Masjid Jarang

Oleh: Dahlan Iskan

 

 

Banyak pengurus masjid yang ingin studi banding ke sini: bagaimana bisa tetap melaksanakan salat Jumat tapi dengan SOP yang ketat.

Itulah Masjid Agung Surabaya. Salat Jum’at tetap dilaksanakan minggu lalu. Tapi prosedurnya baru sama sekali.

Begitu masuk halaman orang harus cuci tangan dulu. Dengan sabun. Di beberapa kran yang baru dibangun. Disediakan sabun di situ.

Diawasi oleh petugas.

Setelah cuci tangan mereka baru boleh ke tempat wudlu –untuk berkumur, membasuh muka, membasuh telinga, membasuh lubang hidung, mengusap rambut dengan air, membasuh tangan sampai atas siku, membasuh kaki. Masing-masing tiga kali. Di air yang sedang mancur.

Semua orang, sebelum salat, harus melakukan wudu seperti itu. Kalau tidak, salatnya tidak sah.

Selesai berwudu barulah mereka masuk masjid. Tapi sebelum masuk masjid harus melewati dua prosedur baru: diukur temperatur badannya. Lalu harus masuk ke bilik disinfektan.

Setelah itu jamaah masih harus mengenakan masker. Petugas masjid membagikan masker gratis untuk mereka.

Hanya mereka yang mengenakan masker yang diizinkan masuk masjid.

Foto: Disway

Dari 45 pintu, kini hanya tiga pintu yang dibuka. Satu dari arah selatan, satu dari arah timur dan satu lagi dari arah utara. Itu agar yang masuk masjid lebih bisa terkontrol.

Tentu kini harus antre –dan petugas mengawasi antrean itu agar jarak antarorang tetap terjaga

BACA JUGA :  Gagal Atasi Covid-19, Kenapa Pemerintah Cari Kambing Hitam?

Di dalam masjid itu juga ada pemandangan baru: tidak ada lagi karpet. Semua karpet dilepas. Agar tidak ada virus yang bersembunyi di karpet itu. Jamaah salat di atas marmer.

Kebetulan desain pemasangan marmernya dulu sangat tepat. Di setiap 120 cm diberi hiasan kecil marmer warna hitam.

Dulunya itu hanya penanda barisan salat. Kini hiasan itu menemukan fungsinya –selain untuk keindahan. Yakni sebagai penanda jarak.

Jamaah tidak boleh lagi salat berhimpitan. Harus berdiri di penanda hitam itu.

Saya jadi teringat pertanyaan dari peserta senam seminggu sebelumnya. Waktu itu saya mengharuskan peserta senam jaga jarak. Tidak hanya waktu senam, tapi juga di mana pun.

“Bagaimana waktu salat? Bukankah salat harus berhimpitan,” tanyanyi.

Saya serahkan ke ustadz yang ikut senam di situ untuk menjawabnya.

“Kan tidak ada yang bicara selama salat. Tidak ada kekhawatiran ada droplet. Mestinya boleh tidak jaga jarak,” ujar ustadz kami.

Saya pun menyela.

“Tapi biasanya banyak juga yang batuk-batuk,” sela saya.

“Berarti ya harus jaga jarak,” ujar ustadz kami.

Yang bertanya tadi masih bertanya lagi. “Kalau jaga jarak nanti kan ada setan yang menempati sela-sela itu. Bagaimana?“ tanyanya.

Memang itulah doktrin salat. Harus berhimpitan. Yang salatnya berjarak, akan ada setan di sela itu.

BACA JUGA :  Menatap Pangrango dari Pulau Seribu

Saya hanya bisa menjawabnya dengan guyon. “Baik juga ada setan di situ. Agar salat kita teruji,” jawab saya sambil senyum.

Kini Masjid Agung Surabaya yang menjawabnya dengan serius. Dengan praktik di kenyataan. Berarti hari itu begitu banyak setan yang ke Masjid Agung Surabaya.

Khotbah hari itu juga pendek. Disesuaikan dengan zaman Covid-19. Doa yang dibaca imam yang agak panjang. Tapi doa hari itu sangat mengharukan –doa tolak bala. Cara melantunkan doanya pun sangat syahdu. Sangat memerindingkan kuduk. Doa qunut itu terasa daruratnya. Banyak jamaah yang ikut tersedu.

Khotib hari itu adalah KH Husen Rifa’i. Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Jabal Noer, Geluran, Taman, Sidoarjo.

Ketika salat Jumat selesai, hujan pun turun. Kejadian itu memberi pelajaran baru. Ternyata masih ada titik kelemahan: jamaah menggerombol di dekat pintu –menunggu hujan reda.

Takmir masjid sigap. Diumumkanlah agar jamaah tetap menjaga jarak. Tidak boleh menggerombol. Lebih baik kembali ke tempat salat masing-masing. Menunggu hujan reda sambil membaca Alquran.

Seruan itu ditaati. Semua kembali ke tempat salat. Membaca Alquran lewat layar ponsel masing-masing.

Setelah hujan reda terlihat lagi kekurangan: orang bergerombol untuk mencari sandal/sepatu masing-masing.

“Kami menemukan kelemahan itu. Kami akan atasi,” ujar Helmy Noor, pengurus Masjid Agung Surabaya.

BACA JUGA :  Kuat Dugaan Dirjenbud Hilmar Farid Ingin Memutihkan PKI?

Helmy adalah alumni Pondok pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang. Lalu melanjutkan ke Sospol Universitas Darul Ulum, juga di Jombang.

“Jumat depan masing-masing jamaah membawa kantong plastik. Sandal/sepatu dimasukkan kantong. Ditaruh di sebelah masing-masing,” ujarnya.

Ide itu mengingatkan saya ketika ke pusat Budha Tzu Chi di Hualien, pantai timur Taiwan. Semua orang juga harus melepas sepatu. Tapi takmirnya menyediakan kantong kain.

“Kami juga akan sediakan. Siapa tahu ada jamaah yang lupa membawanya,” ujar Helmy.

Masjid Agung Surabaya memang besar sekali. Sangat memungkinkan untuk pengaturan seperti itu.

Cara itu akan sulit dilakukan di masjid kecil –yang ketika tanpa jaga jarak pun sudah penuh.

Masjid besar Al Falah pun akan kesulitan mengatur seperti itu –dan memilih tidak mengadakan salat Jumat. Apalagi karpet tebal di Al Falah itu tidak bisa dibuka. Menyatu dengan lantai.

Di Al Falah Jalan Raya Darmo Surabaya itu tanpa jaga jarak pun sudah membeludak. Entahlah kalau salat Jumatnya pakai sistem kuota. Tapi sulit juga membagi kuotanya: hanya yang tua? Hanya yang muda? Ganjil genap –berdasar tahun kelahiran?

Kok jadinya repot ya?

Keseluruhan hidup itu memang repot. Karena itu diperlukan keberanian untuk hidup.(*)

 

Komentar