Yuk Ngulik Anies, Yuk

Oleh: Ady Amar
(Kolumnis)

BERANGKAT dari keluarga dan komunitas anti puji-puji berlebihan pada seseorang, tulisan ini sengaja dibuat. Memuji berlebihan pada seseorang, itu membunuh akal sehat. Dan bagi yang dipuji, jika pujian itu sampai terdengar, itu racun mematikan. Tidak ada yang untung dengan pujian berlebihan. Acap jadi buntung.

Mari bicara apa adanya, melihat seorang pemimpin dari jejak yang diukirnya. Jejak tidak sekadar legacy yang ditinggalkan. Tapi lebih dari itu, jejak yang diukir pada hal-hal kebaikan, dan ditorehkan dengan cara yang wajar tanpa kemudian meninggalkan benang kusut di kemudian hari.

Tentu tidak perlu membandingkan tokoh yang dipilih dengan tokoh lainnya. Nantinya muncul ghibah. Apalagi disandingkan dengan tokoh yang kebetulan jejaknya meninggalkan noktah hitam tidak cuma setitik, meski belum sampai mengantar ke hotel prodeo. Maka, cukupkan pada satu tokoh saja, yang clear namanya tidak tersangkut pada perkara yang membelit.

Mari bicara tentang Anies Baswedan, tidak saja sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sebelum menjabat orang nomor satu di Jakarta, Anies aktif dibanyak kegiatan sosial dan pendidikan. Langkahnya itu meninggalkan jejak. Mari melihat/mengulik Anies, misal dalam aktivitas Indonesia Mengajar, Anies sebagai Rektor Universitas Paramadina, juga Anies sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), dan kemudian sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Silahkan diulik satu persatu aktivitas Anies di atas. Dan tentu aktivitas lainnya yang ia terlibat di dalamnya. Selidiki dengan seksama, tentu dengan selidik sejujurnya. Adakah ia meninggalkan jejak hitam atau warna abu-abu sekali pun saat mendapat amanah yang diberikan. Itu perlu dilakukan, agar bisa menempatkannya pada kedudukan lebih tinggi, atau sepatutnya memang ia dicukupkan sampai di sini saja.

BACA JUGA :  Jokowi Mundur dan Indonesia Maju

Setiap tokoh yang punya kans untuk memimpin, apa pun tingkat dan posisinya, apalagi sebagai pemimpin puncak negeri ini, patut diulik hal-hal yang perlu diulik darinya. Itu bukan saja perlu, tapi seharusnya. Bahkan wajib. Agar masyarakat luas tidak terjebak pada pemimpin yang hanya berakrab buat konten bermotif pencitraan. Hari-hari disibukkan dengan aktivitas berkonten ria. Terkadang sehari 3-4 konten dibuatnya, layaknya minum obat saja.

Maka, mengulik Anies Baswedan, itu perlu dilakukan. Akankah ia pemimpin yang memang dibutuhkan memimpin negeri ini, atau cukupkan saja sampai jabatan selaku Gubernur DKI Jakarta. Tentu mengulik dengan sejujurnya. Menyatakan kekurangan jika ditemukan, dan menyatakan kelebihan yang dibuatnya. Tidak kalah penting, terutama, mengulik integritas yang bersangkutan.

Intelektualitas Anies tentu tidak diragukan. Jejak pendidikannya bisa ditelusuri, dan terlihat nyata. Pendidikan sejak Sekolah Dasar sampai tingkat Doktoral bisa ditelusuri dengan amat mudah. Soal pendidikannya clear, nyata benderang. Tidak ada pihak yang meragukan atau memperdebatkannya. Itu penting.

Boleh ditambah pula jika diperlukan latar belakang keluarganya. Ayahnya, Rasyid Baswedan, adalah dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Dan sang ibu, Aliyah Rasyid Baswedan, adalah seorang Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Negeri Jakarta.

Begitulah dengan sang kakek AR Baswedan, yang Pahlawan Nasional. (Lihat tulisan penulis sebelumnya, “Anies dan Kakek: Tukang Ketik Merenda Jalan Takdirnya”, 08/02/2022). Artinya, secara intelektualitas Anies berada dalam lingkungan yang memungkinkan ia tumbuh dengan baik. Lingkungan yang menumbuhkembangkan intelektualitasnya sejak dini.

BACA JUGA :  Keren Narasi Anies Baswedan soal Kekuasaan dan Pemilu 2024

Perjalanan intelektualitas Anies itu tidak dihadirkan instan. Tapi sinambung menyesuaikan umur dan tingkat pendidikannya. Pendidikan yang dihadirkan keluarganya sangat mewarnai, dan membentuk karakter seorang Anies.

Menjadi tidak heran jika semasa SMA di Yogyakarta kala itu, Anies yang mengikuti pertemuan OSIS-OSIS SMA se-Indonesia di Jakarta, didapuk jadi ketuanya. Padahal saat itu Anies baru duduk di kelas satu SMA. Gairah dan bakat memimpinnya tumbuh sejak dini.

Sejarah menempatkannya selalu menjadi orang nomor satu. Seolah itu takdir yang dibawa Anies sejak masih kanak-kanak dan remaja. Bakat sebagai pemimpin diasahnya sejak dini, dan dalam aktivitas apa pun. Menjadi orang nomor satu jadi langganannya.

Bahkan bisa dilihat saat penetapan kepesertaan Pilkada DKI Jakarta (2017), saat dipinang Partai Gerindra, Anies mematok posisinya sebagai DKI 1. Anies tak bergeser dari tawarannya. Konon sampai dua jam menjelang batas penutupan pendaftaran di KPU. Menyerahlah Pak Prabowo Subianto sang negosiator, dan kemudian menerima tawaran Anies itu, ia diajukan sebagai Calon Gubernur, yang didampingi Sandiaga Salahuddin Uno sebagai Calon Wakil Gubernur.

Dibanding dengan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan bahkan Agus Harimurti Yudhoyono, yang sama-sama maju sebagai calon gubernur, elektabilitas Anies paling buncit. Tapi dalam perdebatan antarcagub dan cawagub yang beberapa kali itu, Anies bersama Sandi menunjukkan kwalitasnya, tampil cemerlang. Anies amat tahu apa yang dibutuhkan warga DKI Jakarta. Dan itu jadi modal dalam perdebatan itu.

Elektabilitas Anis-Sandi mulai terangkat, meski oleh lembaga survei politik ditampilkan tidak sebagaimana mestinya. Tapi berakhir, Anies-Sandi memenangkan kontestasi Pilkada DKI Jakarta itu. Empat tahun lebih Anies memimpin Jakarta, meski Sandi akhirnya harus meninggalkan Anies di tahun keduanya, yang memilih bersama-sama Prabowo Subianto maju mengikutu kontestasi Pilpres sebagai calon wakil presiden (2019).

BACA JUGA :  Anies dan Politik Dialektika

Sekitar setahunan jabatan Wakil Gubernur kosong. Baru setelah itu Ahmad Riza Patria membersamai Anies sebagai Wakil Gubernur. Duet pasangan yang saling melengkapi. Memasuki tahun akhir jabatan selaku Gubernur, Anies terus menyelesaikan janji kampanyenya, yang hampir keseluruhan telah diselesaikannya dengan baik. Anies selalu menyebut karya-karya yang dipersembahkan, itu hasil kolaborasi seluruh pihak. Bukan klaim sepihak. Dibeberapa titik Jakarta, muncul bertengger tulisan dengan lampu menyolok, Jakarta Kota Kolaborasi.

Jakarta International Stadium (JIS) sudah nyaris rampung diselesaikan. Pekerjaannya sudah 96 persen dikerjakan. Diharapkan dalam satu-dua bulan ke depan (Maret-April) sudah 100 persen selesai. Stadion kebanggaan itu bertengger megah jadi warisan yang akan dikenang selamanya, seperti juga Istora Gelora Bung Karno, yang dibangun tahun 1961, dikenang sebagai warisan Soekarno.

Decak kagum pada seseorang tidak perlu sampai harus menjadikan diri ini tidak mampu melihat kekurangan dari yang bersangkutan. Apalagi sampai membunuh akal sehat. Maka, silahkan dikulik terus, jika saja ditemukan kekurangan yang dipunya seorang Anies Baswedan, khususnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sedang saya sendiri belum menemukannya, meski terus mengulik ingin menemukannya, tentu dengan obyektivitas pencarian. Maka, dicukupkan sekian dulu saja tulisan ini. Tentu tiada larangan bagi yang ingin terus menguliknya, silahkan saja.

Komentar