Moshimo Ashita ga


Geisz Chalifa
h

SHINJUKU menjelang malam. Lampu-lampu mulai menyala.
Michiko Enomoto teman dari ISA Of Japan mengatakan ada taman cantik di sekitar sini biasanya ada live music.

Saya segera menghabiskan makanan dan minuman di resto yang menunya dipesan oleh Michiko dan menerangkan pada saya: Halal untuk kamu makan.

Kemudian mengikuti langkahnya menuju taman yang saya sudah lupa namanya, dibuat sedemikian rupa, tertata indah dan apik.

Sepanjang jalan di trotoar yang lebar itu, ribuan orang berjalan kaki secara cepat. Sudah menjadi pemandangan sehari – hari di Tokyo ribuan orang berlalalu lalang dengan langkah yang cepat.

Michiko menjelaskan setiap outlet yang kami lewati, barang – barang yang dijual termasuk layak dibeli ataupun tidak untuk oleh-oleh.

Program saya di Jepang menjelang berakhir, kurang dari seminggu kami semua akan kembali ke Indonesia.

Shinjuku terang benderang, hari sudah benar-benar gelap, daerah ini tak ubahnya seperti Ginza, Harajuku ataupun Akibahara. Tempat – tempat perbelanjaan itu mudah dijangkau dengan transportasi umum.

BACA JUGA :  Identitas Sejarah

Yang merepotkan adalah satu hal: Pintu keluar dari stasiun banyak sekali dan saya lebih sering nyasarnya dibanding tidaknya, bila kembali kepenginapan. Metropoitan Hotel di Ikebukuro.
Arah penunjuk jalan sebagian besar menggunakan tulisan kanji.

Michiko bercerita tentang kotanya yang menurutnya terlalu bising. Dia berencana akan pindah ke distrik yang lebih jauh dari Tokyo.

Saya ceritakan kondisi Jakarta jauh lebih bising dari apa yang kamu lihat di sini. Transportasi publik yang tak teratur, metro mini, robur, bus PPD dsbnya Mengeluarkan asap knalpot hitam. Belum lagi pedagang di trotoar yang sudah sempit itu sungguh-sungguh tak nyaman untuk berjalan kaki.

Umumnya teman-teman ISA of Japan pernah ke Jakarta, karena program ISA of Indonesia sebelum berubah nama menjadi ISAFIS (Indonesian Student Association For International Studies), memang sering melakukan program bersama.

Namun hampir tak pernah ada kegiatan yang dibuat di Jakarta karena tak ada yang bisa dilihat apalagi dinikmati. Terminal bus bau, transportasi publik menyeramkan banyak copet dsbnya. Objek wisata kebersihannya tak diurus dengan baik.

BACA JUGA :  Pendidikan di Tengah Covid-19

Oleh sebab itu biasanya Jakarta hanya menjadi tempat persinggahan untuk selanjutanya langsung ke Bali, Jogja atau daerah wisata lainnya.

Jakarta kini berubah bentuk dalam LIMA TAHUN TERAKHIR seperti disulap.

Transportasi publik menjadikan nyaman dan terintegrasi, trotoar di berbagai wilayah dilebarkan dan ditata menjadi indah dan rapih. Ruang-ruang publik jauh semakin banyak dan tertata dengan baik.

Saya teringat perbincangan di Shinjuku dengan Michiko Enomoto.

Tentang sebuah lagu Jepang berjudul Mishimo Ashita ga (Jika Besok Hari Yang Baik).

Jakarta sekarang adalah hari yang baik. Jakarta sekarang yang bisa kita bandingkan dengan kota besar dunia lainnya.

Michiko dan teman-teman di belahan dunia lainnya bisa menikmati Jakarta lewat transportasi publik sebagaimana dia di kotanya.

Komentar