Anies Baswedan versus Petinggi Politisi Bongsor

by Bang Sém

KEHIIDUPAN yang dilandasi keimanan yang kukuh, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan dapat menggerakkan sains dan teknologi untuk memulihkan dan menghidupkan ekonomi, tapi, tak sesiapapun pelaku ekonomi mampu menghidupkan rakyat yang mati karena Covid-19.

Dengan perspektif ini, saya memberikan support atas keputusan Gubernur Jakarta, Anies Rasyid Baswedan atau siapapun kepala daerah, yang memberlakukan lagi Pembatasan Sosial Berskala Besar yang sudah dengan sendirinya meliputi pembatasan sosial berskala mikro, sesuai dengan level kondisi dan persoalan yang dihadapi.

Keselamatan nyawa rakyat harus didahulukan, tanpa mengabaikan pemulihan ekonomi sebagai sarana dan wahana kehidupan.

Tak ada pilihan lain. Keselamatan nyawa jutaan rakyat, manusia adalah prioritas utama, karena hanya manusia yang mampu mengatasi risiko eksistensial dan dapat menjamin, bahwa negara dan bangsa ini masih ada dan akan selalu ada.

Pandemi nanomonster Covid-19 telah memperlihatkan kepada kita, siapa pemimpin dan siapa pula petinggi.

Pemimpin memberikan way, cara mengatasi masalah — dengan menentukan prioritas — sekaligus menyadari, bahwa tugas dan tanggungjawab utamanya sebagai pemimpin adalah memikul tanggungjawab menyelamatkan rakyat, yang harus dipertanggungjawabkannya dunia akhirat.

Petinggi menyibukkan dirinya mencari-cari alasan dan bermain-main dengan masalah dan akan menyebabkan timbulnya situasi atau kondisi yang akan menyeret kita dan bangsa ini ke jurang masalah yang lebih parah.

Anies dan para Kepala Daerah yang konsisten dan konsekuen mendahulukan upaya menyelamatkan nyawa rakyat adalah pemimpin, Raisu Rajul – manusia kepala yang menggunakan nalarnya memandu naluri, rasa dan dria untuk kepentingan bangsa ini masa panjang.

BACA JUGA :  Merdeka (2): Geliat Abad 21

Keputusan mereka menyelamatkan nyawa manusia, pasti akan merisaukan para petinggi yang merupakan politisi bongsor belum akil baligh, penikmat kekuasaan (menteri dan wakil menteri) dan para pendengung adalah Abdul Buthun, hamba-hamba perut yang menggunakan rakyat sebagai alasan untuk bersikap dan bertindak.

Keputusan mereka mendahulukan nyawa rakyat, mengatasi krisis kesehatan, dilandasi oleh kesadaran, bahwa hanya manusia yang hidup, yang mampu menggerakkan seluruh dayanya memenuhi seluruh kebutuhan dasar manusia, tak sekadar makan, minum, pakaian, seks, dan rumah. Jauh dari itu, juga meliputi kebutuhan dasar pendidikan, spiritual, reliji, nilai, budaya, ekonomi dan berbagai kebutuhan yang menyertainya.

Para petinggi — politisi bongsor dan penikmat kekuasaan — mengambil keputusan berdasarkan fluktuasi indeks harga saham gabungan yang menjadi mainan para pemburu rente yang menghalalkan mesin riba – globalisme kapitalistik memelihara penderitaan panjang rakyat, tanpa pernah tersentuh nuraninya untuk memutus mata rantai virus homo economicus yang membuat rakyat sengsara di jurang ketimpangan sosial ekonomi.

Mereka hanyut dalam jebakan fantasi, iming-iming penghiburan masa sulit dari lembaga-lembaga keuangan dunia yang sibuk bermain-main dengan stick and carrot dan menjadikan manusia atau bangsa sebagai kelinci sistem ekonomi global yang rapuh fundamentalnya.
Permainan para penjajah sejak masa silam, berabad-abad lamanya. Akibatnya, kita senantiasa terperangkap dalam jaring kemiskinan struktural dan kultural berkepanjangan, kemiskinan persisten yang menebar ironi pahit: kaya sumberdaya alam, kaya populasi penduduk, tetapi miskin, melarat, dan sengsara melintasi kehidupan.

BACA JUGA :  Anies Baswedan Akui Keberanian Cak Imin Gabung Koalisi Perubahan

Dalam konteks itulah, para petinggi akan selalu gerah, galau, risau, gaduh, dan reaktif setiap kali menyaksikan para pemimpin — seperti Anies dan para pemimpin lainnya — mengambil keputusan-keputusan strategis menyelesaikan masalah. Kalkulasi mereka adalah kalkulasi ekonomi dan politik, kalkulasi Anies dan para pemimpin lainnya adalah kemanusiaan dan peradaban berkelanjutan. Kalkulasi politik dan ekonomi adalah varian dan variable yang termasuk di dalamnya.

Bagi pemimpin seperti Anies dan pemimpin sejenis lainnya, manusia dan kemanusiaan adalah modal dan investasi utama suatu bangsa yang maju dan modern, karena dengan modal manusia akan diperoleh modal sosial yang akan memungkinkan bangsa ini — dengan generasi baru dari ashabus safinah – kaum yang selamat dari petaka — menjawab tantangan-tantangan baru yang tidak ringan. Mulai dari menaklukan pandemi dan segala jenis penyakit, membalik kemiskinan, mengelola singularitas akibat kemajuan sains dan teknologi, melayari transhumanisma, menghidupkan potensi manusia, memelihara keseimbangan skill dengan wisdom, menjawab risiko eksistensial, sehingga mampu merancang peradaban baru dengan gaya hidup lestari berkelanjutan.

Keputusan pemimpin semacam Anies menawarkan pilihan hidup mulia atau mati berkualitas, ringan sama dijinjing berat sama dipikul, sapapait samamanis, pada idi pada elo sipatuo sipatokkong, dan berbagai nilai kearifan bangsa sendiri yang selalu relevan dengan kehidupan kini nanti. Tidak terjebak oleh kualitas terburuk nafsu homo economicus sebagai binatang ekonomi atau khayawan an nathiq (hewan yang berakal). Supaya bangsa ini mempunyai nation dignity yang menunjukkan harkat dan muruah kebangsaan.

BACA JUGA :  Renungan Senja dari Kota Palu

Anies dan para pemimpin sejenisnya, lahir, tumbuh dan berkembang sebagai pemimpin ditempa oleh nilai perjuangan dari nasab rakyat. Mereka pasti matang dan selalu punya cara menghadapi situasi, karena selalu terdidik menciptakan kondisi. Para petinggi – politisi bongsor penikmat jabatan yang galau dengan keputusan Anies dan selalu senang menjadikan Anies sebagai kambing hitam, lahir, tumbuh, dan berkembang dari iklim petinggi yang berjarak dengan rakyat. Garis nasabnya berbeda.

Saya percaya, Anies dan pemimpin yang sejenis dengannya mengambil keputusan dengan pertimbangan matang dan tidak akan akan memperpanjang penderitaan rakyat. Meskipun keputusan itu membuat kelojotan para pemburu rente, penikmat riba yang menggunakan karitas sebagai topeng kebajikan. Homo economicus yang masih terus mendulang untung di tengah petaka, dan menjebak kita dengan utang.

Bagi saya, ‘pertarungan’ Anies Baswedan dengan petinggi – politisi bongsor dan penikmat jabatan, bukanlah pertarungan kalah dan menang. Paling tidak, Anies sudah menghidupkan kesadaran dan renjana kebangsaan kita untuk sungguh menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi atas bangsa ini. Karenanya, para wakil rakyat juga mesti mempunyai kecerdasan dan kematangan untuk tidak terkecoh dengan kiat dan siasat, seperti rancang undang-undang omnibus law yang dikemas dengan tajuk ‘undang-undang cipta kerja.’ |

Komentar