KETAKTERTATAAN

Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

RUWET, semrawut, morat-marit,_ ….. kosa kata bahasa Jawa. Menunjuk ke satu semesta pengertian: situasi-keadaan yang kacau, tak terstruktur, acak-acakan. Tentu orang Jawa memahami kata-kata itu sampai pada detail artikulasinya.

Tanpa terasa, kata-kata itu menyelinap, diserap, dan sudah cukup familier dalam bahasa Indonesia. Dalam perbincangan sehari-hari, kata-kata itu memiliki elastisitas artikulatif, dapat digunakan sesuka mulut.

Orang Jawa, dapat meringkas semua kata dimaksud kedalam terma: ora temoto, dislank-kan menjadi ora toto, lalu ratoto. (Huruf O dibunyikan seperti mengucapkan kalimat: sudah dari sono-nya). Tentu terdengan asing bagi telinga non Jawa, dan tampaknya susah terserap kedalam bahasa Indonesia.

Itulah salah satu kelemah bahasa Jawa sehingga tidak potensial menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Memang, beberapa kosa katanya sesuai dengan kemajuan teknologi era digital: unggah, unduh, … Tapi, sejauh ini, belum ada yang memrososikan kata senggek untuk menggantikan kata hack. Lalu, kata meretas diganti menyenggek.

Bahasa ilmu pengetahuan memang harus memiliki selera konseptual. Bahasa Inggris unggul dalam hal ini. Maka, dapat dimengerti bila teori-teori (sosial) yang menyangkut hidup dan perkembangan bangsa ini, dirumus-jelaskan dengan amat mengesankan oleh orang-orang yang fasih berbahasa Inggris. Secuil contoh: hanya dengan mengubah sedikit saja kata govern menjadi governance, puluhan buku dicetak, dan semua negeri, semua urusan, heboh menyesuaikan diri dengan kaidah dan tuntutan good governance.

Untunglah kata ratoto dapat diterjemahkan ketaktertataan. Dengan demikian, tak semata menunjuk pada keadaan yang semrawut, morat-marit. Tapi memiliki nuansa konseptual yang dapat vis a vis dengan good governance. Tidak dalam relasi oposisi biner, seperti: baik-buruk, benar-salah. Ini bukan soal kategori etik. Tapi, perspektif memahami realitas.

BACA JUGA :  Dari Brebes, Deklarasi Dukung Anies Baswedan Lanjut di Tegal

Ringkasnya, ketaktertataan: sebuah perspektif teoritis, bisa juga disebut post-governance – di satu sisi, untuk menjelaskan karut marut dan, disisi lain, menjadi pedoman merajut sengkarut – dalam pengelolaan urusan publik – bernegara.

Indonesia jelas hamparan realitas sosial. Di dalamnya ada demokrasi. Isu Presidential Threshold 20 persen, jabatan presiden 3 periode, KPU yang tak tertutup kemungkinan bertugas menunda-membatalkan Pemilu sesuai jadual yang telah ditetapkan, PLT Gubernur, ….. kiranya dapat dipahami secara baik sebagai konstruk demokrasi ketaktertataan.

Kasus Wadas mengabarkan kepada khalayak sebuah proyek strategis nasional yang kemudian dijadikan dasar mengesahkan aneka tindakan: pemberian ijin usaha penambangan tanpa menghiraukan protes warga, juga kelestarian lingkungan hidup. Lalu, dinyatakan: penambangan batu di Wadas tak perlu ijin karena oleh dan untuk Pemerintah, zonder motif bisnis. Juga, bagaimana kepentingan bisnis membonceng proyek strategis itu. Kiranya menjadi input menarik bagi perspektif ketaktertataan.

Kasus Bandara International dibangun untuk tidak beroperasi – menghindari penggunaan kosa kata Jawa: mangkrak. Banting harga jual ruas-ruas jalan Tol. Dan, sedang dikerjakan Kereta Cepat (KCIC). Juga, IKN yang segera menyusul. Beriringan dengan itu, (menjadi pengetahuan umum) bisnis vaksin dan ikutannya di masa pandemi yang dilakukan para pembesar. Kiranya, dapat dijelaskan secara lebih santai dengan perspektif ketaktertataan.

BACA JUGA :  Ini Instruksi Koordinator Relawan ANies La Ode Basir ke Jajarannya

Kelangkaan minyak goreng. Menyusul tahu-tempe, dan dapat diikuti barang-barang lain yang perlu digoreng. Juga, kebijakan kepesertaan BPJS sebagai syarat jual beli tanah. Perkara yang dinilai publik tak masuk akal. Dapat diperluas menjadi syarat: menikah, ngontrak rumah, menjual dan/atau memotong sapi, mengkhitankan si Buyung, …… dengan bantuan perspektif ketaktertataan.

Realitas, dihadapan manusia, tak cukup hanya diterima, tetapi juga harus dapat dijelaskan-dipahami secara meyakinkan. Dan, Indonesia sebagai realitas tentu perlu dijelaskan secara ilmiah – komprhehensif guna mereduksi keluh kesah dan caci maki.

Perspektif ketaktertataan paling tidak harus menjelaskan new normal: ketaknormalan bukan keganjilan, kejahatan bukan ketaknormalan, tapi normalitas baru hasil transendentalisasi banalitas. Lalu, menjelaskan kelogisan dari yang tak logis, the logical of illogic. Tentu, membutuhkan kerja intelektual.

Seraya menunggu kerja dimaksud, isu-kasus ketaktertataan dapat diduga bakal semakin kaya, karena lingkungan operasinya amat kondusif: pandemi, yang digerakkan virus yang tak lelah bermutasi. Zaman dan bangsa ini, memang sedang dipenuhi: virus!

Komentar