QURBAN

Oleh: Makmur Ibnu Hadjar

SEPERTI lazimnya tahun-tahun sebelumnya, shalot Idhul Adha yang dilaksanakan di tanah lapang atau di masjdi (jika hujan turun), selalu didahului pengumuman melalui pengeras suara, tentang daftar pejabat, dan dermawan yang menyumbangkan hewan qurban. Kita tidak pernah tahu kapan tradisi seperti itu dimulai, dan apa motivasinya.

Ingatan saya, bahwa sejak tahun 70an itu sudah ada, ketika para pejabat dan setiap orang merasa senang, dan bangga disebut-sebut di depan publik prestasinya, kemampuannya, sumbangannya dan bahkan ibadahnya.

Saat itu, resonansi sosio-kultural mengkultuskan individu sangat kencang bertiup, dan masuk juga pada urusan ibadah- yang sesungguhnyan sesuatu yang paling privasi antara hamba dengan KhalikNya. Semua kita menikmati itu, tampa rasa risi kepada Allah, padahal orang-orang yang diumumkan namanya itu atau orang yang menggagas inisiatif itu tahu persis hakekat dan syariat ibadah qurban itu.

Asal muasal qurban itu adalah peristiwa spritual. Suatu bentuk pengujian ketauhidan Nabi Ibrahim. Tepatnya suatu peristiwa monoteisme. Sehingga Nurcholish Madjid menyebut Nabi Ibrahim sebagai bapak monoteisme. Allah, bermaksud menguji Ibrahim, atas apa yang paling dicintainya, yaitu anaknya sendiri Ismail. Tetapi kita juga bisa menarik dan merasakan suatu individual psikologi, atas apa yang dialami dan dirasakan oleh Nabi Ibrahim ketika itu, dalam konteks sebagai ayah.

BACA JUGA :  Pj Gubernur DKI Heru Budi Hartono Ditugaskan Untuk Hapus Kerja Anies?

Bagaimana Ia –Alkhaliq-bisa mentitahkan untuk menyembelih seorang anak yang tidak bersalah, hanya untuk membuktikan kepatuhan kepadaNya. Tetapi di atas semua itu, bahwa Nabi Ibrahim ketika itu pasti berada atau telah berada dalam suasana apa yang disebut oleh Goenawan Mohamad sebagai detachment- buah dari iman dan kedahsyatan. Pisau yang melengket pada leher Ismail itu, bukan lagi digerakkan oleh Nabi Ibrahim sebagai subjek, rasa cinta, sedih, sakit, ketakutan dan kombinasi dari kesemuanya telah lebur kedalam titah ALLAH Subhana Wata’ala. Itulah detachment.

Setiap agama atau umat agama menyimpan kekaguman atas prosesi seperti itu. Siti Masyitoh memegang keteguhan imannya dan harus mengalami prosesi kematian di dalam air yang mendidih. Santo Agustinus yang dibelenggu dan tubuhnya dihujani anak panah. Unimarah merelakan dagingnya dipotong-potong untuk santapan elang ganas, cuma karena melindungi burung yang lemah. Tidak semua anak manusia yang memegang keteguhan prinsip spritualnya atau prinsip individualnya tercatat sebagai syuhada, tetapi mereka telah membangun sejarah, dan sejarah salah satunya dipilari oleh pengorbanan itu.

BACA JUGA :  KH Syukron Ma’mun Khatib Shalat Idul Adha di JIS

Lalu apa hak kita atau tepatnya kenapa kita tidak risi, teriak-teriak dengan pengeras suara di tengah tanah lapang tentang jumlah materi yang kita qurbankan, padahal esensi qurban itu adalah keihlasan, dan denyut keihlasan itu mestinya cuma dirasakan oleh privasi antara hamba dengan KhalikNya.

Seorang sufi terkenal yaitu Ibn Atha’illah al-Sakandari mentasrifkan keihlasan itu ialah; amal perbuatan adalah bentuk-bentuk lahiriah yang tegak, sedangkan ruh amal perbuatan itu ialah adanya rahasia keihlasan di dalamnya. Sebagai ruh amaliah, perbuatan yang ihlas itu akan sukar nampak oleh orang lain, dan hanya diketahui oleh yang bersangkutan sendiri, dan ALLAH yang al- Alim (maha tahu). Singkatnya, pada tingkat pribadi, keihlasan itu adalah tindakan yang tulus kepada diri sendiri, dalam usaha mendekatkan diri atau membangun komunikasi dengan al-Khaliq. Wallahu-Allam bis’sawab.

Komentar