Efek Sri Lanka

Oleh: Dhedi Rochaedi Razak

KRISIS berkepanjangan yang melanda negara pulau di sebelah utara Samudra Hindia di pesisir tenggara India itu memicu kemarahan ribuan rakyat.

Mereka mengepung dan memaksa masuk ke kediaman Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa.

Tak hanya itu, murka rakyat juga membuat mereka merangsek masuk ke kediaman Perdana Menteri (PM) Ranil Wickremesinghe, dan membakarnya. Rakyat menuntut pemerintah bertanggung jawab atas kesalahan pengelolaan keuangan negara, juga kekurangan pangan dan bahan bakar yang melumpuhkan.

Mereka menuntut Presiden Gotabaya Rajapaksa segera mengundurkan diri dari jabatan. Atas desakan people power itu, Rajapaksa menyatakan akan segera lengser dari jabatannya.

Begitu pula PM Ranil Wickremesinghe, sami mawon, undur diri dari jabatan setelah pemerintahan baru terbentuk.

Massa yang menduduki kediaman resmi Presiden Sri Lanka di Kolombo mengacak-acak isi rumah, memasuki kamar pribadi presiden, bersantai di tempat tidur, nge-gym, berfoto-foto, nyebur ke kolam renang, dan menikmati makanan.

Di luar gedung, bendera Singa atau bendera Sri Lanka dikibar-kibarkan oleh para pengunjuk rasa. Mereka bernyanyi dan menari di kediaman kepala negara seolah merayakan keberhasilan menumbangkan Presiden Gotabaya Rajapaksa yang dianggap tak becus mengelola negara berpenduduk sebanyak 23.044.123 jiwa (2021) ini.

BACA JUGA :  Ubah RUU HIP Jadi RUU BPIP, Umat Minta BPIP Dibubarkan!

Krisis yang membelit Republik Sosialis Demokratis Sri Lanka menumpuk, bak lingkaran setan, sehingga sulit yang mana dulu yang harus diselesaikan.
Dari masalah ekonomi, sosial, politik, perang saudara, hingga konflik SARA.

Permasalahan negara dibiarkan berlarut-larut, sementara kekuasaan yang koruptif di sisi lain menunjukkan kepongahannya.
Korupsi dan nepotisme keluarga Rajapaksa menguasai dua pertiga anggaran Sri Lanka.

Krisis ekonomi Sri Lanka meletus sejak 2019 akibat tumpukan utang luar negeri yang menggunung. Kondisi semakin parah ketika pandemi Covid-19 pada awal 2020 melanda. Industri pariwisata yang menjadi andalan pemasukan Sri Lanka limbung. Ekonomi dalam negeri pun kian terpuruk karena inflasi.

Pada akhir 2021, utang luar negeri Sri Lanka mencapai US$50,72 miliar. Utang luar negeri itulah yang membebani ketika sejumlah utang yang telah jatuh tempo tak bisa dibayar. Terlebih, jumlah utang tersebut sudah mencapai 60,85% dari produk domestik bruto (PDB).

Besar pasak daripada tiang. Utang terbesar ialah kepada Tiongkok sebesar US$ 8 miliar atau sekitar seperenam dari total uang luar negeri. Utang tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur di negara yang berjuluk ‘Mutiara dari Samudra Hindia’ itu.

BACA JUGA :  Anies dan Politik Dialektika

Inflasi yang tak terbendung membuat harga barang-barang kebutuhan pokok meroket sebesar 57 persen. Keadaan kian kacau ketika mata uang Sri Lanka jatuh hingga 80 persen, yang berdampak pada melambungnya harga barang-barang impor.

Kelangkaan bahan bakar dan pemadaman listrik berkepanjangan menyebabkan penderitaan rakyat makin menumpuk. Bahkan, ibu-ibu pun tak mampu lagi membeli susu untuk anak-anak mereka.

Sejatinya Sri Lanka adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam. Demikian pula dengan destinasi pariwisatanya yang memikat. Negeri ini juga terkenal dengan sejarah peninggalan leluhurnya sejak 2.500 tahun yang lalu.

Kehancuran Sri Lanka bermula dari populisme yang dilakukan Presiden Gotabaya Rajapaksa untuk memberikan kesenangan sesaat kepada rakyatnya, seperti pemotongan pajak besar-besaran dan subsidi BBM yang tidak terukur. Kini, Sri Lanka menjadi negara bangkrut akibat mengabaikan prinsip-prinsip good governance.

Sri Lanka tak sendirian. Setidaknya ada 60 negara terancam bakal bernasib sama. Sejumlah laporan dari International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan PBB menyebutkan sebanyak 42 negara tengah bergerak ke tabir jurang resesi, ambruk, dan bangkrut.

BACA JUGA :  Sudah, Tak Usahlah Kecewa, Semua Amal Bergantung pada Niatnya

Belajar dari Sri Lanka, kebangkrutan sebuah negara tidak semata karena faktor ekonomi. Ada pula faktor lainnya, seperti sosial dan politik.

Bagi Indonesia, negara yang kaya dengan limpahan sumber daya alam dan multikultur, kohesi sosial perlu dijaga.
Keberagaman harus menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan.

Tata kelola yang baik secara transparan, akuntabel, dan partisipatif, tentu akan menjauhkan republik tercinta ini dari kebangkrutan.

Waspada, utang menumpuk BUMN bangkrut serta daya beli ekonomi rakyat terpuruk merupakan fakta rezim Jokowi-Maruf Amin.

Tabik…!

Komentar