Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
LOCKDOWN itu otoritas pusat, titik. Begitulah keputusan presiden. Gak bisa diganggu gugat. Rencana Anies, Gubernur DKI untuk lockdown Jakarta batal setelah kedatangan Tito Karnavian ke balai kota membawa pesan istana.
Intinya, lockdown bukan wewenang gubernur. Dan Anies tak akan melockdown Jakarta tanpa seijin presiden. Bagi Anies, ini prinsip. Tak ada negara dalam negara. Sebagai gubernur, Anies tak akan langgar aturan dan berseberangan dengan presiden.
Meski Jakarta belum jadi lockdown, Anies harus kerja ekstra menghadapi penyebaran Covid-19 yang semakin masif. Pasalnya, Jakarta jadi epicentrum penyebaran virus mematikan ini. Berbagai langkah dilakukan Anies, termasuk test massal, menjemput pasien Covid-19 di rumah, melakukan penyemprotan disinfectan, menutup semua bisnis pariwisata dan meliburkan ganjil-genap agar masyarakat tidak berjubel di public transportation.
Anies menyiapkan empat hotel dengan seluruh fasilitasnya untuk tenaga medis, menambah insentif 250 ribu setiap harinya. Ini bagian dari support gubernur sebagai komandan perang melawan Covid-19 di DKI.
Kepada seluruh warga DKI Anies minta mereka kerja dan belajar dari rumah selama 14 hari. Konsekuensinya, Pemprov DKI menyiapkan anggran 1,1 juta untuk keluarga tidak mampu. Soal logistik, Jakarta aman.
Semua langkah ini sesungguhnya adalah soft lockdown. Lockdown ringan. Tak melanggar aturan, juga tak bertabrakan dengan kebijakan pusat. Dan langkah Anies ini didukung oleh banyak pihak, termasuk Satgas Covid-19.
Langkah Anies belakangan diikuti oleh sejumlah kepala daerah. Malah Walikota Tegal, Dedy Yon Supri Yono, lebih nekad lagi, berencana akan melakukan lockdown lokal setelah satu orang positif Covid-19 dan satu orang meninggal karena Covid-19. Lockdown dimulai tanggal 30 Maret nanti.
Sebelumnya, Gubernur Papua, Lukas Enembe, juga melakukan lockdown. Langkah ini diambil Lukas Enembe untuk menyelamatkan warga Papua sebelum Covid-19 masuk ke wilayah itu. Ini bukan saja langkah pro aktif, tapi juga tindakan sangat berani, karena berlawanan dengan keputusan presiden. Oleh Walikota Tegal dan Gubernur Papua, peringatan presiden sepertinya tak didengar. Bagi mereka, nyawa rakyat lebih penting. Akankah langkah dua kepala daerah ini diikuti oleh kepala daerah yang lain? Bagaimanapun keputusan gubernur Papua dan Walikota Tegal pasti berpengaruh terhadap daerah yang lain.
Hari demi hari, gelombang protes terhadap Presiden yang “kekeh” tak mau lockdown makin membesar. Protes datang di antaranya dari IDI, para guru besar, ketua MPR, sejumlah fraksi di DPR, para pengamat dalam dan luar negeri, bahkan beberapa kepala daerah. Sementara penyebaran Covid-19 makin tinggi angkanya. Sudah tembus di angka ribuan. 1046 orang positif Covid-19., dan 87 orang di antaranya meninggal dunia. (27/3).
Masifnya gelombang protes dan makin tingginya angka yang positif Covid-19 membuat Presiden mulai bimbang dengan keputusan sebelumnya. Kali ini, Mahfuz MD sepertinya mendapat tugas khusus menyiapkan PP sebagai dasar untuk melakukan lockdown lokal. Apakah ini artinya pemerintah pusat sudah give up, lalu menyerahkan tanggung jawab ini ke masing-masing pemerintahan daerah?
Jakarta, 28 Maret 2020
Komentar