DPR Budek, Tak Gubris Usulan Dewan Pers soal Penghapusan Pasal RKUHP

TILIK.ID — DPR RI dianggap tidak aspirattif, bahkan dianggap buta tuli alias budek soal penyusunan rancangan undang-undang. Banyak RUU lolos ketok palu tanpa melibatkan elemen-elemen masyarakat.

Hal sama yang terjadi pada penyusunan Rancangan UU KUHP yang banyak diprotes publik. Salah satunya dari Dewan Pers yang sudah disampaikan kepada Ketua DPR pada September tahun 2019 silam.

Karena itu Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra mendesak DPR menghapus pasal-pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengancam kemerdekaan pers.

Azyumardi mendesak itu menyusul tidak digubrisnya delapan poin keberatan terhadap RKUHP yang diajukan Dewan Pers.

Delapan poin keberatan tersebut telah disampaikan Dewan Pers kepada Ketua DPR RI Bambang Soesatyo pada September 2019. Namun dalam RUU KUHP versi 4 Juli 2022, Dewan Pers tidak melihat adanya perubahan pada delapan poin yang sudah diajukan.

Padahal, menurut Azyumardi Azra, ada UU No 12 Tahun 2011 yang di antaranya mengatur tentang keterlibatan masyarakat dalam penyusunan rancangan UU sebagaimana pada pasal 5 huruf g UU 12/2011.

BACA JUGA :  Anies Dukung Elemen Buruh soal Jaminan Sosial Semesta Sepanjang Hayat

Pasal itu memberikan kesempatan masyarakat memberikan masukan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan secara transparan dan terbuka.

“Untuk itu Dewan Pers menyatakan agar pasal-pasal yang diajukan dihapus karena berpotensi mengancam kemerdekaan pers, mengkriminalisasi karya jurnalistik dan bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU No 40/1999 tentang Pers,” kata Azyumardi di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (15/7/2022).

Menurut Azyumardi Azra, RUU KUHP yang ada banyak bertentangan dengan UU lain, misalnya dengan UU No 40/1999 tentang Pers.

Dalam pasal 2 UU Pers dinyatakan “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.

Azyumardi menilai RKUHP tersebut juga memuat sejumlah pasal yang multitafsir dan pasal karet serta tumpang tindih dengan undang-undang yang ada.

Adapun pasal-pasal dalam RKUHP yang mengancam kemerdekaan pers dan mengkriminalisasikan karya jurnalistik di antaranya:

Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara; Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.

BACA JUGA :  Total Penderita COVID-19 di Indonesia 686 Kasus, 55 Meninggal Dunia

Pasal 218-220 ini merupakan penjelmaan ketentuan-ketentuan tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan Nomor 013022/PUU-IV/2006.

Kemudian Pasal 240 dan 241 Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah, serta Pasal 246 dan 248 (penghasutan untuk melawan penguasa umum) harus dihapus karena sifat karet dari kata “penghinaan” dan “hasutan” sehingga mengancam kemerdekaan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Ada juga Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong; Lalu
Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan.

Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan; Pasal 351-352 Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.

Selanjutnya Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaan, pencemaran nama baik;
Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran. (lms)

Komentar