DE-QUR’ANISASI

by M Rizal Fadillah
(Pemerhati Politik dan Keagamaan)

ISU radikalisme yang terus didengungkan dan diarahkan kepada umat Islam adalah kezaliman. BNPT mengaitkan dengan terorisme, BPIP menyebut ancaman Pancasila, Kemenag dan Kemendikbud menyiapkan kurukulum moderasi, bahkan KSAD melakukan apel siaga yang katanya untuk menghadang. Radikalisme dianggap musuh negara sementara Komunisme, Kapitalisme dan isme-isme sesat lain aman dan nyaman. Hampir semua instansi diarahkan untuk teriak-teriak bahaya radikalisme.
Umat Islam sebagai sasaran.

Deradikalisasi di rezim ini identik dengan de-Islamisasi untuk memereteli ajaran Islam yang dianggap mendorong terjadinya radikalisme, intoleransi, bahkan terorisme. Ketika sumber agama Islam adalah Qur’an maka secara tidak langsung ayat-ayat Qur’an itu yang dimasalahkan atau dituduhkan. Melakukan penyeragaman atas makna Al Qur’an dan pembatasan penyebaran ayat-ayat Qur’an yang dianggap “radikal” dan “intoleran”.

Deradikalisasi adalah de-Qur’anisasi. Pada realitanya isu ini menggugat teks dan konteks ayat. Diksi dan narasi yang dimoderasi atau dilemahkan bahkan dilumpuhkan. Terma kafir, jihad, qital, thogut, dan sejenisnya memekakkan telinga kaum sekularis, liberalis, dan islamophobist. Sayangnya rezim kini berparadigma politik seperti itu.

BACA JUGA :  PAN Dukung Anies, Peluang Duet Anies-Sandi Bakal Terulang di 2024

Kafir disebut 525 kali dalam Al Qur’an, jihad 41 kali, qital 12 kali, dan thogut 39 kali, artinya berulang-ulang. Inti makna adalah Islam yang anti kemusyrikan, kewajiban untuk membela dan mengembangkan agama, berlindung dan rela dipimpin Allah, serta tidak diam menghadapi kezaliman. Beragamapun harus sesuai dengan keyakinan masing-masing, tidak saling mencampuri.

Berbicara dan mengkaji Islam secara utuh (kaffah) dalam komunitas sendiri bukan saja boleh tetapi juga harus, karena memahami dan mengkaji Islam sepotong-sepotonglah yang membuat sikap menjadi salah. Dapat menjadi ekstrim atau destruktif. Islam yang difahami utuh akan membentuk kepribadian yang beriman kuat dan konstruktif (shalih).

Keutuhan itu termasuk dalam memahami makna-makna ayat seperti kafir, jihad, qital, atau thogut di atas. Tidak perlu menjadi sensitif, curiga, ataupun takut. Islam adalah agama yang menyelamatkan dan tentu saja berdaya guna.

Oleh karenanya tidak radikal atau intoleran jika Allah SWT berfirman :

“udzina lilladziina yuqootaluuna biannahum dhulimuu wa innallaha alaa nashrihim laqodiir” (telah diizinkan berperang bagi mereka yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dizalimi dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk menolong mereka)—QS Al Hajj 39.

BACA JUGA :  Santri K.H.Maemoen Zubair Boikot PPP?

Demikian juga dengan :

“falaa tuthi’il kaafirina wa jaahiduhum bihi jihaadan kabiiro” (Janganlah kamu mengikuti dan ta’at pada orang kafir dan berjihadlah atas mereka dengan jihad yang besar)—QS Al Furqon 52.

Jika ayat-ayat seperti ini dikaitkan dengan radikalisme, maka sama saja ia atau mereka telah menuduh Allah itu radikal dan intoleran.
Tuduhan keji khas orang-orang yang memang berkualifikasi Kafir.

Bandung, 15 Februari 2022

Komentar