Pro Kontra Presidential Threshold

Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

BANYAK tokoh potensial untuk menjadi presiden RI. Tapi apa daya, mereka terbentur aturan main. Tidak mudah memenuhi syarat administratif untuk nyapres.

Sesuai aturan pasal 222 UU Pemilu No 7 Tahun 2017, untuk bisa nyapres mesti didukung oleh 20 persen kursi di DPR. Artinya, yang berhak mengusung capres itu adalah parpol, atau gabungan parpol. Dengan syarat Presidential Threshold 20 persen, hanya PDIP satu-satunya parpol yang bisa mengusung secara mandiri (128 kursi). Partai lain? Mesti koalisi.

Dengan syarat 20 persen, maka hanya akan ada maksimal tiga paslon. Otak atik tiga paslon ini belum bisa dipastikan terkait parpol apa saja yang berkoalisi, dan siapa paslonnya. Tapi, tetap ada kemungkinan PDIP-Gerindra satu paslon. Nasdem-PKS, PAN dan PPP bisa satu paslon lagi. Kemudian Golkar, PKB dan Demokrat, bisa jadi paslon berikutnya.

Boleh jadi malah hanya akan ada dua paslon. Golkar dan PKB jika tidak menemukan paslon yang sreg, bisa bergabung ke salah satu kubu dari PDIP atau Nasdem. Sementara Demokrat, dipredisksi akan berseberangan dengan PDIP.

BACA JUGA :  Surya Paloh, Anies dan Nasib Isu Perubahan ke Depan

Nasdem dan Demokrat besar kemungkinan akan melawan PDIP. PKS, PAN dan PPP punya risiko elektabilitas jika satu gerbong dengan PDIP. Begitulah situasi politik saat ini. Golkar dan PKB, bikin koalisi sendiri, atau bisa juga bergabung ke salah satu kubu jika tidak punya calon aduhai.

Dianggap tidak fair, sejumlah pihak menggugat aturan Presidential Threshold 20 persen ini. Presidential Threshold ini dianggap tidak memberi ruang dan kesempatan bagi sejumlah putra terbaik bangsa yang mumpuni untuk memimpin negeri ini kedepan.

Mereka menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Upaya pertama yang dilakukan Rizal Ramli, gagal. Gugatan berikutnya dilakukan oleh Gatot Nurmantyo, Refly Harun, Tamsil Linrung cs. Proses gugatan saat ini masih berjalan di MK.

Satu sisi, adalah fakta bahwa Pilpres beda dengan pileg. Artinya, pemilih partai tertentu tidak otomatis memilih capres dari partai tersebut. Tidak linier. Dengan begitu, partai mesti membuka ruang untuk calon independen yang diminati rakyat. Kira-kira begitu logikanya

Alasan lain, selama tiket nyapres ada di tangan partai, maka kebutuhan akan biaya tiket sangat mahal. Entah itu namanya “mahar politik” atau “kebutuhan logistik”. Bisa satu triliun untuk setiap partai pengusung. “Ngeri-ngeri sedap”. Inilah di antaranya yang digugat ke MK.

BACA JUGA :  Tolong Hapus Foto Ade Armando Telanjang, hanya Merusak Estetika

Kata para penggugat, dengan Presidential Threshold 20 persen, akhirnya oligarki lagi yang berkuasa. Siapa oligarki itu? Ya gabungan antara penguasa, pengusaha dan ketua partai. Karena itu, mereka menuntut Presidential Threshold 0 persen.

Bagi partai, terutama partai besar, jika Presidential Treshold 0 persen, ini akan memakan biaya super besar. Belum lagi potensi kegaduhan yang dapat mengancam stabilitas politik dan keamanan negara.

Jika yang terpilih jadi presiden bukan paslon yang diusung oleh partai, ini akan jadi persoalan tersendiri. Sebab, tidak mudah menjadi presiden tanpa dukungan di parlemen. Namun yang pasti, parpol-parpol tersebut akan kehilangan muka ketika rakyat tidak memilih calon yang diusungnya.

Ada sejumlah partai yang setuju Presidential Threshold 0 persen. Di antaranya adalah Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat. Tapi, gagasan ini lahir dari kader dan bukan tuntutan resmi dari partai. Dari sini kita bisa baca, bahwa mereka tidak serius “untuk setuju” Presidential Threshold 0 persen. Suara kader tersebut bagi partai, lebih sebagai instrumen untuk bernegosiasi dengan partai besar, khususnya PDIP. Kira-kira begini: “jangan 20 persen lah.. . 10 atau 15 persen kek…”. Publik tahu apa yang kau mau.

BACA JUGA :  Dirgahayu ke-494, Jakarta Semakin Mendunia

Ikhtiar Presidential Threshold 0 persen itu bagus. Tapi memang tidak mudah, kalau tidak dibilang super sulit. Ada tembok politik yang kokoh untuk bisa dilewati. Parpol tidak akan menyambut tuntutan itu, kecuali hanya untuk mencari simpati publik. Ini juga memungkinkan dijadikan alat bagi parpol untuk bernegosiasi. Namanya juga politik. Politik identik dengan negosiasi.

Suara dan kelantangan rakyat seringkali hanya menjadi koin untuk bertransaksi. Dan umumnya rakyat juga merasa senang dijadikan alat bertransaksi. Hebat bukan rakyat kita?

Mana ada parpol menutup toko yang biasa menjual tiket untuk Pilpres? Aya aya wae.

Jakarta, 21 Desember 2021

Komentar