Kenaikan Harga BBM Membakar Rakyat

Oleh: Yusuf Blegur

SEANDAINYA air seni rakyat itu laku dan bernilai, tentu pemerintah akan memungut pajaknya. Tak cukup memeras keringat, mengucurkan darah dan menghilangkan nyawa, rezim kekuasaan terus mengeksploitasi semua yang ada pada rakyat, termasuk pelbagai kebutuhan pokoknya yang penting untuk sekedar hidup. Harga BBM yang terus melonjak tinggi, seakan membakar hidup-hidup rakyat yang memang sudah begitu menderita.

Tujuh kali kenaikan BBM selama Jokowi menjadi presiden. Membuktikan Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, memang rendah kualitas kepemimpinannya. Mencabut subsidi solar dan bensin yang vital dan banyak dikonsumsi rakyat dengan alasan membebani APBN dan menguntungkan orang kaya yang menggunakannya.
Memperlihatkan kebodohan kebijakan dan argumentasi rezim yang lemah di tengah biaya tinggi dan kebocoran anggaran dari setiap proyek pemerintah yang tidak efisien dan efektif.

Sementara APBN sendiri sudah terdepresiasi oleh beban utang negara yang tidak tepat peruntukannya. Belum lagi kerugian yang masif akibat salah kelola BUMN dan institusi pemerintahan lainnya. Keuangan negara semakin jebol ketika pejabat lembaga pelayanan publik menggunakan biaya tinggi seperti peruntukan gaji direksi dan komisaris, biaya rapat dan operasional serta penggunaan uang besar untuk kegiatan yang tidak relevan bagi perbaikan hidup rakyat. Proyek mangkrak dan yang tak berguna bagi kepentingan hajat hidup orang banyak, secara langsung menjadi alokasi pembangunan yang menguras anggaran negara. Lemahnya sistem menejemen dan pengawasan penyelenggaraan keuangan negara, semakin membuat rakyat hidup tertekan terlebih dengan penghapusan subsidi sektor riil dan strategis.

BACA JUGA :  HRS Dijerat Pasal Karet

Penderitaan rakyat semakin memuncak dengan kenaikan harga BBM yang secara otomatis membuat melonjaknya ongkos transportasi yang selanjutnya diikuti kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Tanpa berlama-lama, kesulitan ekonomi yang diperlihatkan dengan menurunnya daya beli masyarakat, berangsur-angsur akan membawa negara dan rakyat pada situasi krisis. Situasi dan kondisi seperti ini pada akhirnya terus memicu angka kemiskinan dan selanjutnya mendorong tingginya angka kriminalitas. Seperti apa gejolak dan dinamika rakyat terutama menghadapi kenaikan harga BBM yang meliputi:

pertalite dari Rp. 7.650 per liter menjadi Rp. 10.000 per liter

Solar subsidi dari Rp. 5.150 per liter menjadi Rp. 6.800 per liter

Pertamax non subsidi dari Rp. 12.500 menjadi Rp. 14.500 per liter.

Dikutip dari pernyataan menteri ESDM Arifin Tasrif.
Kebijakan ini berlaku tgl. 3 September 2022, mulai pkl. 14.30 WIB.

Rakyat terus menjadi bulan-bulanan tekanan hidup akibat lemahnya kinerja pemerintahan yang diisi oleh orang-orang bodoh, lemah dan korup. Tak cukup memungut pajak tinggi dan uang jarahan dari hasil korupsi, pengelola negara terus memiskinkan rakyat secara struktural dan sistematik. Sementara para pejabat dan penentu kebijakan, hidup bergelimang harta dan penuh kemewahan di atas penderitaan rakyat. Kerja keras rakyat untuk sekedar “suvive” dan apa yang telah diberikan untuk negara, dibalas dengan memperkaya diri dari mengambil hak rakyat. Sembari mengiringinya dengan tindakan intimidasi, represif dan teror bagi rakyat yang lemah.

BACA JUGA :  Hancur-hancuran Pindah Ibu Kota Negara

Setelah jauh dari kemakmuran dan keadilan sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Rakyat kembali menjerit menyesali hidupnya, menjadi warga negara yang dipimpin oleh para bedebah dan bajingan. Setelah usai dari covid-19 yang membawa maut, kehilangan pekerjaan dan penghasilan, didera ketidakpastian hukum dan perlingungan kesejahteraan dari negara. Rakyat kini hidup terus memasuki ranah kemiskinan yang terdalam.

Hidup sengsara ditambah kenaikan harga BBM, rezim tak ubah sedang membakar rakyat. Apakah panasnya membuat kematian rakyat atau menjadi api no yang menyala-nyala yang mengobarkan revolosi. Pemberontakan rakyat yang berasal dari sumbu pendek kenaikan harga BBM.

Biar rakyat yang menentukan jaraknya dan sebanyak apa bensin itu menggerakannya.

Catatan dari pinggiran kesadaran kritis dan perlawanan.

Komentar