan gagal menjawab dengan data, gagal membuktikan keabsahan, dan justru membentengi diri dengan buzzer serta ancaman hukum, maka semakin kuat pula publik mendengar mereka yang mbegendeng. Mereka tidak sedang mencari panggung. Mereka justru sedang membuka panggung kebenaran, meski harus berdiri sendirian.

BACA JUGA :  Kasus Syahrul Yasin Limpo Rekayasa?

Dalam demokrasi, kadang kekuasaan tak jatuh karena oposisi formal, tapi karena kekuatan rakyat yang jujur dan berani. Watak mbegendeng telah membuktikan satu hal: bahwa kebenaran, jika diperjuangkan terus-menerus, bisa membongkar narasi yang dibangun bertahun-tahun.

Dan sejarah akan mencatat bukan hanya siapa yang berkuasa, tapi juga siapa yang berani melawan kebohongan.

Surabaya, 23 Juli 2025

Komentar