Ketika Negara Abai Standar Moral, MK Garda Terakhir Penyelamat Bangsa


Oleh: Isa Ansori
(Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya)

DALAM Social Contract Theory dinyatakan bahwa negara dibentuk berdasarkan kesepakatan rakyat. Kesepakatan ini tentu saja didasari oleh nilai-nilai moral yang dianut bersama. Negara yang mengabaikan standar moral bisa dianggap telah melanggar kesepakatan tersebut. Dalam teori ini negara yang tidak bermoral bisa dianggap telah mengingkari kesepakatan yang menjadi dasar berdirinya.

Hal yang sama dikatakan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya egois dan haus kekuasaan. Tanpa adanya aturan moral yang dipaksakan, akan terjadi “perang semua melawan semua” (bellum omnium contra omnes).

Negara hadir sebagai entitas yang menegakkan aturan dan tatanan sosial, yang bisa dilihat sebagai cerminan dari standar moral yang disepakati bersama. Negara tanpa standar moral, menurut Hobbes, akan runtuh karena ketiadaan aturan yang menjaga ketertiban.

Oleh sebab itulah dalam pandangan Max Weber (1864 – 1920) pentingnya pemimpin yang ideal. Pemimpin yang ideal dalam kepemimpinan negara adalah kepemimpinan yang memperhatikan standar moral dn etika. Tanpa etika dan tanggung jawab moral, pemimpin bisa menjalankan kekuasaan secara otoriter dan korup.

Demokrasi adalah salah satu pilar membangun negara, dalam tatanan demokorasi dimana penghargaan terhadap suara rakyat adalah sebuah keharusan. Rakyat diberi kebebasan menentukan dirinya dalam memilih pemimpin, sehingga pemimpin yag dihasilkan kelak adalah pemimpin yang mendapatkan legitimasi formal dari rakyat.

Suara rakyat, suara Tuhan, adalah sebuah pengertian bahwa suara rakyat adalah suara nurani dan kebenaran, karena dihasilkan secara sadar, tanpa paksaan dan dibimbing oleh nurani dan akal sehat. Sehingga dalam menegakkan demokrasi tidak hanya bicara hasil tapi juga bicara proses bagaimana memproleh legitimasi rakyat. Salah satu dari keduanya bila dilanggar maka akan menghasilkan demokrasi yang cacat, demokrasi yang hanya akan menimbulkan kegaduhan.

BACA JUGA :  Muswil KKDB Jabodetabek Digelar Hari Ini, Muncul Sejumlah Kandidat Ketua

Sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia diikat oleh apa yang menjadi cita–cita para pendiri bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alenia 4. Negara didirikan untuk :

1. Melindungi Bangsa dan Negara

Salah satu tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Berdasarkan tujuan itu, maka negara Indonesia perlu melindungi setiap aspek di dalamnya, mulai dari rakyat, budaya, kekayaan alam, hingga mempertahankan nilai-nilai bangsa. Negara juga perlu melindungi dan memenuhi setiap hak warga negara berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.

2. Memajukan Kesejahteraan Umum

Tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4 berikutnya adalah memajukan kesejahteraan umum. Ada tiga unsur yang menjadi dasar kesejahteraan negara Indonesia. Adapun beberapa unsur yang dimaksud adalah pakaian, makanan, serta tempat tinggal. Selama ketiga unsur tersebut tercukupi, maka masyarakat bisa memperoleh kesejahteraan.

3. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4 selanjutnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini, setiap warga negara Indonesia perlu memperoleh pendidikan yang layak. Bukan hanya layak, tetapi pendidikan yang diperoleh juga harus berkualitas.

4. Melaksanakan Ketertiban Dunia

Tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4 yang terakhir adalah melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam hal ini, negara Indonesia perlu mewujudkan adanya perdamaian baik di dalam maupun luar negara.

BACA JUGA :  Golkar Ingin Rangkul Tokoh Kader Lama untuk Bangun Konsolidasi

Ada tujuh nilai kebangsaan yang terkandung dalam UUD 1945. Nilai itu adalah nilai religius, nilai kemanusiaan, nilai produktivitas, nilai keseimbangan, nilai demokrasi, nilai kesamaan derajat, dan nilai ketaatan hukum.  Nilai–nilai yang terkandung tersebut adalah sebuah keharusan yang kita pakai dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga pelanggaran terhadap nilai–nilai tersebut bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap UUD 1945.

Pilpres 2024 adalah potret pilpres yang jauh dari standar moral bernegara. Prosesnya dalam berdemokrasi banyak mengalami kecacatan sehingga hasil pilpres dianggap tidak sah. Sehingga saat ini Pilpres 2024 masih mengalami sengketa di MK. Batapa tidak, praktik dalam berdemokrasi telah diwarnai dengan tindakan–tindakan curang menggunakan legitimasi negara, agar terlihat seolah–olah sesuai.

Tindakan itu dimulai dari dipilihnya pejabat daerah yang ditunjuk, cawe–cawe presiden dalam hal penentuan calon–calon yang didukung, intimidasi terhadap lawan politik melalui instrument hukum dan aparat hukum, meloloskan calon yang didukung presiden melalui MK dengan menabrak aturan yang ada melalui legitimasi KKN di MK, penggunaan dana Bansos untuk mempengaruhi pemilih terhadap calon yang didukung presiden dan istana, bahkan dengan telanjang Presiden bagi–bagi sembako di depan istana yang mengesankan bahwa bansos adalah pemberian presiden, sebagaimana yang dilakukan oleh Zulkifli Hasan, Mendag, dan Bahlil, Meneteri Investasi dan BKPM, yang terang–terangan bahwa Bansos adalah pemberian Jokowi. Bahkan yang lebih parah lagi dugaan konspirasi dan kejahatan pemilu yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu.

BACA JUGA :  Nah Loh, Jumlah Kendaraan Keluar Jakarta Meningkat Jelang Larangan Mudik

Meski sudah diingatkan berkali-kali dan dilaporkan tetntang potensi kecurangan, namun KPU dan Bawaslu tetap bergeming dan tidak melakukan apa–apa dalam merespon laporan dugaan potensi kecurangan tersebut.

Dalam bernegara kita butuh pemimpin yang kuat, pemimpin yang dipercaya dan mendapati legitimasi rakyat. Pemimpin yang seperti itu dihasilkan dari proses demokrasi yang baik dan tidak cacat. Demokrasi subtantif yang tidak hanya bicara hasil, tapi juga bicara proses. Prosesnya harus benar, tidak melanggar nilai-nilai demokrasi sebagaimana yang diamanahkan oleh UUD 1945 dan universalisme.

Kita khawatir bahwa hasil pilpres yang diwarnai dengan pelanggaran moral dan nilai-nilai demokrasi ini akan melahirkan pemimpin curang, pemimpin bohong dan pemimpin yang menghalalkan segala cara demi mempertahankan kekuasaannya dan anti kritik serta anti demokrasi. Yang pada akhirnya Suara Rakyat adalah Suara Tuhan hanyalah jargon yang bisa dibeli dan melegitimasi model pemimpin culas tersebut.

Kita berharap MK yang sudah belepotan dan ternodai akibat ulah KKN ketua yang sudah dinon aktifkan, Anwar Usman, bangkit untuk menebus kesalahan tersebut dan mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan demokrasi.

Kita sematkan harapan besar kepada mereka, para hakim konstitusi yang saat ini sedang menangani sengketa pilpres untuk mengembalikan marwah demokrasi dan masa depan Indonesia yang baik dan tertib menjalankan UUD 1945.

Semoga saja mereka para hakim di mahkamah kosnstitusi adalah para hakim yang menerapkan keadilan sebagaimana pesan konstitusi bahwa para hakim adalah wakil Tuhan di bumi dalam memberi rasa keadilan bagi semua.

Surabaya,12 April 2024

Komentar