Air Mata Sepak Bola di Atas Gerobak Sepeda Es Cendol


by Geisz Chalifah

KETIKA Liga Indonesia masih bernama Liga Perserikatan dan masih amatir belum menjadi liga Profesional seperti saat ini, kesebelasan yang mewakilinyapun seluruhnya masih mengatas namakan Pemda. Saya selalu menonton pertandingan terutama bila Persija yang bertanding.

Berbekal uang seadanya kadang naik Bus dengan menumpang dan masuk stadion dengan meloncat pagar atau mengikuti bapak bapak yang ingin menonton agar bisa masuk dengan gratis.

Di Usia sepuluh atau sebelas tahun sekitar kelas 5 SD, saya menikmati Iswadi Idris, Anjas Asmara, Andi Lala, Sutan Harhara. Roni Paslah, Yudo Hadianto, Sofian Hadi, dll. Di PSMS ada Nobon, dan Parlin Siagian. Sementara Persebaya di bintangi oleh Abdul Kadir dan Yakub Sihasale. Persija di masa itu berulang kali menjuarai liga perserikatan ataupun PON.

Setiap selesai pertandingan kadang keluar pintu Senayan yang bercorak sama , saya salah pintu keluar, hingga akhirnya tersasar kemana mana. Namun anehnya rasa takut hampir tidak ada, semua terasa aman-aman saja. Tidak seperti saat sekarang, pertandingan sepak bola menjadi mencekam.

BACA JUGA :  Munas MUI Menantang Pandemi?

Bus Mayasari Bakti, Merantama, Pelita Mas Jaya adalah bus-bus yang melewati jalur Senen—Senayan. Bila bus itu tidak lewat karena kemalaman, maka pulangpun berjalan kaki sampai kerumah.

Dan ada pula seorang teman setia, yaitu seorang tukang es cendol berasal dari Medan. Setiap hari mangkal di depan rumah ibu saya. Bapak itu pendukung fanatik PSMS Medan. Dia berjualan es cendol dengan sepeda yang di sebelahnya dijadikan gerobak agar dua buah tong besar dari alumunium berisi es cendol bisa menempel di sepedanya.

Setiap hari di babak penyisihan selalu ada dua pertandingan bila PSMS Medan dan Persija bertanding di hari yang sama, maka pulang pun saya menumpang di grobak sepeda tukang es cendol itu. Kami tertawa tawa bersama-sama di jalan karena kedua team sama sama menang melawan team lainnya.

Kadang bapak itu bernyanyi sambil berpantun irama melayu Deli yang isi pantunnya menghebatkan Nobon maupun Parlin Siagian dan pemain PSMS lainnya. Sesekali dia menghibur saya dengan menyebut nama pemain Persija dalam isi pantunnya.

BACA JUGA :  Geisz Jawab Emanuel Ebenezer: Mana Buktinya Anies Pakai Politik Identitas?

Namun bila Persija menang melawan PSMS maka sepanjang jalan saya cuma berdiam saja khawatir diturunkan di tengah jalan.

Bertahun tahun setiap Liga Perserikatan digelar saya menikmati suasana itu bersama sama Bapak setengah baya penjual es cendol yang namanya saya sudah lupa itu.

Sampai pada waktu pra Olimpiade yang digelar di Senayan, PSSI melawan Korea Utara. Final pra Olimpiade berlangsung menegangkan. Lebih dari 120 ribu penonton memenuhi Gelora Senayan.

Kedudukan dari babak pertama hingga perpanjangan waktu tetap kosong kosong, hingga akhirnya dilangsungkan adu penalti. Di saat masih kelas dua SMP saat itu, saya berdoa sepanjang pertandingan. Bila bola terambil ke kaki pemain PSSI maka saya bergumam Alhamdulillah bila Korea menyerang maka saya berulang ulang bergumam, “jangan kasih masuk ya Allah.” Seluruh badan keluar keringat dingin dan ketegangan semakin menjadi-jadi.

Tibalah waktunya adu penalti. Seluruh doa untuk kemenangan Indonesia terucap sambil menutup mata bila pemain Korea menendang bola, dan berharap ketika membuka mata tembakannya tidak masuk. Sebaliknya berdoa sepenuh harap agar seluruh pemain PSSI dapat memasukkan bola ke gawang Korea Utara.

BACA JUGA :  Rocky De Plato dan Perubahan Sesungguhnya

Akhirnya Indonesia gagal melewati babak akhir dari penyisihan Olimpiade. Oyong Liza dan Anjas Asmara gagal memasukkan tendangan penalti ke gawang Korea.

Jakarta mulai sepi, hari menjelang tengah malam. Di atas gerobak sepeda di jalan raya Sudirman -Thamrin menuju Senen, saya tak bisa menghentikan air mata.

Bapak dari Medan penjual es cendol itu dengan setengah teriak mengeluarkan kepegelan hatinya, berkata pada saya:

“Nanti pada saat kau sudah besar, Indonesia akan berjaya di Piala Dunia”.

Sayangnya harapan teman saya, bapak tukang es cendol itu (mungkin sudah almarhum sekarang) setelah lebih dari 40 puluh tahun belum juga terwujud.
Bahkan persepakbolaan Indonesia semakin menyedihkan.

Komentar