Kesadaran Muhammadiyah Ketika Presiden Melanggar Etik Bernegara


Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari

MUHAMMADYAH meminta presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mecabut pernyataan yang sangat meresahkan masyarakat terkait dengan bolehnya presiden berkampanye.

Hal ini bukan hanya mengoyak demokrasi tetapi melahirkan kekisruhan. Pernyataan presiden ini bukan hanya melanggar etika bernegara tetapi memporakporandakan tatanan yang selama ini terjaga.

Muhammadiyah menilai bahwa pernyataan Presiden terkesan bahwa kebenaran yang harus didukung atau setidaknya tidak ditolak.

Desakan Muhammadiyah ini disampaikan oleh Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

Pelanggaran Etika Publik

Pernyataan Jokowi yang membolehkan dan membenarkan dirinya berkampanye disorot Muhammadiyah. Hal ini terkait dengan pernyataan Jokowi yang dilansir berbagai media.

Di antara pernyataan itu berbunyi: “Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Presiden itu boleh loh kampanye, boleh lho memihak,” Jokowi membenarkan pernyataan itu dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan mengutip ketentuan Pasal 299 dan Pasal 281.

“Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh, Boleh. Menteri juga boleh,” kata Jokowi.

Atas pernyataan presiden di atas maka Muhammadiyah melontarkan desakan kepada presiden untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan yang disebutkan dalam beberapa butir berikut:

Pertama, mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa Presiden boleh kampanye dan boleh berpihak.

BACA JUGA :  MENYESATKAN

Kedua, meminta kepada Presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara.

Ketiga, presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih dalam penyelenggaraan Pemilu yang tensinya semakin meninggi.

Keempat, meminta kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk meningkatkan sensitivitasnya dalam melakukan pengawasan, terlebih terhadap dugaan digunakannya fasilitas negara (baik langsung maupun tidak langsung) untuk mendukung salah satu kontestan Pemilu.

Kelima, menuntut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperkuat peran pengawasan penyelenggaraan Pemilu, utamanya terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pemenangan satu kontestan tertentu.

Keenam, meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencatat setiap perilaku penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu yang terindikasi ada kecurangan untuk dijadikan sebagai bahan/referensi memutus perselisihan hasil Pemilu.

Desakan Muhammadiyah sebenarnya sangat komprehensif untuk mendorong adanya kesadaran bernegara, dengan menggunakan etika, yang dimulai dari presiden.

Ketika presiden sudah tertib dalam mematuhi etika bernegara, maka akan diikuti oleh Bawaslu, DPR, MK, dan para penyelenggara pemilu lainnya.

Dari berbagai butir penyataan ini menegaskan bahwa pelanggaran etika bernegara akan melahirkan kerusakan serius dimana penyelenggara negara telah gegabah menginjak-injak tatanan politik yang seharusnya dijalankannya.

BACA JUGA :  Hanya Bisa Bilang, “PKS is The Best”

Tidak salah bila Muhammaiyah mengingatkan kepada presiden bahwa pembenaran atas kampanye presiden atas dirinya, berpotensi besar memicu polemik. Bukan tidak mungkin akan menciptakan kekisruhan di Tengah masyarakat.

Poin pelanggaran etika bernegara menarik untuk ditekankan agar semua pihak yang melakukan pelanggaran tidak kebablasan dalam pelanggaran etika.

Pernyataan Jokowi di atas seolah membenarkan “Politik Cawe-Cawe” yang selama ini telah dilakukannya. Masyarakat pun resah dan menyatakan bahwa politik cawe-cawe ini tidak lain sebagai upaya untuk menegakkan politik dinasti di negeri ini.

Politik cawe-cawe presiden itu itu tidak lepas dari mimpi presiden untuk memenangkan anaknya (Gibran) yang dicawapreskan melalui proses yang cacat. Dikatakan cacat karena menyelundupkan pasal ke dalam MK untuk memuluskan anaknya untuk lolos mencadi Cawapres.

Bolehnya kampanye presiden di atas seolah-olah ingin membenarkan langkah-langkah presiden sebelumnya untuk memuluskan Prabowo-Gibran sebagai penggantinya.

Mengumpulkan kepala daerah, lurah dan para pengusaha serta berbagai langkah pembagian sembako di setiap kampanya. Tekanan politik kepada berbagai pihak yang berpotensi mengalahkan Capres-Cawapresnya, juga dilakukan.

Bahkan adanya upaya sistematis menghalangi Pasangan Calon (Paslon) yang berpotensi mengalahakan dirinya juga dihadang dengan berbagai cara. Semua ini merupakan pelanggaran besar yang apabila dibiarkan akan menimbulkan kerusakan dalam mengelola negara.

BACA JUGA :  Haji dan Politik Identitas Global

Desakan Muhammadiyah tidak lain sebagai Upaya untuk menyadarkan Jokowi agar langkah-langkah politiknya tidak menjadikan dirinya blunder yang akan melahirkan kekisruhan dan merusak citra dirinya.

Di sisi lain, berbagai elemen yang seharusnya bisa bekerja secara maksimal justru tidak menunjukkan wibawanya sebagai penyelenggara Pemilu yang jujur dan adil.

KPU dan Bawaslu sebagai pihak resmi yang seharusnya menjalankan aturan agar Pemilu berlaku JURDIL dan masyarakat bisa menikmati kebebasan dalam berdemokrasi.

Namun apa yang terjadi justru sebaliknya, dimana para penyelenggara Pemilu, lembaga legislatif seperti DPR, lembaga Yudikatif seperti MK justru dimainkan oleh presiden untuk meloloskan keinginannya.

Apa yang dilakukan Muhammadiyah merupakan upaya strategis untuk menyelamatkan nilai-nilai etik yang telah diinja-injak oleh penyelenggara negara.

Muhammadiyah merupakan elemen yang memiliki kesadaran adanya pelanggaran etik, dan itu harus diikuti oleh ormas lain serta partai politik yang selama ini dipandang mabuk kekuasaan.

Sikap Muhammadiyah ini merupakan bentuk tanggung jawab keumatan dan kebangsaan untuk tetap menjaga nalar demokrasi yang diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia ini agar tidak diseret sesuka hati elite politik berdasarkan keinginan dan kepentingannya masing-masing.

Surabaya, 28 Januari 2024

Komentar